FAKRI
AKU DUDUK DI KURSIKU, membandingkan ukuran kedua jempolku. Tidak sama. Aku baru sadar, yang kiri lebih besar, berbonggol layaknya akar pohon. Yang satu itu memang pernah patah; atau kena gigit? Aku lupa. Yang jelas, pernah cedera. Mungkin gara-gara itu.
Kelas masih sepi sekarang ini. Sebenarnya, seantero sekolah masihlah sepi. Coba jalan dari gerbang sampai tungku bakar sampah, dan orang yang kau temui takkan lebih dari jumlah jari di tangan.
Aku datang kepagian. Aku bahkan agak sangsi bisa menyebut ini “pagi”, berhubung matahari baru setengah nongol di sela-sela pegunungan, sementara kabut masih bergelayutan, pekat membutakan mata dan dingin menggigit kulit. Kau bisa salah sangka, mengira ini awal mula dari film horor keji yang penuh adegan berdarah-darah—plus cabul kalau sutradaranya orang lokal.
Ya, bukanlah, ampas.
Aku anak kelas satu, baru sesemester pakai seragam abu-abu. Namun unik bukan kepalang, aku bahkan belum tahu nama siswa di meja tetangga. (Potongan rambut mangkuk ala culun, tapi hidung bengkok ala berandalan!) Kalian mungkin kira aku terlalu semangat, tak sabar buat berjumpa dengan teman baru, sahabat baru, dan pacar baru. Sungguhpun, itu fitnah yang teramat kejam dan keji.
Aku datang sepagi ini gara-gara kakak perempuanku. Dia makhluk terlaknat yang memutar jam di rumah satu angka lebih cepat. Aku, yang merasa bangun kesiangan, buru-buru ganti pakaian—lupakan soal mandi, gosok gigi, atau sarapan. Begitu berangkat keluar, aku malah tambah-tambah belingsatan: sudah tak ada orang di jalan! Dungunya, aku tak tengok “itu matahari itu, tuh!” yang baru memperlihatkan kening kinclongnya.
Di kelas—kelaparan dan dirundung kesedihan—aku duduk bengong. Kakakku pasti sedang jumpalitan di rumah, tertawa edan sampai beser. Sungguh bayangan yang meresahkan.
Jadi, kubuka jatah buku hari ini: Sapiens karya Yuval Noah Harari. Buku tebal-berat-gila yang buat orang menguap. Dia bilang kalau otak manusia merupakan keuntungan di masa kini, namun kerugian di masa kuno—ketika alat dan perkakas belum berkembang—berhubung memakan 25 persen energi tubuh bahkan saat istirahat.
Itu fakta yang mengerikan; terutama, mengingat kondisiku yang didera keroncongan. Jadi, aku segera berhenti membaca, berhenti menggunakan otak. Alih-alih, aku iseng membandingkan kedua jempolku.
Pintu kelas terbuka. Seseorang masuk. Kuintip dia lewat kedua jempolku, dan seketika saja, aku menyesali perbuatanku.
Seorang perempuan, mungil dan pendek, tak lebih tinggi dari daguku, ibuku, atau kakakku. Dia terkesiap dan membeku di ambang pintu, menatapku yang mengacungkan jempol padanya. Dua jempol. Seolah-olah aku memberi isyarat “Mantap abis!” pada si gadis.
Demi Tuhan semesta alam Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang ....
Sebenarnya, dua jempol tidak salah tempat bagi dia. Tak sepertiku yang mandi saja belum, kelihatannya gadis ini berusaha cukup keras dalam kegiatan mematut diri. Dia cantik. Istilah apa lagi sepadan untuk rambut sepinggangnya yang hitam bagai tirai malam? Alis yang tajam bagai baji? Iris lebar bagai bulan? Bulu mata lentik bagai busur? Kulit merah muda bagai bersinar?
Oh. Nampaknya keroncongan membuatku kesambet setan pujangga.
Selama aku bersajak ria di dalam benak, jempolku masih terangkat di udara. Buru-buru kuturunkan kedua tangan keparat itu, membuka halaman Sapiens secara acak. Ilustrasi Homo neanderthal yang mengerikan muncul, mengejek dan menertawakanku. Bedebah kau manusia purba! Punahlah!
Si gadis menyeringai. Deretan gigi mengintip dari balik bibir tipisnya—putih, agak gingsul pada taring. “Pagi, Al.”
Al?
Kesimpulan pertama yang aku dapat adalah: gadis ini sakti. Tak ada makhluk yang bernama “Al” di kelas ini. Tak ada siapa-siapa, malah. Tidak sejauh yang kulihat. Jadi, mungkin “Al” adalah eksistensi tak kasatmata, tak bisa ditangkap mata orang awam—alias hantu de-ka-ka.
Kesimpulan kedua: gadis ini bule. “Al” dalam sapaannya merupakan kata “all” dalam bahasa Inggris. Jadi, yang dia maksud adalah: “Pagi, semuanya!” Tapi, “semuanya” siapa? Cuma ada aku dan dia. Mau tak mau, konklusi yang satu ini mengarah kembali ke konklusi pertama: gadis ini sakti.
Kesimpulan ketiga ... sederhana saja: gadis ini keracunan makanan. Sebulan yang lalu, kakakku pulang dari Perbukitan, kondisi awut-awutan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia terkekeh begitu melihatku, tergelak waktu melihat Ibu, cekakakan kala melihat Pak RT. Kukira dia kesurupan, tapi setelah ditinjau lebih jauh, rupanya dia keracunan jamur. Tentunya, gadis ini pun begitu—meski aku tak bisa membayangkan ibu bajingan macam apa yang kasih putrinya sarapan jamur beracun.
“M,” timpalku, balas melotot pada Abang Neanderthal. Gila atau sakti, aku menjawab saja biar cepat.
Terdengar suara langkah ringan, diiring desir rok, datang menghampiri. Wajar. Meja si gadis toh ada di belakangku. Aroma semerbak menyapu lembut kala dia lewat. Aku mendengus, merasa gatal di hidung. Kutatapi terus wajah jelek milik kerabat kunoku: rambut yang jabrik, bibir setebal pisang, alis selebat kumis. Aku kembali mendengus, nyaris bersin.
Kenapa wangi keparat ini masih belum juga enyah?
Aku menoleh. Wajah rupawan si gadis tampak, tak barang sejengkal jauhnya: hidung yang mungil, pipi yang bulat, leher yang jenjang. Aku nyaris menjerit histeris dibuatnya. Nyaris. Alih-alih, aku menutup bukuku dalam sekali bentak, membuat si gadis mengerjap dan terkesiap.
Oh, sungguh kejam. Tak patut! Biadab! Setan macam apa pula yang telah merasuki diriku? Jawab: aku adalah setan itu sendiri. Jauhi wanita, terutama yang cantik, yang jelek sudah jelas.
Si gadis menoleh padaku, terteleng-teleng keheranan. “Siapa?” Aku angkat bahu. Gila saja kalau aku kenal secara pribadi dengan penduduk Zaman Es. Sayang, dia tak tersinggung (atau dia tak menangkap maksud jahatku?). Si gadis menegakkan diri, tersenyum. “Rajinnya.” Dan dia pun beranjak.
Bagus!
Sana minggat!
Enyah! Hus, hus!
Selepas itu, aku balik buka bukuku, lagi-lagi melotot pada Abang Neanderthal. Karena suatu sihir yang jahat, wajah jelek si makhluk purba menjelma jadi wajah mulus Haina. Aku mengerjap, menggosok mataku, coba mengenyahkan senyum manis itu dari ingatan. Kuulang dan terus kuulang slogan hidupku di dalam batin layaknya mantra dukun.
Oh, sialan. Kubilang juga apa: jauhi wanita.