Haira terdiam mendengar pertanyaan Angga, rasanya tubuhnya membeku dan tidak mampu berkata apa-apa. Tapi dia mencoba untuk tetap tenang.
“Anggap saya orang yang diutus untuk menolongmu. Kalau begitu saya permisi.” Ujar Haira cepat-cepat pergi dari tempat itu. Jantungnya serasa berdegup kencang.
Angga yang menatapnya mendesah heran.
***
Indah yang melihat Kakaknya langsung berlari, dia sungguh khawatir sesuatu terjadi pada sang Kakak. Syukurlah dia baik-baik saja.
“Kakak kemana saja sih. Bikin cemas saja, aku mencari Kakak kemana-mana tapi tidak ketemu.”
Tomi tersenyum, “Sudah, sudah. Kakak baik-baik saja. Di sini kita aman.”
“Jadi kita akan tinggal di sini?” Tanya Indah.
Tomi menoleh pada Nala, lalu tersenyum menatap Indah.
“Untuk sementara waktu kalian akan tinggal di sini. Dan Indah akan sekolah diawasi oleh salah satu prajurit.”
“Terima kasih atas perhatiannya.” Tutur Indah, “Saya tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan kalian.”
Nala menatap Indah ramah, “Beristirahatlah di sini. Semua akan aman. Saya jamin itu.”
Saat itu Nala yang berada di ruangan mendengar suara berisik dari luar. Nala yang penasaran kemudian mencoba mencari tahu. Dia langsung melipat kedua tangannya saat tahu yang datang adalah David bersama Saiza dengan tangan terikat oleh mantra sihir.
David yang melintas kemudian memberikan salamnya pada Nala, “Tuan Putri saya telah mengikuti Angga dan ternyata penyihir gila ini memantrainya agar jatuh cinta.”
Nala menggelengkan kepala, “Ckckck.” Ucapnya sambil mendekati Saiza, “Kamu kira ini jaman penjajahan Belanda? Masih saja berbuat ulah yang membuat dirimu sendiri sengsara.”
Saiza yang mendengar bukannya takut tapi malah sengaja memancing emosi Nala, “Hahahaha, kamu tidak akan bisa lepas. Tuan Agung akan membuatmu merasakan sakit sampai kau lebih baik mati daripada hidup. Hahahaha.”
David yang mendengarnya jadi kesal, “Bawa dia.” Ucapnya pada prajurit yang membawa Saiza, “Maafkan saya Putri.” Tutur David yang dijawab Nala hanya dengan senyuman getir.
Tak lama berselang, Haira datang dan menyusul Saiza.
“Haira, tunggu. Saya ingin bicara denganmu.” Pinta Nala.
Mereka berbicara berdua, Nala tahu apa yang ada dipikiran Haira kali ini.
“Kamu pasti sudah mengawasinya selama ini.”
Haira tersenyum, “Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan?” Tuturnya tegas.
“Haira, Angga bukan Soerya dan Tomi juga bukan Galuh. Kita tidak bisa mencampuri urusan mereka.”
“Kamu bisa dan saya tidak? Apa bedanya?”
“Ada harga yang harus dibayar untuk semua itu, dan saya telah menanggungnya.”
“Itu karena dosamu, Agung pantas untuk membalasnya.” Haira menghentikan ucapannya beberapa saat, ada rasa bersalah saat ia mengatakan itu pada Nala, “Saya kehilangan Soerya karena kalian. Keinginan kalian telah menjebloskannya pada kesengsaraan. Dan saya tidak akan melupakan itu.” Ucapnya sebelum pergi meninggalkan Nala. Dia tidak mau membahas lebih soal itu pada orang yang telah membuatnya kehilangan suaminya.
Dulu Haira pernah hidup berbahagia dengan suami dan anak laki-lakinya. Mereka merupakan keluarga kecil bahagia yang tinggal di tengah kota. Soerya adalah ayah dan bapak yang sangat baik, dia sangat mencintai keluarganya. Di suatu malam, Haira yang baru saja menidurkan anaknya yang berumur dua tahun terkejut mendengar suara ketukan yang begitu kencang.
Suara itu nampak terburu-buru, lantas Haira membuka pintu tersebut dan ternyata beberapa orang prajurit Kerajaan datang mencari Soerya.
“Dimana suamimu?”
“Suami saya sedang bekerja, ada apa kalian mencari suami saya?”
Prajurit itu lalu bertukar pandang, salah seorang di antara mereha tiba-tiba saja mendorong Haira agar dia bergeser dan tidak menghalangi mereka.
“Cari di mana Soerya.” Ucap Prajurit tersebut kepada temannya. Mereka mengacak-ngacak seisi rumah Haira.
“Apa yang kalian lakukan? Saya sudah bilang kalau suami saya tidak ada di sini.”
“Cari ke seluruh ruangan, jangan sampai ada yang tertinggal.” Tutur Prajurit itu.
“Kalian lancang, keluar dari rumah saya.” Tutur Haira marah.
“Hei Nyonya, suamimu telah melakukan pemberontakan dan kudeta untuk menjatuhkan Raja Agung. Jadi kami diutus untuk membunuhnya.”
Haira tersenyum sinis, “Kalau begitu suami saya pasti telah berhasil melihat kalian datang ke sini dan mencarinya.”
Prajurit itu berdengus memandang Haira sebelah mata, dia lalu menodongkan bedil pada Ibu satu anak itu. “Kamu kira saya main-main. Kalian adalah pengkhianat.” Suara tangisan lalu menyeruak, dua prajurit itu kaget, Haira berusaha berdiri untuk menyelamatkan sang anak “Eh, diam dan berlutut di sana. Atau kamu akan mati saat ini juga.” Dia lalu memberikan perintah pada anak buahnya, “Cari sumber suara itu.”
Prajurit itu masuk ke kamar dan membawa bayi tersebut, “Komandan, saya telah menemukan seorang bayi.”