DESIBEL

Asroruddin Zoechni
Chapter #29

PERTEMUAN KEDUA

Jalan tol bebas hambatan, ia terobos dengan penuh keyakinan. Berbekal mobil pinjaman sejawatnya di RS Edinburgh, Aria berdua melintasi jalan-jalan lebar dan sepi, di jalur antar kota Edinburgh-Musselburgh ke arah Leeds-Sheffield. Pukul empat pagi yang gelap, ia sudah meninggalkan flat. Lalu menjemput Berli, mahasiswa doktoral kebijakan publik di Universitas Edinburgh yang kini mulai mengantuk di samping kursi kemudi. Aria tidur malam pun tak sampai empat jam, karena sudah tak sabar menyentuh Sheffield dan bertemu muka dengan Alia untuk kedua kalinya. Meski tujuan utamanya adalah memberi edukasi terkait kanker serviks kepada WNI se-Inggris Raya yang hadir, namun rasa gembiranya untuk melihat wajah Alia kembali, tak bisa dipungkiri. Menggunakan pakaian dan jaket yang cukup tebal, karena memasuki akhir musim gugur di medio November, Aria melaju dengan mulus selama 4 jam 50 menit, sepanjang 251 mil ke arah selatan Inggris.

           Denyut jantungnya tiba-tiba bergetar hebat, namun tak lama kemudian bisa kembali ke denyut normal. Begitu seterusnya terjadi sepanjang perjalanan. Menunggu waktu perjalanan empat hingga lima jam, bagi Aria seperti terasa berhari-hari. Slide presentasi sudah ia siapkan beberapa hari sebelum keberangkatan. Rencana tampil di depan WNI juga tak kalah membuat Aria gugup, namun tak segugup ketika mendengar Alia memastikan kehadiran diri, di tengah banyaknya tugas kampus. 

           “Mas Aria sehat kan? Tidur malam cukup?” tanya Berli, dengan mata terpejam dan suara lemah. Mengantuk berat.

           “Sehat, Mas. Tapi tadi malam tidur saya kacau. Tiap satu jam terbangun. Entah kenapa.”

           Aria memegang kemudi di sebelah kanan dengan mahir, konsentrasi melihat ke depan. Terdengar suara perempuan dari gawainya, dari aplikasi GPS, agar melewati bundaran dan mengarah ke third exit.

           “Mikirin keluarga di Indo?”

           “Hhmmm… Nggak juga, sih.”

           “Atau mikirin pasien di RS? Atau mikirin yang lain?” tanya Berli lagi, masih dengan nada mengantuk.

           “Pasien aman, sih. Ah, sudahlah, Mas. Sampeyan lanjut tidur aja. Nggak usah dipikirin. Kalau saya udah kelelahan, ntar gantian nyetir ya!”

           “Siap, Dok.”

           “Oh, ya. Sebelum KAG yang sekarang, materinya bagus-bagus nggak? Saya absen terus sudah beberapa kali.”

           “Bagus banget, Dok. Yang jelas pembicaranya, ustad-ustad terkenal di tanah air. Ada Ustad Salim A. Fillah, Kang Abik, dan tokoh-tokoh nasional lainnya. Pokoknya bikin adem dan kangen sama Indo. Materinya juga nggak kalah menarik kan. Ada tentang ekonomi Islam, Quran dan Sains, Pergerakan Islam, dan lain-lain. Dan biasanya ada penggalangan dana juga untuk saudara-saudara muslim yang kesusahan seperti di Palestina, Syria, bahkan di Indonesia.”

           “Seru memang ya,” timpal Aria. “Apalagi ketemu saudara-saudara se-UK. Cumaann…”

           “Cuman apa, Mas?”

           “Cuman saya kok kurang sreg ya dengan penggalangan-penggalangan dana gitu ya?”

           Berli membuka matanya segera, lalu duduk tegak.

           “Memangnya kenapa, Mas? Tujuannya baik, kan?”

           “Iya, betul. Baik sekali. Tapi saya memandang ada unsur eksploitasi media seperti di Aleppo, Syria, Libanon, dan lain. Bagi saya, memikirkan saudara kita di Indonesia yang ruwet itu saja akan jauh lebih baik daripada memikirkan negara orang.”

           “Yaa, masing-masing orang beda cara pandang, Mas. Kalau bagi saya, apapun jenis aksi yang bermanfaat, pasti akan memberikan manfaat juga bagi yang menerimanya.”

           Mereka terdiam sekejap, beberapa detik.

           “Masih kuat nyetir di kegelapan, Mas?”

           Aria tersenyum. “Masih, dong. Baru seperempat perjalanan, nih.”

           Berli melanjutkan lelapnya. Aria dengan kecepatan penuh 120 km/jam, terus menembus pagi meninggalkan deretan pohon pinus di kedua sisi jalanan.  

           Aliaaa… Kenapa kamu membuatku terobsesi selalu tentang sosok yang kucari selama ini?

***

 

           Jantung Aria berdebar kencang kembali, saat memasuki lapangan parkir Masjid Madinah, Sheffield. Mobil-mobil sudah ramai terparkir, di depan gedung berwarna kecokelatan itu. Aria dan Berli lalu bersama-sama memasuki masjid terbesar di kota itu.

           Alia pasti sudah ada di dalam.

           “Mas Aria kelihatan gugup?”

           “Ohh, nggak kok,” kilah Aria. “Mungkin kedinginan aja.”

           Mereka lalu memasuki tempat kegiatan berlangsung melewati pintu samping khusus laki-laki. Acara sudah dimulai di lantai dua, yang berdekatan dengan mihrab. Sementara di lantai basement, terisi beberapa meja dan kursi yaitu lapak-lapak makanan khas Indonesia yang menimbulkan harum semerbak.

           Alia di mana ya? Kalau di barisan perempuan, pasti aku akan sulit melihatnya.

           Kelompok peserta perempuan duduk lesehan, berada bersisian dengan peserta laki-laki, langsung menghadap pembicara, Ustad Saiful, yang sudah siap memberikan materi dengan LCD dan layar di bagian depan praying room. Kedua kelompok itu dipisahkan oleh sebuah penyekat ruangan yang cukup panjang. Aria pun memberanikan diri mengirim pesan WA kepada Alia.

           “Mas Aria!” sapa Berli. “Sibuk amat sepertinya,” tawanya kemudian. “Mau duduk di mana kita?”

           “Bentar ya,” jawab Aria sambil kasak kusuk, memainkan gawainya.

           “Mbak Alia sudah sampai di KAG, kah?” Pesan segera terkirim, namun belum terbaca.

           “Mas Berli, kita bisa duduk di mana aja. Terserah sampeyan. Makin di depan makin baik saya kira, biar kedengaran jelas suara pembicara.”

           Konsentrasi Aria cukup terpecah, antara ingin bertemu Alia secepat mungkin. Tetapi, acara KAG yang diselenggarakan hanya dua kali setahun itu, juga terlalu menarik untuk dilewatkan. Alia belum juga membaca pesan dari Aria. Berli dan Aria pun memilih duduk di baris kedua.

           Acara KIBAR Autumn Gathering, menjadi momen untuk berkumpul mahasiswa dan warga Indonesia muslim yang berada di Inggris Raya. Aria bertemu beberapa orang yang sempat dia kenal, mahasiswa, pekerja, maupun warga Indonesia lainnya. Yusuf, ketua PPI London, tak luput dari pandangannya. Mereka pun saling berjabatan dan saling mendekap singkat, namun penuh kehangatan.

           “Apa kabar, Mas Dok?” tanya Yusuf, yang duduk tepat di sampingnya.

           “Alhamdulillah. Saya baik, Mas Yusuf. Gimana PhD-nya? Lancar?”

           “Lancar, Mas. Alhamdulillah.”

Lihat selengkapnya