Setelah perawatan beberapa hari secara intensif, Nala akhirnya mulai terbangun. Lukanya masih terasa sakit. Di hadapannya, dia melihat Tomi yang tertidur menjaganya.
“Kamu sudah sadar?” Tanya Tomi penasaran, ada perasaan lega yang menyeruak begitu luar biasa.
“Hmm…” Tutur Nala lemah, dia mencoba berdiri namun perutnya terasa begitu sakit.
“Jangan bergerak, Lukamu masih belum sembuh.”
“Apa yang terjadi?”
“Syukurlah kamu sudah sadar, saya begitu khawatir. Kenapa kamu mengorbankan dirimu sendiri? Banyak pasukan yang berada di sana tapi kamu malah melawannya sendirian.”
“Saya tidak bisa mempertaruhkan mereka.”Suara langkah lari membuat Nala mengalihkan perhatiannya, “Ada apa?”
“Yang Mulia Kanjeng Ratu menyuruh para prajurit untuk menghabisi Agung dan para komplotannya.” Tutur David.
“Apa?” Nala terkejut, dia terdiam sejenak berpikir. Lalu membuka penutup tempat tidurnya. Tempat tidur itu khusus dibuat seperti bentuk kapsul yang dapat menyembuhkan apapun. Hanya Kerajaan Meghana yang memilikinya
Menahan rasa sakit, Nala berusaha berjalan sekuat tenaga. Tomi yang berada di sampingnya khawatir, “Kamu mau kemana? Kamu kan belum sembuh.”
“Ibu tidak boleh melakukan ini. Mereka akan bertambah marah.”
“Tunggu… saya akan panggilkan Ibumu.”
Nala berhenti sambil menatap Tomi sinis, “Kamu kira kamu siapa memanggil Ibu saya.”
“Ah, benar juga.” Ucap Tomi sambil menggaruk kepalanya.
Nala dengan susah payah berjalan dan sampai di ruangan sang Ibu.
Ainur kaget, “Kamu tidak apa-apa?”
“Hentikan serangan Ibu.”
Ainur menelan ludahnya kecewa, “Mereka telah melukaimu, tidak mungkin Ibu hanya diam saja.”
“Mereka lebih kuat dari yang Ibu duga. Kita tidak bisa membuat masalah dengan mereka.”
“Tapi mereka selalu membuat masalah dengan kita.” Tuturnya tegas.
“Ini belum saatnya. Mereka bisa melukai siapapun, akan lebih banyak korban yang jatuh jika Ibu melakukannya sekarang.”
Ainur terdiam menimbang apa yang dikatakan anaknya, dia sebenarnya begitu marah dengan serangan kemarin. Tapi mendengar apa yang dikatakan Nala sepertinya ada benarnya. Menatap anaknya mencari kepastian, dia bisa melihat kalau Nala masih tidak percaya diri. Dia memang belum siap untuk melawan mereka, masih banyak yang harus ia pelajari. Dan sepertinya ini akan jadi kesempatan Ainur untuk memulai proses penyerahan tahta.
“Baiklah. Aku akan menghentikannya, namun dengan satu syarat.”
“Syarat?”
“Iya, kamu harus memulai melakukan pengukuhan tahta. Semua yang aku lakukan akan kamu pelajari.”
Nala terdiam, ini akan menjadikannya penerus tahta secara utuh. Tapi, apa yang membuat Ibunya terburu-buru melakukan ini semua? Nala lalu mengangguk, “Baiklah, saya setuju.” Jawab Nala membuat Ainur tersenyum. Tidak bisa dipungkiri bahwa ini adalah saatnya Nala untuk mengambil alih, dia sudah lelah dan ingin menikmati hidup.
***
Haira datang ke sebuah tempat, dia menatap ke arah rumah yang cukup besar itu lama. Rumah itu berpagar tinggi dan berdinding kokoh, jelas terlihat kalau orang yang menempati rumah itu adalah orang kaya. Haira termenung terus menatapnya.
“Sepertinya rumahnya bagus.” Sebuah suara tiba-tiba muncul, namun Haira tidak memperdulikannya.
“Ya, bagus dan indah.” Tutur Haira dalam tanpa menoleh, beberapa saat kemudian dia baru tersadar akan sesuatu. Dia menoleh perlahan ke samping dan ternyata Angga berada di sana.
“Kopi?” Ujar Angga yang tenang namun mengawasi.
Haira melihat sinis pada kopi tersebut.
“Ini hanya kopi, tidak ada racun di dalamnya.” Tutur Angga.
“Saya tidak minum kopi,”
“Oh, ok.” Angga lalu berjalan masuk ke rumah besar yang ditatap Haira sejak tadi membuat perempuan itu sontak malu, “Masuklah, ini rumah saya.” Tutur Angga.
Menelan ludahnya malu, Haira yang penasaran akhirnya masuk ke dalam rumah tersebut. Dia berjalan bersampingan dengan Angga.
“Rumah ini saya beli tiga tahun lalu, saya suka daerah sini. Dekat dengan kantor dan pusat perbelanjaan,” Terus berjalan mereka melewati sebuah dinding air mancur buatan yang begitu cantik, “Itu saya yang design sendiri.” Ucapnya menyombongkan diri.
Sampai di dalam rumah, Haira meletakkan kedua tangannya di belakang. Dia berkeliling sambil mengamati tempat tersebut.
“Duduklah, akan saya buatkan jus.”
“Kamu tinggal di sini sendirian?” Tanya Haira.