Seseorang pernah berkata, jangan percaya begitu saja dengan apa yang didengar. Sebab, akan selalu ada tiga sisi di setiap cerita. Sisi kita, sisi mereka yang dibicarakan, dan kebenarannya-yang mungkin masih rahasia.
Melabeli seseorang belum tentu menjelaskan siapa mereka. “Pointing finger” hanya menunjukkan siapa diri kita yang menuduhkan sesuatu, yang belum tentu pula benar.
Sebelum berasumsi, pelajari faktanya. Sebelum menuduh, pahami alasannya. Sebelum menyakiti, rasakan pedihnya. Sebelum berbicara, pikirkan. Itu pelajaran yang kudapat sejak mengenalnya.
***
Seminyak, Bali, Juni 2005
Menjalin pertemanan dengan berjuta orang itu bukan keajaiban. Jalin pertemanan dengan satu orang yang selalu ada saat jutaan orang menentangmu, itu baru keajaiban! Aku beruntung mendapatkan lima! Ya, lima teman istimewa yang selalu ada untukku tidak hanya saat happy, tetapi juga sedihku.
Kadang aku sendiri heran bagaimana kami berenam bisa menyatu di tengah segala perbedaan yang ada. Karakter kami berbeda, begitu juga dengan lingkaran pertemanan kami sebelumnya. Mereka adalah teman-teman SMA-ku. Ada Amanda yang berparas manis, tapi amit-amit cerewet dan galaknya. Ada Arjuna, cowok idola yang ganteng dan gaul, tapi arogan dan blakblakan. Ada Nadya, Si manis yang tak banyak bicara, tapi sekali ngomong tegas banget. Ada Tommy, Si Kutu Buku, mantan ketua OSIS yang baik hati. Ada Chucky, Si Sexy Geek yang random dan cerdas. Lalu, ada aku sendiri, Aubrey, si ... entahlah apa yang dibilang orang tentang aku. Si Tomboi Manis yang pemalu tapi serius, kata Arjuna tiga tahun lalu. Sekarang pendapat itu sudah tak terlalu berlaku, sih, mengingat saat ini penampilanku sama sekali tidak tomboi. Aku juga bukan anak pemalu lagi.
Kami berenam punya kepribadian yang berbeda-beda. Nggak bakal nyangka, deh, Arjuna bisa menyatu dengan pribadi seperti Tommy. Apalagi, kalau Amanda sudah berhadapan dengan Chucky. Tapi, bersama kelimanya aku berbagi tawa, perhatian, curhat, omong kosong, dan juga … gosip! Seperti malam ini, malam reuni kami di sebuah kafe di Seminyak, Bali, setelah setahun meninggalkan bangku SMA.
Malam ini adalah malam gosip yang tak akan terlupakan.
“Gue nggak pernah tahu kalau lo ternyata pintar, Jun!” kata Nadya sambil meniup secangkir hot cappuccino di depan wajahnya.
“Iya, ya, gue juga nggak nyangka,” sahut Amanda. “Gue dulu cuma tahu lo playboy berat doang, dan itu nyebelin!” Amanda memanyunkan bibir.
“Hahaha! Ya, bukan salah gue, kan, kalau gue ganteng plus pintar?” jawab Arjuna. Amanda mendengus sambil memutar bola matanya.
“Yang salah, tuh, kalian bertiga, kali. Kenapa juga kalian pernah naksir cowok ganteng yang ternyata pintar ...,” kata Arjuna sok kalem.
Sayangnya, reaksi dari cewek-cewek di sekitarnya jauh dari kalem. “Wooogh!” Dan, bantal sofa kafe pun beterbangan ke arahnya.
Arjuna hanya bisa melindungi wajahnya dengan tangan. Tapi, serangan tak terelakkan lagi saat Amanda dan Nadya melemparkan kentang goreng ke arahnya. Aku tertawa saja melihat tingkah mereka. Arjuna memang rada narsis. Dia sadar betul kalau dia ganteng, dan itu bikin yang lain sebal. Sebal karena kami nggak bisa mengingkarinya. Arjuna memang ganteng to the max, sih.
Kata-kata Arjuna tadi membuatku menerawang ke masa lalu. Dulu aku, Nadya, dan Amanda memang pernah “dekat” dengan Arjuna. Kedekatan kami bukan sekadar sahabat seperti sekarang. Semasa SMA, Amanda, Nadya, dan Arjuna pernah terlibat cinta segitiga. Atau segi empat. Atau segi lima. Entahlah. Cinta berbanyak segi ini sempat bikin hubungan kami dihiasi semacam perasaan jengkel. But in the end, justru kesamaan nasib sebagai “korban” Arjuna itulah yang membuat Amanda dan Nadya bersahabat. Lucu juga kalau mengingat awal persahabatan itu. Sempat ada canda, mungkin saja mantan-mantan Arjuna yang senasib bisa bersahabat dan bikin grup curhat. Hahaha.