Laura.
"SERIUS LO TERIMA STEVE SEBAGAI COWOK LO TANPA NANYA DULU KE GUE?!"
Gue menutup rapat-rapat mata dan telinga gue. Duh, gue udah memperkirakan ini akan terjadi sih tadi pagi. Cuma anehnya, kenapa tadi malem gue gak mikir mateng-mateng? Gak mikir panjang? Bahkan gak mikir sama sekali dan malah ngangguk?
Serius sih, gak ngerti gue itu tadi malem gue kenapa. Apa karna efek capek, ya? Ah, secapek-capeknya gue biasanya otak gue ini akan tetap berfungsi.
"Lo udah diapain sama Steve?"
Gue mendelik menatapnya sebal. "Ih, apaan sih! Gue baru jadian tadi malem sama dia, Ret."
Reta menatap gue dengan ekspresi gak nyangka. Wajah dia merah banget dan selalu teriak. Kalau udah gini, tandanya dia emosi.
"Gue udah sering cerita tentang Steve ke elo. Tapi kenapa sekarang lo malah jadian sama dia? Jadi omongan gue tentang cowok-cowok brengsek ke lo itu cuma masuk kuping kanan keluar kuping kiri? Gitu?" Reta melotot memandang gue yang hanya diam bersandar pada dinding.
"Ih, enggak Reta! Gue masih inget jelas kok cerita-cerita lo tentang cowok-cowok yang harus gue jauhin."
"Ya terus? Terus kenapa lo malah jadian sama Steve?!"
Gue menunduk sambil memainkan jari. "Karna waktu ketemu sama aslinya, dia beda banget sama apa yang lo cerita. Serius deh." Gue menegakkan punggung dan menatap Reta semangat. "Serius sebenernya dia baik. Gak seburuk apa yang lo pikirin. Dia cuma kurang kasih sayang orang tua makanya jadi gitu."
Reta menaikkan sebelah alis menatap gue. "Terus karna dia broken home, bisa seenaknya jadi brengsek dan bangsat gitu?"
"Reta jangan kasar." Gue cemberut menatap dia yang sekarang memijit pangkal hidungnya.
"Duh, gak ngerti gue harus gimana lagi. Steve, steve. Pantes tuh cowok banyak korbannya. Cewek kayak Laura aja kegaet apa lagi sama cabe?"
"Retaa." Gue merengek menggenggam tangan dia di atas meja. "Gue gak bohong kalo dia itu baik."
Reta menatap gue tajam. "Cowok modelan kayak dia itu cuma baik di covernya aja, Ra. Isinya gak giituuu."
Gue menunduk sambil menghela napas. "Ya gimana? Gue kasian sama dia, Ret. Tadi malem dia minta gue buat sayang sama dia."
"Okay, up to you. It has become your choice. So, what can i do?" Reta mengangkat kedua tangannya membuat gue semakin merasa bersalah karna sudah tidak mengabari dia.
"Maaf ya, Ret."
Reta menghela napas dan tersenyum prihatin ke gue. "Gue gak marah kalo lo jadian sama cowok lain tanpa kasih tau gue dulu. Gue gak masalah asal itu buat lo seneng. Tapi, masalahnya di sini lo terima Steve jadi pacar lo tanpa bertanya terlebih dahulu ke gue. Gue takut lo sakit hati nantinya, Ra."
Gue tersenyum lembut menatap Reta. Gue paham. Gue paham akan kecemasan dia dan ketakutan dia. Dia khawatir endingnya gue akan disakitin oleh Steve. Dia gak mau gue sedih dan terpuruk. "Reta, gue janji. Bagaimana pun endingnya, gue gak akan sedih kalo beneran Steve itu brengsek. Gue gak akan jadi cewek bodoh dan gak akan selalu nurutin apa mau dia. Lo percaya sama gue, kalo gue gak akan sama kayak cewek-cewek mainannya dia."
Reta memicing menatap gue. "Awas ya lo kalo gak nepati janji."
Gue mengangkat tangan kanan gue dan hormat ke dia. "Janji!"
***
Reta udah pulang lima menit yang lalu. Biasanya kalo dia ke sini kita akan sarapan bareng. Tapi entah kenapa sekarang, kita sama-sama lagi males.
Alhasil, gue belum sarapan. Dan sibuk menyiram semua tanaman di kebun bunga gue. Gue cuma punya dua pekerja. Yaitu Pak Bondan, dan Gela. Biasanya mereka yang mengerjakan ini. Cuma gue lagi badmood aja dan pengen banget nyiram tanamam sendiri.
Tadi malem itu, kenapa ya kok gue main ngangguk aja? Padahal di pikiran gue udah terbesit sepintas banget buat nolak dia. Tapi, kenapa malah ngangguk?
Tapi, kalo dipikir-pikir lagi, kasian. Jelas banget kalo Steve gak bohong sama sekali malem itu.
Gak nyangka. Ternyata dia itu broken home. Kenapa ya, ada gitu orang tua yang gitu sama anak sendiri? Kalo emang gak menginginkan kehadiran anak, dan terlanjur karena kecerobohan mereka, ya itu salah mereka. Tapi kenapa anak yang jadi dampak terbesarnya? Padahal mereka gak tau apa-apa.
Gak adil banget, ya?
Mentang-mentang mereka dewasa, mereka pikir kita gak akan sakit hati gitu? Apa mereka pikir, seorang anak kecil gak akan inget akan semua perilaku, perkataan, dan kejadian-kejadian yang terjadi antara orang tua?