Musim hujan.
Marsha masih termenung di sudut cafe milik salah satu sahabatnya yang di bangun tiga tahun yang lalu. Pikirannya menerawang seputar kisah cintanya.
Kandas.
Jalinan cinta yang di rajut selama dua tahun terakhir harus hancur karena orang ketiga. Alasannya, karena Marsha tak sesuai dengan kriteria wanita idamannya. Omong kosong.
Mulut manis sang kekasih dua tahun lalu, mampu membuat marsha percaya. Terbuai manisnya kata kata sampai ia tak sanggup melihat cinta lainnya. Yang mungkin ada.
Rayya, sahabatnya yang paling banyak menentang hubungan Marsha dan laki laki pecundang itu. Ia paling benci dengan pengkhianatan.
Rayya menyodorkan satu gelas hot cappucino ke hadapan Marsha. Ini kesukaannya. Bisa menghalau dinginnya suasana akibat hujan.
"Hot cappucino, your fav." Rayya tersenyum saat menyodorkan gelas itu. Marsha menerimanya.
"Thanks."
"Besok jadi berangkat? Gue bisa minta tolong Chandra buat anterin lu ke bandara." Marsha menggeleng. Sungguh, ia tak ingin merepotkan sahabatnya. Apalagi kekasihnya.
"Gue bisa sendiri."
"Jangan ngeyel...lu harus," Omelan Rayya terpotong. Ia melihat satu sosok asing masuk ke cafenya. Tapi, seperti pernah bertemu." Sebentar."
Marsha kembali fokus pada hot cappucinonya. Samar samar ia dengar suara seseorang yang sepertinya pernah ia kenal sebelumnya.
"Maaf, sepertinya kartu anda bermasalah." Rayya mengembalikan kartu credit milik sosok asing itu. Seorang pemuda berperawakan tinggi, berkumis tipis dan terlihat tampan di usianya yang sepertinya sudah cukup matang.
"Yang benar? Saya baru ganti kemarin. Info dari banknya bisa langsung dipakai." ujarnya tak mau kalah. Wajahnya nampak malu dan merah.
"Uang cash saja."
Orang asing itu menyerahkan beberapa lembar uang yang menurut Rayya ia tak pernah melihatnya. Sama sekali.
"Ini. Saya rasa lebih dari cukup."
"Maaf, ini uang dari negara mana?."
"Ini kan uang dari in..."
"Ini gue bayarin, Ray..sekalian sama cappucinonya..gue pulang." Marsha menyerahkan dua lembar lima puluh ribuan dan berpamitan dengan sahabatnya.
"Semoga besok gue bisa antar lu ke bandara." Marsha menyimpulkan senyumnya lalu pergi tanpa menengok kearah sosok laki laki itu.
"Hei...tunggu....siapa nama....mu?"
Hilang....tiba tiba suasana meriah cafe itu hilang...sosok laki laki itu, Adam.
Ia pun membalikkan tubuhnya, bermaksud akan berbicara langsung pada sang kasir dan juga sahabat wanita itu.
Namun..
Ia juga menghilang....
Suasana berganti gelap tanpa ada suara apapun...
Tiba tibaa...
Hhmmmppttthh...
Brakk...
'Sial..hanya mimpi.'
Adam membuka matanya dan mendapati dirinya bergelung selimut, dililiti hingga menutupi seluruh tubuh dan mencekiknya. Ia bangun dan duduk di tepian ranjang. Ia masih memikirkan mimpinya. Terlebih lagi suasananya. Sungguh nyaman. Berada dimanakah suasana itu?.
Nitt....nitt....
Alarm paginya berbunyi. Pukul setengah enam. Pagi ini pukul delapan, ia sudah harus ada di kelas. Ia mengajar kelas bahasa Inggris dengan dua kelas ajar pagi dan siang. Adam seorang guru SMA mata pelajaran bahasa inggris. Terkadang ia mengambil les privat di minggu minggu tertentu. Untuk minggu ini, dia absen. Istirahat tubuh, katanya.
Adam segera bangkit dan pergi menuju kamar mandi lalu bergegas mengganti pakaian dan sarapan ala kadarnya. Begitulah anak kost. Jam tujuh lewat ia sudah sampai di sekolah dengan keadaan lapangan yang penuh dengan siswa. Mereka telat. Laki laki dan perempuan, jumlahnya seimbang.
Adam melirik pada salah satu muridnya, sekilas dandanannya mirip laki laki. Rambut pendek, berponi, kulitnya putih dan bentuk tubuhnya sintal. Astaga, ada apa denganmu adam?.