Ainur menganga melihat anaknya yang sekarang persis seperti manusia, “Ckckck. Astaga. Lihat apa yang kamu lakukan. Menonton tv sambil ngemil. Persis seperti manusia.” Ucapnya sambil langsung duduk di atas sofa.
Nala memejamkan matanya kesal, “Akhirnya dia datang juga.” Ucapnya dalam hati.
“Apa yang Ibu lakukan di sini? Bukankah banyak tugas di Kerajaan?”
“Ya, dan tugasku semakin banyak karena harus mengunjungimu seperti ini. Sampai kapan kamu akan seperti ini? Tugasmu telah selesai, saatnya kamu kembali ke Istana.”
“Ini adalah Istanaku. Dan masih banyak yang butuh pertolonganku.” Ucap Nala.
“Jangan melewati batas, itu bukan pertolongan. Hanya sebuah kesepakatan.” Ujar Ainur. Dia lalu melihat seisi ruangan tv yang berantakan tersebut, banyak debu dan bekas makanan yang berserakan. Membuka kulkas, dia sama sekali tidak melihat bahan makanan di sana, “Kamu tidak punya makanan?” Tanyanya.
“Sudah habis, belum belanja lagi. “ Tuturnya pendek.
“Dasar anak malas.”
“Sudah deh, Ibu jangan bawel. Kalau kesini hanya untuk ceramah, lebih baik Ibu pulang saja.”
“Emosimu tidak pernah berubah. Apa kamu sudah menemukan lelaki itu?”
Mendengarnya membuat Nala menjadi gugup, untuk saat ini tidak ada yang bisa ia sampaikan. Semuanya belum jelas, dan terlebih lagi. Ibunya tidak boleh tahu kalau dia sudah mengetahui keberadaannya.
“Belum, sampai saat ini dia belum muncul di sekitar kita.” Jawab Nala datar. Dia mencoba terlihat tenang sambil mengambilkan beberapa kudapan untuk sang ibu agar dia tidak curiga.
Ainur mengangguk. Lalu tiba-tiba suara pintu terdengar, David datang tanpa mengetahui kalau Ainur ada di sana.
“Oh, yang mulia Kanjeng Ratu. Maaf telah mengganggu Anda. Saya tidak tahu Anda ada di sini.” Tutur David langsung berlutut.
“Kalian berdua seperti pasangan pengantin saja. Datang dan pergi sesukanya.” Ujar Ainur sambil berdiri melihat David, “Baiklah, aku akan pergi. Nala, jangan coba-coba mengelabuiku. Dan datanglah ke Istana, ada yang ingin aku bicarakan.” Ucapnya sambil menatap penuh ancaman pada sang anak, “Tapi tidak di sini.”
Ainur akhirnya menghilang dengan asap biru yang menyelimutinya. Nala terduduk lemas di bangkunya.
“Kenapa Kanjeng Ratu sampai datang?”
“Dia masih mencari lelaki itu. Aku harus segera bertindak.”
“Oh ya, saya hampir lupa. Dia dipecat dari pekerjaannya. Dia tidak memiliki apa-apa lagi. Ayahnya suka berhutang dan kemarin sepertinya preman itu adalah lintah darat tempat Ayahnya berhutang.”
“Jadi begitu, hidupnya sengsara sekarang.”
“Dan ini,” David memberikan beberapa berkas tentang investasi yang telah dilakukan Nala selama ratusan tahun, “Data yang anda minta.”
Nala membaca data tersebut, dia tersenyum puas, “Baguslah, semua harganya meningkat.” Dia kemudian memberikannya kembali pada David, “Jangan lupa awasi pria itu. Jangan sampai ada yang tahu keberadaannya.”
“Baik.” Ujar Asisten setianya itu.
***
Beberapa hari kemudian, Tomi mau tidak mau harus membanting tulang untuk biaya hidup keluarganya. Dia bekerja sebagai kuli bangunan di sebuah proyek pembangunan swasta. Tubuhnya sudah basah dipenuhi keringat. Dengan susah payah dia membawa batu bata dan semen ke lantai tiga. Pekerjaan ini sungguh melelahkan. Terik matahari pun sama sekali tidak bersahabat.
Sore hari, mereka semua berkumpul untuk menerima upah dari sang Mandor.
“Tomi,”
“Iya Pak.” Jawabnya.
“Ini gaji kamu hari ini. Besok datang lagi seperti biasa ok.”
“Ok.” Jawab Tomi sumringah.
Dengan senang hati Tomi berjalan pulang ke rumahnya, malam itu keadaan lumayan sepi dan daerah rumah Tomi adalah daerah yang tidak begitu ramai. Terus menyusuri jalan, Tomi tidak sadar kalau tiba-tiba ada sebuah motor yang melaju kencang ke arahnya. Motor itu ditumpangi oleh dua orang yang mengendarai ugal-ugalan.
Semakin mendekat, tas Tomi dirampas oleh dua orang pencopet tersebut. Tubuh Tomi yang mencoba mempertahankan barang miliknya kemudian jatuh terguling. Motor itu melaju kencang dan menghilang dari hadapannya begitu saja. Tadi dia sempat melihat mata pencopet itu, lalu tubuhnya didorong dengan kuat hingga ia terjatuh.
Memukul tangannya ke tanah, dia sangat kesal. Jerih payahnya hilang begitu saja.
“SIAL…SIAL…SIAL.” Teriaknya. Matanya memerah menahan kesal dan tangis.
***
Di tempat lain, Indah yang baru selesai sekolah dihadang oleh beberapa temannya.
“Mana duit?”
“Sa… saya nggak punya duit.” Jawabnya ketakutan.
“Bohong lo. Geledah kantongnya.” Ujar Lani, teman sekelas Indah menyuruh temannya yang lain untuk mencari uang di saku seragam Indah.
“Jangan, tolong. Ini untuk ongkos saya pulang.”