Aku sedang menenggelamkan diri dalam buku yang kubaca ketika si Bocah Jurnalistik itu datang. Oliver Turner—ya, aku tidak lupa dengan namanya.
Ia tersenyum mendatangiku seolah aku adalah teman dekatnya. Kemudian lelaki berkacamata itu mengambil tempat di sampingku.
“Apa maumu?” kataku datar, menahan rasa kesal karena diganggu.
Oliver mengangkat bahunya. “Hanya ingin mengucapkan terima kasih. Berkat kamu yang menangani kasus kematian Skylar Parker, aku banyak dipuji oleh para senior di klub jurnalistik.”
Aku memutar kedua bola mataku. “Yang menulis artikel itu kan kamu. Aku hanya membongkar hal yang janggal pada kasus itu.”
Lawan bicaraku terkekeh. “Terima kasih, Maddy. Aku sungguhan berterima kasih.”
Aku melotot mendengar ucapannya. Apa katanya? Maddy? Dia memanggilku seolah aku sahabatnya. Dan lagi, itu adalah nama panggilan yang jelek.
“Istirahat siang berakhir satu jam lagi. Apakah kamu tidak lapar?” tanyanya.
“Tidak.”
Jawabanku sangat kontradiktif dengan bunyi kruuuk yang kemudian timbul dari suara perutku. Yah, aku memang belum makan siang, sih.
Oliver tergelak. “Ayo makan bersamaku!”
###
“Ini pasta daging untukmu, Madison. Kudengar kamu berhasil memecahkan kasus pembunuhan?” Bu Griselda, ibu kantin yang cukup dekat denganku bertanya.
“Terima kasih, Bu,” tuturku sopan. “Yah, aku hanya membuka hal-hal ganjil dalam kasus itu,” jawabku rendah diri.
“Ah, kamu hebat sekali. Kapan-kapan kamu akan kutraktir di—“
PRANG!
Suara piring yang pecah membuat suasana ruang makan menjadi hening seketika.
“Kamu ini bagaimana sih?! Bekerja begitu saja tidak becus!” Pak Reynolds yang kukenali sebagai kepala manajemen kantin pun marah. Seorang petugas kantin memecahkan piring dan sekarang sedang menunduk-nunduk memohon maaf. “Dasar brengsek! Hidupmu tak berguna!”
Aku terhenyak mendengar makiannya. Tidak seharusnya dia berkata kasar seperti itu pada pekerjanya.
“Pak Reynolds memang begitu orangnya,” bisik Bu Griselda melihat ekspresi terkejutku. “Hari ini saja, sudah empat orang yang dia marahi. Semuanya dimaki-maki secara berlebihan seperti itu.”
Aku mengangguk-angguk mengerti, kemudian pamit undur diri untuk makan. Oliver sudah menungguku di meja makan.
“Pasta daging. Kesukaanku,” komentar Oliver kemudian ia mulai makan. Aku tak mengindahkan ucapannya dan mulai makan. “Jadi, Nona Detektif,” katanya memulai obrolan. “Apakah yang membuatmu menjadi secerdas ini sebagai detektif?”
Aku mengedikkan bahu. “Aku tidak cerdas.”
“Tetapi pengetahuanmu dan pemikiran kritismu bisa mengungkap kasus pembunuhan yang berkedok bunuh diri,” tandas lelaki itu sambil memperbaiki letak kacamatanya. “Apa kamu suka baca buku detektif?”
Aku menelengkan kepala. “Aku lebih suka baca buku sains, sebenarnya. Tetapi ya, aku baca sedikit karya Sir Arthur Conan Doyle dan Agatha Christie.”
Lawan bicaraku menjentikkan jarinya. “Mungkin ini penyebab kecerdasanmu yang luar biasa.”
Aku tak banyak menanggapinya. Ia tipe orang yang selalu punya topik obrolan, sedangkan aku tipe orang yang canggung dalam berkawan. Kurasa aku tidak akan cocok dengannya.
###
Kelas sore adalah salah satu hal yang kubenci. Semilir angin musim gugur masuk melalui jendela dan membelaiku dengan lembut. Ah, aku jadi mengantuk. Terlebih pelajaran sejarah membuatku bosan. Aku pun menenggelamkan kepalaku dengan kedua lenganku di atas meja.
“Permisi.” Aku menengadah ketika pintu diketuk. Suara yang kukenal: Inspektur Doughlas. “Kami dari kepolisian Westminster,” terangnya. “Bisa kami panggil Madison Sinclair? Kami butuh bantuannya.”
Aku mengangkat alias, bertanya-tanya ada kasus apa kali ini.
####
“Korban adalah Peter Reynolds, 46 tahun, kepala manajemen kantin asrama Westminster Manor School.” Inspektur Doughlas membaca buku catatannya.
Aku melihat korban. Ia tengkurap dengan mata terbelalak, di punggungnya terdapat pisau yang menancap. Sepertinya ini akan menjadi kasus yang cukup sulit.
“Aku tahu orang ini.”
“Kamu mengenalnya?” Air muka Inspektur Doughlas berubah cerah.
Aku menggeleng. “Tidak mengenal, hanya tahu. Menurut cerita salah satu ibu kantin, Bu Griselda, Pak Reynolds sudah memarahi empat orang hari ini. Aku mendengarnya marah-marah dan makiannya menurutku terlalu berlebihan.”
Inspektur Doughlas menjentikkan jarinya. “Bagus. Panggil keempat orang itu.”
Aiden Taylor, Brandon Hayes, Emma Chase, dan Lily Thompson pun dipanggil.
“Menurut keterangan Nona Sinclair, kalian berempat dimaki-maki oleh Pak Reynolds hari ini. Menurut tim forensik, um—kematian korban diperkirakan dua sampai tiga jam yang lalu. Fyuh, omong-omong, ruangan ini panas sekali ya?” Inspektur Doughlas mengipas-ngipas wajahnya dengan tangannya.
Bulir keringat mengaliri keningku. Aku setuju. Musim gugur memang mulai dingin akhir-akhir ini, tetapi pemanas ruangan ini terlalu tinggi pengaturannya.
“Jadi, apa yang sedang kalian lakukan di jam tersebut?”
Keempatnya tampak gelisah. Keringat mengaliri kening mereka—entah karena ruangan yang panas, gugup, atau kombinasi keduanya.
“A-aku sedang cuci piring.” Emma yang pertama kali bicara.
“Ada saksi yang bisa memperkuat alibimu?”
Emma Chase menaikkan alisnya. “Ya. Aku mencuci piring bersama Monica Waters. Kamu bisa menanyainya bila perlu.”