Meski enggan, Shyam mulai menanggalkan jubah praktikum, masker, sarung tangan karet beserta perlengkapan praktik lainnya saat suara renyah Jovanka nyaris membuat gendang telinganya tuli. Gadis itu berteriak-teriak bukan pada tempatnya. Menjengkelkan!
"Enggak bisa nanti?"
"Kurang jelas omongan gue?" Jovanka merespons tanpa menatap Shyam. Gadis itu justru sibuk mengeluarkan pisang dari kantong plastik yang dibawanya; pisang raja, pisang ambon, pisang ijo, pisang serai, pisang ulin dan beberapa pisang yang tak dikenali namanya.
"Oh, iya jangan lupa nanti siang ada pertemuan selepas Juna latihan," imbuhnya.
Tampaknya Shyam tak peduli, dia berlalu meninggalkan Jovanka dan Surya di Laboratorium Kimia. Di ambang pintu, Shyam merasakan perubahan suasana yang cukup drastis. Jika di dalam laboratorium yang luas itu dingin dan sepi, dari lokasi Shyam berdiri, dia dapat melihat Juna dan kawan-kawannya bermain basket. Suasana yang ramai dan penuh semangat. Sorakan menggema di seluruh penjuru lapangan indoor.
Shyam maju beberapa langkah melihat lebih dekat enam pemuda bermandikan peluh. Mereka terlihat keren dan gagah dalam keadaan seperti itu. Bau keringat yang menguar tak menghilangkan pesona mereka. Gadis-gadis mengantre sekadar memberi air mineral, tisu bahkan selfi. Ada nyeri menjalar di dadanya, kapan terakhir kali Shyam bersimbah keringat? Ah, Shyam sendiri bahkan tak ingat. Dia memang tak memiliki momen seperti itu. Helaan napas panjang membersamai sebongkah memori yang pernah terpahat kembali mencuat.
Sepanjang hari selama bertahun-tahun Shyam kecil habiskan waktu di rumah sakit. Dengan serentetan pengobatan yang menyakitkan. Aritmia Fibriali yang diderita sejak lahir memaksanya membatasi berbagai aktivitas yang menguras banyak tenaga.
Kilatan kenangan menghujaninya tanpa ampun seperti penggalan film yang diputar secara otomatis. Ketika teman seusianya berlari mengejar bola, dia hanya bisa diam di kursi roda melipat-lipat kertas warna menjadi berbagai bentuk yang tak berguna; baling-baling, angsa, perahu dan origami yang lebih rumit seperti boneka dari kertas koran.
Satu kantong besar plastik penuh sampah dibuang ke tempatnya menimbulkan bunyi yang membuyarkan lamunan Shyam.
"Astaga, Shyam lo masih di sini?" tanya Jovanka penuh selidik. "Lo disuruh ke ruang Bu Indari, loh. Nanti dikira gue enggak ngomong sama lo."
Pengabaian dari Shyam pun sudah terlalu akrab bagi Jovanka, gadis itu masuk kembali ketika Shyam meninggalkannya. Suara ramai dari indoor mengecil seiring langkah Shyam menjauhinya, samar-samar, hanya obrolan tidak penting yang tanpa sengaja masuk ke telinga ketika berpapasan di koridor.
Pintu ruangan Bu Indari terbuka, jika diukur kurang lebih satu jengkal kecil Shyam. Dia tetap mengetuk dan mengucap salam.
"Masuklah, Shyam."
"Bu Indari memanggil saya?"
"Ya, duduklah. Bagaimana Shyam apa kamu sudah pertimbangkan baik-baik tawaran saya waktu itu?"
"Tawaran yang mana ya, Bu?"
Wanita itu menatap tajam, tatapan yang membuat ingatan Shyam lebih cepat berkumpul. Mata besar Bu Indari seolah memiliki kekuatan magis tersendiri.
“Menjadi pemimpin tak hanya membutuhkan otak yang cerdas melainkan fisik yang tangkas.” Ada perih menjalar di dadanya. Egonya sebagai lelaki memberontak dia ingin membuktikan diri kepada dunia dia bisa melakukan apa pun yang dilakukan remaja laki-laki pada umumnya. Belajar memimpin, olahraga hingga keringat menetes ke mana-mana. Menjadi lebih berguna dari seongok daging mentah di atas meja. Namun, dunia menamparnya. Dia dilahirkan dengan kekurangan yang melekat dalam diri selamanya.
Bu Indari menatapnya tak mengerti dan berkata, “Sekolah membutuhkan siswa berbakat sepertimu dalam KIRNAS tahun ini.”
“Saya tidak keberatan menjadi bagian dari kesuksesan SMANSA apalagi mengharumkannya sampai tingkat nasional. Bu Indari tahu sendiri keadaan saya tak memungkinkan memimpin tim ini.”
“Bagaimana, ya?” Bu Indari menggigit bibir bawah yang merah menyala. “Surya bagus jadi pemimpin, tapi tanggung jawabnya sudah terlalu banyak. Juna, saya enggak yakin dengan dia. Meski, secampin Surya dia kurang konsisten dan seenaknya sendiri. Bagaimana menurutmu?” ungkapnya bingung.
“Jovanka saja, Bu. Dia cerdas dan tegas cocok jadi ketua.”
Jovanka yang dikenalnya memang segemilang itu. Kemampuannya tak bisa diremehkan. Gadis berpawakan tinggi itu memiliki segudang prestasi. Mampu membawa diri dan pandai menyikapi suatu keadaan.
“Kamu yakin? Apa keputusanmu sudah final?”
Shyam mengangguk. Dia sangat paham dengan keadaannya sekarang.