Dua ratus tahun lalu, di sebuah gubuk rahasia nan terpencil terdapat sekumpulan orang yang sedang berdiskusi. Mereka terdiri dari para aktivis, pelajar dan orang biasa. Mereka semua memajang wajah serius dan marah.
“Ini tidak bisa dibiarkan, semakin lama para orang Belanda itu semakin menguasai wilayah-wilayah tanah air.” Protes Soerya, seorang aktivis yang sering mengamati kejadian-kejadian politik negeri ini.
Galuh yang merupakan seorang cendikiawan mengangguk setuju pada perkataan Soerya, “Sepertinya Raja juga begitu acuh pada apa yang terjadi. Sebagai warga Kerajaan Padjajaran kita harus segera mulai beraksi.”
“Hmm, apa yang kalian ingin lakukan?” Tanya Khairil, mereka bertiga memang sudah bersahabat sejak lama dan memiliki tujuan yang sama. Tapi semakin mereka melihat keadaan di sekitar mereka, semakin mereka ingin untuk memperbaikinya.
Pintu tiba-tiba terbuka, Nala datang tergesa-gesa membawa beberapa berkas. Wajahnya terlihat panik dan napasnya tersengal-sengal, “Maaf saya terlambat. Ini ada beberapa hal yang harus kalian lihat.” Nala memberikan beberapa berkas pada orang-orang yang duduk. Saat memberikannya pada Galuh, mereka saling bertatapan dan tersenyum satu sama lain.
“Jadi ini alasannya, mereka semua menerima suap dari Londo edan itu. Brengsek.” Umpat Soerya.
“Kamu dapat ini dari mana?” Tanya Ujang yang penasaran.
Nala menelan ludahnya, dia sedikit gugup, “Saya punya kenalan di istana. Kebetulan dia punya visi dan misi yang sama dengan kita.”
“Hati-hati dengan siapa kamu bergaul.” Tutur Khairil sambil meraih berkas-berkas tersebut.
Galuh mengeraskan rahang dan mengepal tangannya kuat, “Para Gubernur sialan,” Ujarnya sambil menggebrak meja, “Mereka memerah keringat rakyat membuat mereka sengsara dan menderita sedangkan mereka begitu nyaman menikmati uang hasil curian.”
Soerya terdiam menatap teman-temannya yang lain, “Kalau begitu kita akan mulai membuat rencana.” Tuturnya dalam, dia kemudian menatap Galuh, “Luh, saya percaya padamu.”
***
Kembali ke masa sekarang, Nala mengambil sebuah lukisan yang ia simpan rapat-rapat. Lukisan itu adalah lukisan hitam putih ketika mereka berada di depan sebuah rumah. Nala dan kelima temannya membayar mahal untuk pelukis yang menggambar mereka. Dia tersenyum menatapnya, tapi di sana ternyata bukan hanya wajah dia yang terlihat dikenal. Ada wajah Tomi yang berada di sampingnya saat itu. Tomi ternyata adalah Galuh yang sejak dulu sangat dekat dengan Nala.
Suara ketukan tiba-tiba membuyarkan lamunannya, “Masuk!” Perintah Nala.
“Putri, ini hasil yang didapat dari minuman kaleng itu. Ternyata dia bukan sekedar minuman biasa. Ada alkohol dalam jumlah tinggi di dalamnya.”
“Ini pasti kerjaan Saiza dan Amru. Saat melihatnya saya curiga dan benar saja, terdapat cahaya ungu di dalamnya. Bodohnya saya tidak sadar akan hal itu.”
David mengangguk, “Mereka sudah mulai merencanakan aksinya. Sebaiknya Putri berhati-hati.”
“Saya belum menemukan kujang itu.”
“Apa Putri sudah memikirkan apa yang saya katakan kemarin?”
“Saya belum sempat memeriksanya, kehadiran Ibu membuat kepala saya pusing.”
“Kalau begitu beristirahatlah.” Ucap David sambil memakai topinya memutar, “Saya masih banyak pekerjaan. Jika membutuhkan saya telepon saja ok.” Kini dia bicara sembari mengedipkan satu matanya membuat Nala heran
Nala menggelengkan kepalanya, “Dia habis makan apa sih jadi kesurupan begitu. Mana ada atasan diperintah sama anak buahnya? Ada yang aneh.” Ujarnya sambil kembali menggeleng.
Nala yang penasaran kemudian melirik buku yang diberikan ibunya, dia menatap buku itu lama sebelum akhirnya dia meraih buku itu. Membolak-balikkan buku tersebut Nala jadi penasaran apa yang belum lengkap. Dibukanya buku itu satu per satu halaman, tapi tidak ada yang kurang sama sekali. Nala sempat bingung beberapa waktu, tapi dia punya ide. Tiba-tiba saja itu muncul di kepalanya. Memejamkan mata beberapa saat, Nala lalu membuka mata batinnya. Matanya sekarang berubah warna menjadi hijau. Dan disitulah dia baru melihat jelas bahwa ada halaman yang hilang.
***
Indah terlihat begitu senang mendapat hadiah dari Nala. Dia terus memandang tas ransel yang diberikan itu dengan mata berbinar.
“Segitu senangnyakah dibeliin tas?”
“Kak, ini tuh tas yang aku mau. Warnanya biru lagi warna kesukaanku. Kok bisa ya dia tahu kalau aku ingin tas ini. Dan harganya kan mahal.” Ujar Indah menjelaskan.
“Memang berapa harga aslinya?”
“Ini bisa dua juta harganya.”
Tomi menaikkan alisnya terkejut, dia membelikan adiknya tas seharga dua juta. Wah, ini pertama kalinya mereka memiliki barang dengan harga semahal itu.
“Waw,” Tutur Tomi takjub.
“Kakak kerja sama dia kan? Aku ikut dong kak kalau kakak kesana. Aku mau berterima kasih, nggak enak dia sampai ngasih barang semahal ini.”
Tomi mengangguk, “Baiklah, nanti Kakak ajak kamu.”