Malam itu, Tomi datang ke rumah Nala dengan tatapan aneh. Tatapan kosong tanpa arah. Dia menerobos masuk ke dalam dan langsung menemui Nala yang sedang membaca bukunya. Tanpa ragu, Tomi menghampiri dengan cepat dan mencekik Nala kuat. Nala terdiam kaget, dahinya mengerut tak percaya apa yang terjadi. Dia menatap Tomi tajam, mata itu tidak seperti biasanya.
Nala mengerang kesakitan, dia mencoba sekuat tenaga untuk melepaskan tangan Tomi namun tidak bisa, “Apa yang kamu lakukan?” Tuturnya terbata-bata.
Namun Tomi sama sekali tidak merespon, dia tidak bergeming malah semakin kuat mencengkram leher Nala.
“Tomi.” Ujar Nala memohon, tapi karena tidak juga bereaksi. Nala akhirnya memutuskan untuk melawan, dia menyerang dengan memukul tangan Tomi lalu mendorongnya menjauh.
Napasnya tersengal-sengal, dia mencoba untuk mengumpulkan kekuatannya namun belum selesai beristirahat, Tomi meraih pisau dan menyerang Nala dengan kecepatan kilat. Untungnya Nala yang cekatan, mampu menahan pisau tersebut.
“Tomi, SADAR.” Ucap Nala penuh penekanan, dia berusaha untuk menarik sihir yang menyelimuti Tomi tapi begitu sulit. Tomi tidak mau berhenti menyerangnya.
Tapi Nala tidak hilang akal, dia menyelengkat kaki Tomi membuatnya terjatuh. Setelah itu dia membacakan mantra yang membuat Tomi tertidur pulas. Dia akhirnya bisa bernapas lega, tadi hampir saja. Ini sudah keterlaluan, dia harus cepat membuat Agung dan pasukannya menghilang, kalau tidak dia dan Tomi yang akan menerima akibatnya.
Memegangi lehernya yang tercekik tadi, David tiba-tiba muncul dengan panik.
“Putri, Anda tidak apa-apa?”
“Kamu kemana saja sih? Saya hampir mati.” Hardik Nala kesal.
“Saya keluar sebentar, maafkan saya Putri.”
“Bawa dia ke dalam. Keluarkan sihir dalam tubuhnya,”
“Baik.”
Wush…
Mata Nala melirik saat menyadari ada yang datang.
“Sudah kubilang jangan lagi berhubungan denganya.”
Nala memutar matanya kesal, ocehan sang Ibu tidak akan menyelesaikan masalah. Beberapa menit kemudian Nala dan Ainur duduk di ruang tamu. Mereka saling membuang wajah satu sama lain.
“Kembalilah ke Istana.” Pinta Ainur.
“Saya tidak bisa bekerja dari sana. Di sini semuanya bisa saya awasi.”
“Tapi itu berbahaya untuk kamu, cobalah berpikir bagaimana kalau kamu berada di posisi Ibu.”
Nala terdiam beberapa saat, “Kalau saya jadi Ibu saya tidak akan mengusir Kak Ria dari Istana.”
“Sudah Ibu bilang jangan bahas soal dia,” Hardik Ainur kesal, “Nala, selama ini aku sudah mencoba untuk melindungimu. Tapi tidak selamanya aku mampu melakukannya.”
“Mereka sudah mengincar Tomi, saya tidak bisa membiarkannya.”
“Soal Tomi biar aku yang urus.” Ucap Ainur.
Nala sontak terdiam beberapa saat, “Katakan,” Tutur Nala penuh penekanan, “Apa benar Kakak dikeluarkan karena kutukan tersebut? Apa benar saya dan Kak Ria dikutuk dengan hal yang sama?”
Ainur terkejut mendengar perkataan anaknya, dari mana anaknya ini tahu tentang hal tersebut. Ainur memejamkan matanya beberapa saat, dia tidak bisa mengelak lagi, ini saatnya dia berkata jujur “Tidak, kamu dan Kakakmu berbeda. Aku tidak tahu kamu mendengar ini dari mana tapi aku yakin kamu pasti sudah tahu. Ria keluar dari Istana karena keinginannya sendiri. Dia jatuh cinta dan memohon agar bisa bersama dengan kekasihnya.”
“Lalu kenapa Ibu berbohong?”
Ainur menghela napasnya, “Hati Ibu hancur saat itu. Ibu tidak menyangka kalau dia lebih memilih lelaki yang baru dikenalnya dibanding keluarganya sendiri. Dia seharusnya yang menjadi penerus tahta, bukan kamu. Tapi Ibu tidak bisa menolaknya, Kakakmu hampir saja bunuh diri jika Ibu terlambat datang,” Ainur kemudian menoleh, menatap tajam, “Ibu tidak akan membiarkan kamu berakhir seperti dia, apapun akan Ibu lakukan agar kamu menjadi penerus Kerajaan Meghana. Bahkan jika aku harus melenyapkan dia.” Tutur Ainur melirik pada kamar tempat Tomi tertidur, tegas dan tanpa ragu.
“Bagaimana kalau saya tidak mau?”
“Apa kamu bilang?”
“Bagaimana kalau saya tidak mau menjadi penerus tahta.”
Plak…
Ainur tiba-tiba saja menampar Nala, “Beraninya kalian. Beraninya kalian mengkhianati aku. Aku memberikan semuanya kepada kalian, aku membesarkan kalian dengan semua yang aku miliki. Tapi ini balasan kalian.”
“Kami tidak pernah meminta untuk menjadi penerus Ibu. Ibu yang menginginkannya.”
“Kau,” Ainur naik pitam, “Akan aku lenyapkan semua yang kamu sayangi jika itu bisa membuatmu tunduk.”
“IBU.” Hardik Nala yang begitu kesal, dia tidak tahu kalau Ibunya adalah orang yang begitu keras.
“Ibu tidak mau dengar lagi adanya penolakan. Atau Ibu yang akan turun tangan langsung.” Ucapnya sebelum pergi menghilang dalam hitungan detik membuat Nala terduduk lemas di sofa miliknya.
***
Angga berada di sebuah Kafe menunggu Erika untuk datang. Duduk dengan penuh percaya diri, Angga berdandan sejak pagi hari. Dia menyiapkan pakaian dan riasan untuk wajahnya. Walau laki-laki tapi Angga tidak lupa untuk merawat dirinya dengan baik. Olahraga dan menjaga pola makan adalah sebuah kewajiban. Menyesap kopinya sambil menikmati suasana, suara hak sepatu membuatnya menoleh.
“Maaf membuatmu menunggu lama.” Tutur Erika yang begitu cantik dan bersinar, mata Angga tidak bisa lepas darinya.
“Ehm, santai saja. Saya juga belum lama.” Tuturnya, “Mau pesan apa?”
“Satu paket burger dan kentang saja.”
Angga mengangguk dan langsung memesankan pesanan Erika.
“Sudah lama tidak bertemu, terakhir sepertinya seminggu yang lalu.”
“Sudah seminggu ya? Benar juga, kamu datang ke toko jam saya waktu itu. Kamu merindukan saya?”