Lo percaya dengan kata sempurna?
***
Starbucks memang menjadi pilihan yang tepat untuk minum kopi. Di tambah rasa kopinya yang sangat pas dengan lidah Steve. Membuat cowok itu akhirnya memilih untuk nongkrong di starbucks bersama dua temannya—Garlan dan Mario.
Ini masih hari kerja, tapi karna tiga manusia itu tidak memiliki pekerjaan, mereka bebas. Steve sendiri tak minat mencari kerja. Karna mendiang Papanya meninggalkan harta begitu banyak. Belum lagi Steve sering menang lomba balapan. Menurutnya, itu sudah lebih dari cukup untuk menghidupi kehidupannya sendiri.
Banyak temannya yang mengatakan pekerjaan itu penting. Untuk nanti pas nikah, pas punya anak, dan lain sebagainya. Saat ada yang membahas itu kepada Steve, jawaban Steve simple. "Gue gak mau nikah."
"Hidup gini-gini aja, ya."
Kalimat itu keluar dari bibir Garlan yang sekarang tengah menyandarkan tubuhnya pada dinding sambil menggoyang-goyangkan kopi di tangan kanannya.
"Bosenin, ya," gumam Mario sambil melamun.
Steve mengangkat sebelah alisnya menatap
kedua temannya. "Mau ke Club?"
Garlan mendengus. "Jujur aja, ya. Gue udah bosen banget ke Club."
Steve diam dan lebih memilih menikmati kopinya. Ya, sebenarnya Steve juga merasa begitu.
"Emak gue ngomel-ngomel tiap hari. Maksa gue buat cari kerja."
Steve melirik pada Garlan.
"Gue juga kepikiran buat cari kerja," balas Mario membuat Garlan berbinar.
"Lo mau cari kerja? Ayo, Yo, bareng sama gue! Mulai besok kita cari kerja."
Mario mengangguk dan melirik pada Steve. "Lo gak ikut, Steve?"
"Gak."
"Ah, elo pake nanya ke sultan," cibir Garlan.
Mario menatap serius pada Steve. "Lo beneran gak bakal nikah, Steve?"
Steve memandang Mario tajam. "Gak. Kenapa emang?"
"Ya, menurut gue, tujuan terakhir manusia hidup itu ya, nikah. Jujur aja, nih. Lo gak bosen apa hidup gitu-gitu terus? Lo gak capek tiap malem balapan, ke club, mainin cewek, gitu-gitu aja terus."
Garlan mengangguk menyetujui perkataan Mario sambil menegakkan tubuhnya. "Inget, Steve. Kita bakalan tua. Gak selamanya muda. Iya, sekarang lo masih bisa jaga diri, bisa rawat diri. Kalo entar udah tua, udah reot, udah gak bisa ngapa-ngapain. Siapa yang bakal ngurus lo kalo bukan istri sama anak-anak lo nanti?"
Steve hanya memandang datar pada ucapan Garlan yang seperti biasanya, panjang. Jangan heran, meski pun jenis kelaminnya laki-laki, mulut Garlan tipe mulut banyak bacot. Steve curiga kalau mukut Garlan adalah mulut turunan dari Emaknya yang galak.
Steve menaruh kedua tangannya di atas meja dan menatap Garlan dan Mario dengan serius.
"Dengan lo punya istri dan anak, apa itu menjamin kalo nanti lo udah tua, mereka yang akan ngurusin lo?" tanya Steve yang dibalas dengan anggukan oleh kedua temannya.
"Iyalah! Siapa lagi? Tetangga?" sewot Garlan.
Steve tertawa pelan dengan nada nyinyir. "Iya kalo istri lo setia. Kalo enggak? Gimana?" Garlan dan Mario bungkam seketika kala teringat akan sesuatu. "Gimana kalo istri lo pergi karna lo udah pensiun, gak punya kerjaan, badan udah gak sehat, sakit-sakitan, gimana?" tanya Steve dengan kedua tangan mengepal erat.
"Kan masih ada anak," jawab Garlan mengernyit.
Steve tertawa menganggapi itu. "Kalo emang kenyataannya begitu, panti jompo pasti sepi, Gar."
Ucapan Steve membuat Romeo dan Garlan kembali bungkam.
"Lo berdua tau masa lalu gue gimana. So, jangan bahas ini lagi sama gue. Kalo lo berdua mau nikah, nikah aja. Jangan maksa gue buat ikut sama kalian," ucap Steve dengan rahang mengeras namun detik berikutnya dia mulai mengontrol mimik wajahnya.
Garlan dan Mario merasa tak enak. Sehingga meja itu sepi. Sepi yang menciptakan kosong hingga canggung yang layaknya memanggung.
Drrrttt.
Drrrttt.
Untungnya getaran ponsel Garlan membuat canggung itu perlahan hancur. Garlan segera mengambil ponselnya.
"Halo, Beb? Kenapa?"
Steve memilih membuka ponselnya dan membalas rentetan chat yang masuk.
"HAH? Aku gak lupa kok, serius deh gak lupa!!!"
Baik Steve dan Romeo, mereka sudah hafal di luar kepala kalau Garlan sudah begini, pasti pacarnya lagi ngambek.
"A-Aku, ini, aku lagi nyiapin surprise buat kamu doongg."