Destroyed

Nia Ramadani
Chapter #4

Tuhan Baik?

Steve.

Siang ini gue duduk sendiri di sebuah Cafe. Garlan dan Mario ternyata beneran niat buat cari kerjaan.

Gue maklum sih. Karna bukan cuma kemaren Garlan cerita tentang nyokapnya yang selalu marah-marah karna Garlan nganggur. Mario juga yang meski pun kekanakan, nyatanya cara berpikir dia cukup panjang. Gue yakin meski pun doi gak punya pacar, dia udah mempersiapkan bagaimana nanti untuk menikah, beli rumah, dan punya anak.

Tiba-tiba, Klen datang dengan muka merah dan terlihat begitu acak-acakan. Dia tanpa izin duduk di salah satu kursi dekat gue sambil tersenyum miring.

"Tumben sendiri lo."

Gue melirik dia yang sangat gak baik-baik aja. "Kacau banget lo kayaknya."

Klen tertegun sejenak sebelum akhirnya dia membuang napas dan murung. "Gue gagal lagi."

"Oh."

Selama ini dia selalu mencoba menjadi orang sok pintar dan sok cerdas. Dia emang orangnya serba sok. Dia selalu melakukan hal di kantor bokapnya dengan ke sok tauan dia. Dia pikir, dia bisa sombong di depan bokapnya yang selalu nyepelein dia. Tapi nyatanya, dia emang sepayah itu. Yang di kerjain malah hampir membuat perusahaan bokapnya rugi besar.

Klen itu ceroboh banget. Makanya gue gak mau berurusan sama dia kalo masalah kerjaan.

"Kenapa sih Tuhan kejam banget sama gue?" Tangan Klen mengepal dengan mata menyipit. "Padahal gue udah berusaha sekeras mungkin, gue udah positive thingking sama takdir. Tapi kenapa selalu ngecewain?"

Gue cuma bisa diem.

Sebenarnya bukan takdirnya yang salah. Tapi takdir begitu karna lo sendiri. Seperti Klen, coba kalo dia gak ceroboh, gak sok tau, mungkin dia bisa tunjukin sisi positif dia ke bokapnya.

Gue gak akan mengatakan itu pada Klen sekarang. Karna gue tau dia orangnya gimana. Dia gak suka disalahin. Sekali pun emang bener salah, dia gak mau disalahin.

"Lo percaya kalo Tuhan itu baik?"

Pertanyaan Klen membuat gue sontak diam.

"kalo Tuhan baik, kenapa harus ada kata 'akan indah pada waktunya'? Kenapa harus berporos pada waktu? Kenapa gak langsung kasih aja?"

Gue memandang kosong ke depan.

"Lo percaya kalo nanti, beneran akan indah?"

Gue gak tau.

Klen tertawa sarkas sebentar. "Lo sadar gak sih, Steve, kalo meski pun hidup kita seneng, sadar gak lo kalo masa senengnya kita selama hidup, itu cuma sebentar. Sementara sedihnya, lama banget. Bahkan meski pun lo udah seneng, sadar gak sih kalo masa sedih itu tetep ada di pikiran kita. Tetep nyiksa kita."

Gue diam mencermati. Ya, semua yang dikatain Klen emang bener. Gak salah sama sekali.

"Kalo Tuhan itu baik, kenapa Tuhan gak ilangin aja bagian sedih itu dipikiran kita. Kenapa ketimbang rasa seneng dan sedih, sedihnya yang abadi di perasaan kita. Kenapa gak senengnya aja?" 

Iya, kenapa gak senengnya aja yang harus muncul di ingatan? Kenapa sedihnya yang malah terus berulang-ulang tayang di ingatan sampai nyiksa banget? 

"Hah."

Gue melirik Klen yang sekarang sedang menyenderkan punggungnya pada sandaran kursi dan mata terpejam erat. Tangan kanannya terus memijit pelipis kepalanya.

Gue diam. Pikiran gue sekarang memikirkan perkataan-perkataan Klen tadi.

Saat gue sedang melamun, segerombolan orang berlari heboh di depan Cafe sukses menarik perhatian gue. Dan, sekarang mata gue tertarik pada satu cewek yang sepertinya tertinggal oleh segerombolan orang-orang tadi, sedang jongkok dengan napas terengah-engah.

"Gue pinjem uang lu, ya."

Mata gue menyipit memandang cewek yang sedang berjongkok itu. Jarak antara gue dan dia jauh. Tapi meski pun jauh, gue seperti pernah melihat dia.

"Steve?"

Fokus mata gue beralih pada Klen yang tadi melambaikan tangannya tepat di depan wajah gue.

Klen menatap gue heran. "Lo liatin apaan sih?"

Cowok itu menoleh ke belakang, dan gue tau dia pasti sedang menyipitkan mata. Namun, ternyata pandangan Klen lebih tajam dari gue. Karna setelah itu, dia mengepalkan tangan dan menyebut nama yang gue yakin nama yang dia sebut adalah nama cewek itu.

"Laura?!"

Gue mengernyit. "Lo kenal?"

"Hah?"

Klen kembali menghadap gue, dan tersenyum. Tingkah dia semakin membuat gue penasaran.

"Lo suka sama dia?" Tanya gue langsung. Gue tipe orang yang gak mau ribet. Males bertele-tele.

Klen menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi sambil memejamkan mata. "Gue terlalu rusak buat dia, Steve."

"Sesempurna apa sih dia?"

"Dia itu, definisi bidadari versi dunia."

Mendengar itu, gue tertawa sebentar. "Gue yakin dia juga ada rusak."

Klen membuka kedua matanya menatap gue yang sekarang memandang tajam perempuan itu.

Lihat selengkapnya