FAKRI
KUCOMOT SEKEPAL LUMPUR DI COMBERAN. Kutimang-timang dan kusidik-sidik: terlalu berat. Kucubit sedikit, kujadikan bola, kuberi jampi-jampi, dan jadilah: pelor meriam sakti.
“Atas nama keadilan,” aku komat-kamit, ambil ancang-ancang melempar. Di depanku, sepasang anak SMA berjalan bersisian. Keduanya cekakak-cekikik macam orang sakau, tak sadar dengan mara bahaya yang tengah membayang di belakang.
Mereka pacaran, pastinya. Dua remaja yang menjalin kasih polos, melangkah dengan penuh semangat seusai sekolah. Si laki-laki bersikap jantan, berjalan di sisi kendaraan berada, melindungi kekasihnya. Si perempuan penuh perhatian, menggelayuti lengan pasangannya seolah tak ingin kehilangan. Oh, betapa pemandangan yang menyentuh hati. Hanya setan terkutuklah yang cukup kejam untuk mengganggu mereka.
Syukurlah aku lebih kejam ketimbang setan sendiri.
“Aku, Al-Fakri putra Kaisah, kurir azab dari Istana Neraka, mewakili segenap populasi Homo sapiens, menjatuhkan vonis bersalah terhadap kedua pendosa ini. Oleh sebab itu, bukalah hati untuk hidayahku dan binasalah: DJOEROES PEMOESNAH BOETJIIIIIIN!” bisikku—terlalu pengecut buat berteriak. Aku tidak memastikan apa lemparanku kena atau tidak. Aku bahkan tak yakin apa “bola meriam nista” itu terlontar di jalur yang benar atau malah melenceng ke jendela rumah orang. Aku—layaknya anak SD yang kepergok nyolong ayam tetangga—menyegerakan lompat ke belukar pinggir jalan.
Dengan gagah berani, tanpa memedulikan risiko baju kusut, serangan ulat, atau kerja keras paman-paman pengurus fasilitas jalan, aku menenggelamkan diri di antara lebatnya ranting dan dedaunan. Terdengar suara tubrukan, lalu jeritan, kemudian umpatan; dan aku pun tahu, tembakanku mengenai sesuatu.