Destiny Of A Witch

Deviannistia Suyonoputri
Chapter #9

Pelajaran Berharga

Ainur segera mengadakan rapat mendadak dan tertutup, hanya dihadiri oleh petinggi-petinggi Kerajaan Meghana.

“Aku memanggil kalian semua karena ada hal penting yang harus aku sampaikan.” Ucap Ainur, “Aku ingin kalian semua memperketat penjagaan atas Kerajaan ini. Aku tidak mau kejadian kemarin terulang lagi, kejahatan sihir hitam harus segera dihentikan.”

Semua orang mengangguk menyetujui saran Ainur, “Yang Mulia, saya kira kita harus segera membentuk pasukan yang akan melawan para penyihir hitam.” Ujar Adiwangsa, Menteri Pertahanan Meghana.

Ainur mengangguk, “Aku juga berpikir begitu, akan aku tugaskan Menteri Pertahanan dan Dalam Negeri untuk mengurus itu semua.”

“Baik.” Mereka semua mengangguk 

“Nala, ikut aku.” Perintah Ainur.

Nala mengangguk dan mengikuti ibunya. Mereka pergi ke ruang kerja Ainur.

“Apa yang terjadi? Apa yang kamu lakukan? Aku tidak mendengar berita darimu sejak tiga hari lalu.”

“Maafkan saya Yang Mulia, saya diserang oleh para penyihir hitam. Dia datang menyerang saya dan saya kalah.” Ujarnya menunduk, “Saya membutuhkan kujang itu.”

“Sudah aku bilang untuk tetap di sini, tapi kamu malah melawan. Kerajaan Aryan juga sudah mulai berani bermain di belakang kita. Kamu harus cepat menemukan kujang itu.”

Nala mengangguk, dia berpikir bahwa ini adalah kesempatan untuknya menunjukkan kemampuannya dan mengalahkan Agung.

***

Tomi datang menemui ayahnya sendirian, dia sengaja tidak mengajak Indah karena takut adiknya akan sedih atau marah.

“Kamu datang juga.” Ujar Syamsul malu-malu, dia masih punya rasa malu karena sudah memanfaatkan anaknya.

Tomi menatap Ayahnya lekat-lekat, wajah Ayahnya terlihat lesu dengan rambut yang berantakan. Uban dan kerutan di wajahnya jelas terlihat. Menghela napasnya, Tomi berusaha bicara dengan lelaki paruh baya di hadapannya ini. “Apa Bapak baik-baik saja?” Tanyanya canggung.

Syamsul tersenyum canggung, iya kemudian mengangguk menjawab pertanyaan anaknya sambil mengusap leher belakangnya gugup, “Kamu dan Indah bagaimana?”

“Kami baik-baik saja,” Jawab Tomi, “Bapak sudah makan?”

“Sudah, Bapak sudah makan.” Syamsul terdiam beberapa saat menatap anaknya dalam, “Maaf Bapak merepotkanmu.”

Mendengarnya Tomi jadi tersenyum miring, “Tidakkah Bapak lelah? Hidup seperti ini, keluar masuk penjara?”

“Maaf Tom, Bapak tidak bermaksud…”

Dengan cepat Tomi memutus perkataan Ayahnya itu, “Kalau tidak bermaksud, apa iya akan melakukannya lagi? Kalau menyesal, kenapa Bapak ada disini?”

“Tomi, Bapak ingin menebus semua kesalahan Bapak pada kalian. Bapak ingin membuat kalian bangga. Mereka menjanjikan keuntungan yang besar, dan Bapak kira uang sisanya bisa Bapak pakai.”

“Di dunia ini tidak ada yang mudah, bahkan setelah mengalami kesulitan berkali-kali Bapak masih saja tertipu. Saya tidak tahu lagi harus bicara apa, saya dan Indah mampu untuk bertahan hidup tanpa dukungan Bapak. Tolong, saya mohon untuk jangan kembali lagi.” Ucap Tomi tegas, dia tidak mau kembali mengurusi hal-hal seperti ini. Ini membuatnya sungguh muak.

Syamsul membuang wajahnya, dia kesal sekaligus sakit hati. Dia memang salah, tapi bukan berarti anaknya bisa membuangnya begitu saja. Dengan hati berat, dia berdiri dan kembali ke dalam selnya. Berjalan lunglai, Syamsul mendudukkan tubuhnya ke lantai. Dia menangis sejadi-jadinya. Dia merasa menjadi lelaki paling bodoh di dunia ini. Membuat keluarganya sengsara bahkan mengorbankan mereka. Sungguh Ayah yang tidak bertanggung jawab.

***

Nala pergi ke bukit Gunung Merapi bersama David, di dalam buku kitab yang diberikan sang Ibu, kujang peninggalan Kakek Buyutnya tersimpan dalam sebuah kotak yang mereka sembunyikan di dalam goa sebuah bukit. Goa tersebut sangat pengap dan gelap, Nala dan David memasukinya perlahan-lahan. Banyak dedaunan dan ranting kering berjatuhan di sana.

“Tempat ini cukup dalam.”

“Betul, kita harus segera keluar dari sini sebelum gelap.” Ucap Nala sembari berjalan.

Tak lama berselang sekelompok kelelawar yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka terbang berhamburan keluar dari Goa itu. Mata Nala dan David dibuat tak bisa melihat oleh mereka.

“Kita harus cepat.” Tutur David.

“Berhenti bicara sebelum saya tendang kamu keluar.”

Sontak David langsung terdiam tak berani berkata apa-apa lagi.

Lihat selengkapnya