Nala membuka ruang kerjanya kasar, dia pusing tujuh keliling mendengar Indah tidak pulang semalaman. Duduk dengan wajah gusar, Nala meremas tangannya kesal. Mereka benar-benar tidak menyerah rupanya.
“Dimana Tomi?” Tanyanya pada David.
“Dia ada di…” Belum selesai bicara, tiba-tiba Haira datang tanpa mengetuk.
“Maaf Putri, Tuan Tomi baru saja pergi. Dia bersikeras untuk menyelamatkan adiknya.”
Nala yang mendengarnya langsung berdiri dari kursi, “Apa?” Ini bisa gawat.
***
Tomi menatap tajam ke tempat dimana adiknya disekap, kemarin jantungnya seperti mau copot. Dia menunggu Indah semalaman yang sama sekali tidak terlihat batang hidungnya. Memberanikan diri, Tomi akhirnya masuk ke Gedung tua itu. Gedung itu seperti bekas bangunan Belanda yang sudah tidak terpakai. Perlahan dengan penuh kewaspadaan dia masuk.
Sebenarnya Tomi takut, bahkan mengingat wajah Agung membuat bulu kuduknya merinding. Wajahnya tidak menakutkan namun sangat menyeramkan. Suaranya yang begitu menggelegar juga membuat keberanian Tomi menciut. Tapi demi Indah, apapun ia lakukan. Demi adik kesayangan dan satu-satunya,
Saiza langsung menghampiri Agung saat tahu Tomi datang, “Tuan, Tomi telah datang.”
Agung tersenyum penuh arti, “Bagus bagus. Suruh dia kemari. Buat dia nyaman.” Ucapnya agak kencang agar sekalian Tomi mendengar.
Datanglah Tomi yang dikawal oleh Amru, dia terlihat sedikit takut dan menelan ludahnya gugup. Melangkah pelan, kaki Tomi mulai terasa lemas. Sepertinya dia akan pingsan, itu yang ada dipikirannya.
Agung lalu menyuguhkan secangkir teh, “Silahkan dinikmati.” Tuturnya.
Tomi yang gugup berusaha keras untuk terlihat tenang, jantungnya berdegup sangat kencang, “Dimana adik saya? Dimana Indah?” Tanyanya.
“Oh, adikmu sedang tertidur. Dia sedang menikmati mimpi yang sama seperti namanya, Indah.”
“Jangan sakiti adik saya. Apa yang kalian inginkan?”
Agung mengangguk, “Jika saya mengatakan keinginan saya apa kamu akan memenuhinya?”
Dengan takut-takut Tomi menjawab, “Tentu.”
Agung menyeringai, “Kalau begitu berikan saya jiwamu.”
“Apa?”
Agung menaikkan kedua alisnya, “Saya ingin jiwamu. Akan menjadi pencapaian luar biasa bila saya bisa mengambilnya.” Agung berhenti bicara beberapa saat, lalu menatap Tomi, “Bagaimana? Kamu mau menyerahkannya?”
“Anda akan mengambil nyawa saya?”
“Bisa dibilang seperti itu. Kamu keberatan?”
Tomi terdiam sebentar, “Tapi Anda harus mengabulkan permintaan saya juga.” Tandasnya.
“Lelaki yang berani. Saya suka, katakan apa permintaanmu.”
“Jangan sentuh adik saya atau Kerajaan Meghana, termasuk Nala dan keluarganya.”
“Hmm, permintaan yang sulit. Karena saya ingin membunuhmu untuk membuat Nala menderita. Tapi jika seperti ini, sepertinya akan sulit. Bagaimana kalau…” Agung menjulurkan jarinya, dan saat itu juga leher Tomi terasa tercekik. Rasanya tidak bisa bernapas, dan semakin lama semakin tersiksa.
Syut…