Detektif Madison

Glorizna Riza
Chapter #1

Mayat yang Tergantung di Gudang Janitor

“Ada yang bunuh diri!”

Ada keributan di depan gudang janitor. Salah seorang petugas kebersihan menjadi pusatnya. Wajahnya pucat dan dia berkali-kali menunjuk gudang jantor yang kini pintunya tertutup. Lelaki yang usianya kupandang masih 20-an tahun itu tampak ketakutan.

Aku mendekat, berusaha menyelip di antara para siswa yang mengerubungi. “Maaf, apa kamu yang pertama kali melihat korban?” tanyaku di antara para siswa yang berbisik-bisik mengutarakan kekagetan mereka.

“Y-ya,” kata petugas janitor itu.

“Hm, namamu....”

“Noah. Noah Wallace.”

Aku mengangguk-angguk, lalu mendekat dan berbisik. “Sudah menelepon polisi?”

“Belum, aku masih sangat shock sekarang. Tidak bisakah para guru saja yang mengurusnya?” tuturnya masih ketakutan. “T-tapi aku tak keberatan untuk jadi saksi.”

Aku masih berbisik, “Bolehkah aku melihat TKP?”

Noah tampak gamang. Melihat kerumunan yang antara percaya dan tidak percaya terhadap ucapannya, membuatnya memutuskan untuk membuka pintu dengan perlahan.

Ucapannya benar. Di dalam, seorang gadis yang kukenal sebagai Skylar Parker tergantung di sana. Matanya melotot dan dari mulutnya meneteskan air liur yang tampaknya sudah mengering.

###

“Sudah jelas ini bunuh diri.” Inspektur Doughlas mengelus-ngelus kumisnya. Anak buahnya sibuk memotret-motret TKP. “Siapa yang pertama kali melihat korban?”

“Orang ini.” Segera aku menarik Noah mendekat. Aku tak ingin ketinggalan dalam kasus ini karena merasa ada kejanggalan. Biarlah aku membolos satu pelajaran.

“Siapa—“

“Siapa namamu?”

Ucapan Inspektur Doughlas diserobot oleh seorang anak lelaki. Melihat kelancangannya, anak itu segera menunjukkan tanda nama yang dikalungkan di lehernya.

“Maaf atas kelancangan saya, Inspektur,” katanya memperkenalkan diri, “namaku Oliver Turner, anggota klub jurnalistik. Berita ini harus masuk di mading dan majalah bulanan sekolah kami.” Kerumunan memang sudah mereda sekarang, hanya menyisakan para petugas kepolisian, aku dan anak lelaki jurnalistik ini, juga Noah sebagai saksi.

Inspektur Doughlas tidak mengacuhkan Oliver dan mengalihkan pandangannya pada Noah.

“Aku Noah Wallace, penjaga kebersihan di sekolah ini.”

“Kamu yang pertama kali melihat korban seperti ini? Bisa dijelaskan detailnya?”

Noah menunduk gugup, mungkin masih shock atau takut karena pertama kali terlibat dengan kepolisian. “Pagi-pagi sekali aku memulai pekerjaanku seperti biasa. Saat hendak mengambil sapu di gudang janitor, aku sudah melihat gadis itu tergantung di sana.”

Inspektur Doughlas mengangguk-angguk.

“Kamu kenal gadis ini?” Kali ini aku yang bicara.

“Tidak—ya—maksudku, ya, aku kenal gadis itu.” Noah menunduk. Ada rasa duka pada air mukanya. “Siapa yang tak kenal Skylar Parker? Anak itu—anak itu, pernah berkelakar denganku beberapa kali.”

“Berkelakar?” Inspektur Doughlas bertanya.

Noah mengedikkan bahu dengan gugup. “Kelihatannya Parker memang cukup terkenal dengan kelakarnya ke beberapa orang.”

Inspektur Doughlas yang bertubuh tambun itu mengangguk-angguk.

Mataku menyipit pada TKP yang kini selesai didokumentasikan. Aku melihat ada kejanggalan di sana.

“Yakinkah Anda bahwa ini bunuh diri?” tanyaku pada Inspektur Doughlas.

“Maaf?” Lelaki itu tampak tersinggung. “Apakah kamu juga dari klub apalah itu—jurnalistik? Ingin memuat berita bunuh diri ini?”

“Oh, bukan, Inspektur.” Aku menggeleng. “Aku bersikeras untuk mengikuti kasus ini karena aku melihat adanya kejanggalan.”

“Kejanggalan seperti apa?” Inspektur Doughlas mengikuti permainanku seperti orang dewasa yang menyimak cerita dongeng dari anaknya. Sementara itu, si Bocah Jurnalistik sedari tadi sibuk mencatat di buku saku miliknya.

“Di bawah kaki Skylar Parker tidak ada kursi atau pijakan apa pun.” Aku menunjuk ke dalam. Di gudang janitor, jenazah Skylar masih tergantung kaku. Di sekelilingnya terdapat alat-alat kebersihan—beberapa sapu dan pel bersandar di dinding, beberapa ember, dan rak-rak yang dipenuhi tissue toilet. Juga ada ponsel yang tergeletak di atas tissue di salah satu rak, sepertinya milik gadis itu.

Inspektur Doughlas membulatkan matanya. “Jadi, maksudmu, ini pembunuhan?”

###

“Bagaimana bisa pelaku membunuh korban dalam keadaan seperti ini?” Inspektur Doughlas kembali mengelus-ngelus kumisnya. “Manusia normal mana mau digiring untuk digantung.”

“Atau sebenarnya, korban dibuat mabuk terlebih dahulu?” Aku memberi argumen.

Lawan bicaraku membulatkan mulutnya. “Ya, dugaan yang menarik.”

Aku mendekati jenazah Skylar. Bukti sementara sudah didokumentasikan—mata Skylar yang terbelalak, adanya air liur kering di mulutnya, juga tubuhnya yang tergantung kaku. Gudang janitor tampak rapi seperti biasanya, tetapi entah mengapa aku merasa ada kejanggalan.

Aku menghampiri Inspektur Doughlas yang sedang bercakap-cakap dengan timnya. “Berapa lama rigor mortis jenazah ini?”

“Apa itu rigor mortis?” Si Bocah Jurnalistik—siapa sih namanya? Aku lupa—akhirnya buka suara.

“Kekakuan mayat.” Inspektur Doughlas menerangkan, “Menurut timku, Skylar terbunuh setidaknya 10 jam yang lalu.”

Aku melihat jam di pergelangan tanganku. Pukul sembilan lewat lima. Berarti Skylar terbunuh kira-kira pukul sebelas malam harinya.

“Anu.” Noah buka suara. “Apakah aku sudah tidak diperlukan di sini? Aku hendak bekerja.”

“Silaka—“

“Tidak bisa.” Aku bersikeras. Inspektur Doughlas memicingkan matanya padaku. Melihatnya, aku memberi alasan logis, “Masih ada informasi yang belum kudapat—maksudku, untuk membantu penyelidikan ini. Masalah pekerjaan, aku yakin atasanmu memberi keringanan karena kamu menjadi saksi dalam kasus kali ini.”

Lihat selengkapnya