Turunnya hujan saat dirinya tidak berada di rumah adalah hal yang paling dibenci Rimba. Sedari tadi wajahnya tertekuk memandang hujan melalui jendela kelasnya. Awan di atas sana putih merata dan hujan yang turunpun sangat deras. Rimba berdecak dalam hati, sudah pasti hujan ini akan lama redanya.
"...Rimba?"
"Rimba!"
Rimba masih asyik menumpukan kepalanya di sebelah tangan. Pikirannya terbang jauh entah kemana, enggan terkekang dalam ruang kelas yang membosankan. Sementara guru Sejarah di depan sana sudah kembang-kempis hidungnya menahan amarah akibat sang empunya nama tak menggubrisnya sama sekali.
"Psst...Man Preman!" Aldo, teman sebangku Rimba, menyikut siku Rimba hingga tangan yang menjadi tumpuan kepalanya itu ambruk ke atas meja. "Bu Fosil itu manggil namamu," bisiknya tanpa menoleh pada Rimba.
Perlahan Rimba menegakkan tubuhnya. Matanya mengerjap beberapa kali mengamati keadaan kelas yang benar-benar hening. Hampir semua mata menatap ke arahnya. Jakunnya bergerak dengan kaku saat melihat ke arah sang guru di depan sana. Wanita kurus di awal empat puluhan itu menatapnya tajam.
"Ngalamun kamu?"
"Mm...nggak, bu."
"Masa?!" Rimba mengangguk lalu tersenyum. "Terus kenapa kamu dari tadi ibu panggil nggak nyaut-nyaut?"
"Eng...Saya lagi menghayati syahdunya suara ibu sama hujan di luar sana. Kayak ada sendu-sendunya gitu, bu."
Ucapan itu sukses mengundang tawa semua siswa di kelas. Sekaligus menciptakan api tak kasat mata yang membakar di sekeliling sang guru.
"Berdiri kamu!"
Rimba menahan diri untuk memutar bola matanya, tapi dia tak mampu menahan dirinya untuk mendengkus keras--yang sialnya terdengar sampai ke telinga sang guru. Dengan malas Rimba mendorong kursinya ke belakang supaya dia bisa leluasa berdiri. 'Bu Fosil' menyipitkan matanya, tak suka dengan penampilan Rimba. Saat ia berdiri, itu memperlihatkan seragamnya yang tak dimasukkan ke celana abu-abunya. Seisi kelas menatap dirinya, termasuk sang guru yang bibirnya sudah gatal ingin segera melontarkan hukuman bagi Rimba. Semua siswa menanti, keheningan tercipta. Ketegangan begitu terasa dari depan kelas sana. Ketegangan yang mungkin tak akan pernah sampai di tempat Rimba. Rimba sudah terbiasa mendapat perlakuan selerti ini.
"Ibu mau nyetrap saya lagi?" Hampir seluruh siswa menarik napas tajam ketika kalimat itu terlontar dengan nada menantang. "Percuma, bu. Lima belas menit lagi bel pulang sekolah berdentang. Sia-sia ibu menghukum saya kayak gitu."
Sang guru Sejarah menggeram marah. "Kamu nantangin saya?!"
"Nggak. Saya cuma kasih tahu ibu kalau ibu mau menghukum saya berdiri sampai jam sekolah selesai ibu nggak akan puas."
"Keluar kamu dari kelas saya!"
"Tapi, bu-"
"Temui pak Soleh, minta ember sama alat pel. Sepulang sekolah kamu pel kelas ini."
Sudut bibir Rimba berkedut ingin mengumpat. Gurunya satu ini tahu benar cara menghukumnya. Dengan hujan deras di luar sana, kelas tak akan langsung kosong meski jam sekolah sudah usai. Beberapa di antaranya, terutama yang tidak membawa jas hujan, pasti lebih memilih menunggu hingga hujan reda. Sudah jelas guru itu ingin mempermalukan Rimba.
Kendati demikian Rimba tetap melangkah dari kursinya. Ia keluar kelas lalu langsung menuju kantin. Mumpung masih sepi, pikirnya. Nanti saat bel pulang sekolah berbunyi, kantin pasti penuh.
⭐⭐⭐
Rimba salah. Salah ketika ia berpikir sang ibu guru akan mempermalukannya. Nyatanya hukuman dari guru Sejarah itu tak berpengaruh apapun baginya. Yang membuat Rimba malu justru sahabat kecilnya, Bening. Sudah sepuluh menit lamanya Rimba mengepel lantai kelas sambil mendengarkan ocehan Bening sebagai back sound-nya. Bening memarahinya, menceramahinya, mengomelinya tiada henti...
"Rimba, kamu dengerin aku nggak sih? Rimba!"
"Diem! Berisik tahu nggak!" Rimba menghentak tongkat pelnya ke dalam ember sehingga airnya terciprat keluar. Ia memandang kesal pada Bening. Mendengkus, Rimba kembali melanjutkan kegiatannya mengepel lantai.
"Tapi kamu-"
"Diem! Kalau enggak, kubungkam mulutmu pakai tanganku."
"Jorok! Kamu kan habis meres kain pel."
"Makanya diem!"
Bening mendengkus. Ia akhirnya pergi meninggalkan Rimba. Membelah keramaian siswa yang dengan sengaja berkumpul di depan kelas untuk menonton adegan picisan itu.
Rimba bernapas lega ketika Bening tak lagi berdiri di belakangnya sambil marah-marah. Ia memperhatikan Bening yang berjalan menghentak hingga ranselnya sedikit tersentak-sentak seiring langkahnya terambil.
Beberapa siswa yang dari tadi memperhatikan ulah keduanya kini hanya mampu diam di luar kelas sambil tersenyum menahan tawa. Kentara sekali mereka geli dengan adegan yang baru saja terjadi.
"Apa kalian lihat-lihat?!"
Bukannya takut atau membubarkan diri, semua teman sekelas Rimba justru tertawa cekikikan melihat wajah Rimba yang memerah. Entah karena lelah, marah atau malu...
"Owalah Man...Man. Muka boleh preman. Kelakuan blangsak. Tapi sama cewek kicep juga ya?" Putra, salah seorang teman sekelasnya, berujar. Lelaki berkacamata itu tertawa semakin kencang. Mengundang teman lainnya untuk tertawa lebih keras.
Rimba mengumpat dalam hati. Ia tebalkan telinganya dan terus mengepel lantai. Sesekali ia harus membungkuk rendah untuk mencapai kolong meja.