Untuk menghindari kecurigaan rekan-rekannya, Aria pelan-pelan menutup wajah meronanya dan merunduk sebentar. Menarik napas dalam beberapa detik, lalu memberanikan diri menatap Alia dan yang lainnya. Ia mempersilahkan Alia duduk, dan mulai pembicaraan dengan santai, walaupun gugup. Berli mulai curiga melihat polah Aria yang tak biasa di depan Alia. Namun, ia dan Hammam memilih menghindar, dan menyambangi lapak makanan lainnya.
“Have a nice conversation,” tukas Bu Tina, lalu undur diri sambil tersenyum.
“Rendangnya enak banget, Mbak Alia. Saya boleh langganan, nggak? Hampir setahun ini saya belum pernah makan rendang lagi.” Aria membuka pembicaraan dengan pelan-pelan. “Bikin sendiri ya, kata Bu Tina?”
Alia mengangguk.
“Apa kabar, Mas? Eh, Dok?” tanya Alia lugas.
“Baik, alhamdulillah. Nggak apa-apa, panggil Mas juga boleh. Saya belum tua-tua banget, kok, Mbak.”
“Hhmmm, oke, Mas Dok. Kalau begitu panggil saya dengan nama saja. Usia kita kan jauh, Mas.”
Aria berdehem. “Loh, kok masih ada Dok-nya?”
“Cukup Mas saja berarti ya? Oke…”
“Mau makan apa? Tapi sepertinya Alia jago masak, jadi saya nggak tahu makanan yang pas untuk jago masak.”
Alia terkekeh. “Makanan biasa aja, Mas. Tapi memang masakan nusantara selalu bikin kangen ya. Saya bisa ambil sendiri nanti. Mungkin bakso Malang.” Alia menunjuk meja bertuliskan makanan yang dia ingin tersebut di pojok ruangan.
“Jadi, Alia dan Bu Tina sudah saling kenal? Kok nggak pernah cerita?”
“Iya, Mas. Sebenarnya Bu Tina jarang ketemu karena beliau tinggal di daerah Crosby di bagian utara. Cukup jauh dari pusat kota Liverpool. Tapi kami intensif berkomunikasi melalui Whatsapp Group. Beliau juga jago masak loh, termasuk makanan western.”
“Ooo, begitu ceritanya. Baik banget sepertinya.”
Alia pun membenarkan tanggapan Aria.
Tanpa sadar Aria meninggalkan sisa bakso berkuah yang belum dihabiskannya. Ia terlalu bersemangat mendengarkan Alia berbicara.
“Oh, ya. Setelah acara KIBAR ini bubar, mau langsung pulang ke Liverpool?”
“Rencananya mau jalan-jalan sebentar ke pusat kota Sheffield ini, Mas.”
Aria mendadak gembira.
“Wah, kebetulan nih, Alia. Tujuan kita sama. Saya juga bawa mobil bareng mas Berli. Kita bisa ke City Hall, atau Meadow Hall nanti supaya bisa belanja.”
“Boleh aja, Mas.”
“Oh ya, ntar saya mau tanya-tanya lebih lanjut tentang program tadi itu, ONE POUND ONE CHILD.”
“Dengan senang hati, Mas.”
Pembicaraan hangat mereka terus berlanjut hingga mendekati waktu presentasi materi sesi siang, termasuk materi yang akan disampaikan Aria.
Meskipun masih belum sepenuhnya menghilangkan rasa gugupnya, Aria tetap percaya diri dalam menyampaikan materi. Gugup karena Alia berada di shaf terdepan peserta, dan memandangi Aria dengan penuh perhatian. Materi tentang pencegahan kanker serviks sangat penting dan terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja.