Rimba. Seorang anak laki-laki yang terlahir dari keluarga menengah ke bawah. Ia punya seorang ayah yang doyan main judi dan minum minuman keras. Ibunya hanya ibu rumah tangga yang sesekali berjualan jika memungkinkan. Rimba juga punya seorang adik perempuan yang usianya terpaut lima tahun di bawahnya.
Memiliki seorang ayah dengan pergaulan liar, membuat Rimba tak lagi tabu mendengar kata-kata kasar atau caci maki. Itu makanan sehari-harinya yang ia peroleh dari sang ayah. Terlebih jika sang ayah sedang mabuk dan lepas kendali. Tak hanya meracau, ayahnya kerap kali juga membanting barang atau tanpa sengaja melukai salah satu anggota keluarganya. Sedangkan ibunya adalah seorang perempuan berwatak keras. Ia suka berbicara lantang dan tak segan menghukum anaknya dengan tempelengan atau cambuk sekalipun.
Dua tahun Rimba habiskan duduk di kelas 1 SD. Para guru terang-terangan mengatai ia bodoh. Teman-temannya menjauhinya karena kosa kata Rimba yang terlampau kasar dan vulgar untuk anak seusianya. Label anak bandel tak cukup untuk menjabarkan betapa pemberontaknya sosok seorang Rimba.
Suatu ketika di tahun ajaran baru, Rimba mengenal seorang anak perempuan. Namanya Bening.
Bening adalah anak perempuan manis berambut ikal. Ia terlahir dari keluarga terhormat. Ayah dan ibunya seorang guru. Jauh berbeda dengan Rimba, Bening hanya mengenal arti kasih sayang. Kedua orang tuanya melimpahinya dengan semua cinta yang mereka punya.
Bening anak yang manis dan penurut. Namun itu tidak cukup baginya untuk mendapatkan teman. Menjadi seorang anak pindahan, Bening sudah sering mengalami perundungan. Sejak ia TK tak banyak yang mau dekat dengannya. Temannya hanya satu atau dua orang. Lalu saat ia masuk SD, keadaan itu masih berlanjut. Bahkan lebih parah. Tak ada yang mau duduk sebangku dengannya. Jumlah siswa dan siswi yang ganjil membuat Rimba dan Bening bertemu di meja yang sama.
Dari sanalah semuanya bermula. Dua anak berbeda gender, berbeda latar belakang dan berbeda watak dipertemukan oleh takdir.
Suatu ketika Bening pergi ke rumah nenek dari pihak ayahnya. Saat ia tengah bermain dengan kakak sepupunya di sebuah taman, ia melihat anak lelaki duduk meringkuk di bawah sebuah pohon. Anak lelaki itu hanya mengenakan celana pendek usang berwarna coklat dan kaus dalam berwarna putih yang terlihat sedikit kebesaran dari tubuh kurusnya.
Entah apa yang begitu menarik perhatian Bening. Ia bahkan tidak peduli lagi dengan kakaknya yang sedang berlari sambil membawa sebelah sandalnya. Matanya menatap pada satu arah. Pada anak lelaki teman sebangkunya yang biasa terlihat sombong dan nakal. Namun, anak itu tak bedanya seperti anak anjing yang tersesat saat ini.
"Jangan dekati dia!" Tiba-tiba Pelita-kakak sepupu Bening-sudah berdiri di sampingnya. "Namanya Rimba. Ayahnya tukang judi dan sering marah-marah. Ibunya juga galak."
Bening mendongak menatap kakak sepupunya yang lebih tua tiga tahun darinya. Matanya mengedip polos.
"Tapi dia temanku. Teman sebangkuku," ucap Bening.
"Kamu cuma teman sebangkunya. Jangan bergaul dengannya! Dia nakal, suka berbicara kasar."
"Tapi dia sepertinya sedang bersedih. Kata bu guru kalau ada teman yang sedang bersedih kita harus menghiburnya."
Pelita berdecak. Ia meletakkan sandal Bening di depan kakinya. "Sudah! Ayo kita pulang! Eyang putri pasti nyariin kita."
Langkah Bening terseok mengikuti Pelita yang menarik pergelangan tangannya. Kakak sepupunya itu bahkan tidak mempedulikan Bening yang berusaha dengan cepat memakai sandalnya.
Saat malam tiba, Bening bercerita pada ibunya tentang hal yang ia alami siang tadi.
"Bu, tadi aku ketemu teman sekelasku. Yang sebangku denganku itu," ucap Bening mengawali ceritanya.
Ibunya tersenyum lalu memakaikan selimut untuk Bening. Kemudian ia duduk di tepi ranjang.