Keributan terjadi di pagi hari, semua orang panik berlarian kesana kemari. Nala dengan wajah pucat pasih berlari kecil menuju kamar sang Ibu, ini seperti mimpi buruk. Tidak mungkin, tidak mungkin Ibunya meninggal begitu saja, adalah kata-kata yang ada di kepalanya sekarang. Sampai di dalam kamar, perlahan namun pasti dia mendekati sang Ibu. Hatinya begitu hancur saat melihat kenyataan kalau Ibunya terbujur kaku, tubuhnya sangat dingin dan pucat.
Semua orang bersedih saat itu, air mata Nala tumpah sejadi-jadinya. Tomi dan David berada di samping Nala tanpa henti, sedangkan Haira mengurus semua keperluan pemakaman Ainur. Dia tidak menyangka kalau hari ini akan datang, hari dimana dia benar sah menjadi penerus tahta Kerajaan Meghana. Dengan wajah yang muram, Nala berusaha untuk kuat dan tegar. Setelah proses pemakaman, Nala langsung menerima mahkota sebagai tanda kalau dialah sekarang yang memegang penuh kekuasaan. Sontak semua orang berlutut, memberikan hormatnya pada Ratu baru mereka.
***
Perkumpulan Agung tengah mengadakan pesta, mereka sedang bergembira ria karena rencana pengembalian mereka akan segera dilaksanakan. Semua orang berada di sana tanpa terkecuali, karena setelah semua ini berakhir mereka pasti akan berpencar dan membentuk koloni baru.
“Makan makan, nikmati kebebasan kalian malam ini. Semua sudah siap dan selesai. Aku begitu senang kalian bisa menyelesaikan ini semua. Semua ini untuk KALIAN.” Ucap Agung penuh penekanan di akhir kalimat.
“HIDUP TUAN AGUNG…HIDUP TUAN AGUNG.” Semuanya serentak menyerukan nama Agung kecuali satu orang. Orang yang duduk tenang tanpa menunjukkan emosinya. Dia adalah Haira yang berada di antara para pengikut Agung.
Agung kemudian turun dari singgasananya dan menghampiri sekutunya tersebut.
“Halo Haira, kamu menikmati jamuannya? Semuanya sudah dipersiapkan untukmu.”
“Terima kasih, saya tidak tahu kalau malam ini ada acara pesta. Maaf saya tidak bawa apa-apa.”
“Bukan masalah, kami memang sengaja mengundangmu. Ini adalah ucapan terima kasih karena telah membantuku dan aku mau kita semakin dekat.” Agung berhenti sebentar dan melirik ke arah makanan yang tidak disentuh oleh Haira, “Kenapa kamu tidak makan? Kamu takut aku meracunimu?”
“Hmm, tidak.” Ucap Haira datar, dia berusaha untuk tenang.
“Hahaha, cara itu sudah kuno aku bisa langsung membunuh seseorang tanpa basa-basi. Kamu bukan musuhku,” Agung kemudian merangkul Haira dekat, “Kamu sudah membuktikan kesetiaanmu padaku, aku percaya padamu Haira.” Agung menoleh mencari keberadaan anak buahnya, “Amru, bawa kesini benda itu!” Perintahnya. Dia kemudian kembali menatap Haira, “Aku akan memenuhi janjiku.”
Beberapa saat menunggu, datanglah Amru bersama kujang yang telah dijanjikan oleh Agung. Agung tersenyum menatap kemegahan kujang berwarna emas itu. “Ini, aku serahkan ini padamu.” Ucapnya sambil menyodorkan benda itu pada Haira, tapi saat Haira ingin mengambilnya Agung dengan cepat menariknya kembali, “Benda ini punya kekuatan besar, hanya pemiliknyalah yang mampu mengendalikannya.” Ujarnya sambil menatap Haira dalam.
Haira dengan wajah dinginnya tidak banyak bicara, dia langsung meraih kujang itu dan menatapnya lekat-lekat. Kujang itu begitu gagah dan kuat, dia bisa merasakannya.
Agung tersenyum, “Kali ini aku akan dengan mudah menghancurkan Nala dan juga semua yang ia miliki.” Ucap Agung yang dilirik menyeringai oleh Haira.
***
Nala termenung menatap dinding kaca yang memantulkan gambaran taman indah nan menawan. Dirinya seperti masih belum percaya dengan apa yang terjadi. Terbukalah pintu dengan beberapa orang berpakain rapi dan resmi masuk. Mereka adalah perwakilan kerajaan Aryan, Nala sengaja mengumpulkan mereka karena ada hal penting yang harus ia bicarakan.
“Kami turut berduka atas perginya Ratu Ainur.” Ucap Anjar ramah.
Nala tersenyum, “Terima kasih, saya menghargai ketulusan kalian. Hari ini ada hal penting yang ingin saya bicarakan.”
“Apa yang sekiranya ingin Ratu bicarakan?” Tanya Andi, anak buah Anjar.
“Saya ingin kalian membantu Kerajaan Meghana, saya ingin 40% hasil kekayaan Kerajaan Aryan.”
“Apa? Kamu ingin mengambil semua hasil Kerajaan kami?” Anjar sontak marah.
“40%, dan saya jamin keamanan juga kemakmuran kerajaan kalian.”
Aryan tersenyum miring, dia tidak percaya dengan semua yang Nala bicarakan, “Cukup berani untuk Tuan Putri yang baru naik takhta.”
“Ini sama saja dengan menjajah.” Tutur Andi.
Nala langsung menaikkan wajahnya kesal, dia menunjukkan siapa yang memimpin di sini, “Selama berabad-abad kita melakukan kerja sama dengan sangat baik, bahkan begitu baik. Kalian ingat jasa Ibu saya bukan? Dia telah sekuat tenaga membantu kalian untuk bisa berdiri kembali. Kalian tidak pernah menderita selama ibu saya memimpin. Dia meminta imbalan hanya agar kalian mau bekerja, tentara, pasokan makanan, infrastruktur dan pendidikan, siapa yang membangun itu semua kalau bukan Ibu saya. Dia bahkan tidak menuntut kalian apapun. Dan sekarang setelah dia tiada sepertinya kalian mulai berubah.”
“Apa yang berubah Ratu? Kami hanya keberatan karena apa yang Anda minta terlalu besar, baru kemarin kalian setuju untuk menurunkan upeti dari kami. Sekarang kenapa jadi seperti ini?”
Nala menghela napasnya heran, dia lalu melempar sebuah kancing yang menjadi bukti siapa yang mencuri buku yang ada di perpustakaan Ibunya, “Jangan bilang kalau kalian tidak tahu apa-apa.” Semua orang seketika melihat kancing baju mereka masing-masing, dan ada satu orang yang memiliki kancing berbeda pada seragam yang ia kenakan. Fahmi, dia adalah prajurit Kerajaan Aryan yang khusus ditugaskan sebagai mata-mata. Anjar memejamkan matanya kesal, dia sudah tidak bisa mengelak lagi.
Alhasil Aryan dan anak buahnya pulang dengan penuh rasa kecewa. Dia membanting pintu keluar sangking kesalnya. Mau tidak mau mereka setuju untuk mengikuti keinginan Nala membagi hasil Kerajaan mereka sebanyak 40% dan buku yang mereka curi harus dikembalikan. Jika tidak maka itu artinya Kerajaan Aryan mengajak perang dengan Kerajaan Meghana.
“Mereka pasti sangat terpukul.” Tutur David.