Detektif Palsu: Fail Romansa si Antibetina

Zangi al'Fayoum
Chapter #4

2

FAKRI

AKU TAK TAHU KALAU SMA INI menyewa seorang bajingan sebagai tenaga kesehatan sekolah. Alih-alih langsung mengurusku, wanita itu malah tutup hidung, pasang wajah jelek, protes, “Kamu bau! Belum mandi, ya! Uek .... Baunya kecampur sama keringat .... Uek! Ganti baju dulu, gih!”

Jadi, sambil terpincang-pincang dan merintih-rintih, aku kembali ke kelas terlebih dahulu untuk ambil pakaian. Sialan dia. Sama sekali tak ada profesionalismenya. Kalau seorang perawat jijian begitu, apa jadinya kalau dia disuruh urus pasien muntaber?

Kini aku duduk di ranjang, membandingkan kedua kakiku. Tak sama. Yang kanan lebih besar di pergelangan, berwarna biru, bengkak, serta membentuk rupa mengenaskan. Si keparat terus berdenyut-denyut dan memberontak, tak mau diam. Pasti gara-gara dipaksa jalan tadi.

Beberapa dari kalian—yang tak punya perasaan untuk peduli pada kemalanganku—mungkin sedang mengacungkan tangan dan protes, “Tadi jempol, sekarang kaki, nanti apa! Lubang hidung?” Sebenarnya aku sedang mempertimbangkan untuk memeriksa panjang alisku, tapi sudahlah. Jangan merongos.

Aku sedang cedera parah, ini.

Mendiang ayahku jago soal beginian. Dia manusia melarat, memang; tapi karena itu, dia beradaptasi dan belajar untuk melakukan banyak hal sendiri. Dia biasa pergi ke Perbukitan sambil bawa-bawa busur macam rimbawan, pulang-pulang menenteng mayat tupai, monyet, atau kadang merpati orang.

Dia tahu mana jamur yang buat kenyang dan mana yang buat teler (ilmu yang diraihnya dengan metode trial and error). Dia juga pandai mengurut, hafal tanaman-tanaman obat, serta ahli membenarkan tulang yang bengkok—atau membengkokkan tulang yang benar, tergantung pesanan.

Sayangnya, segenap kecakapan survival itu diwariskan pada kakakku. Yah, mungkin tidak semua. Setidaknya, aku juga bisa kalau sekadar membengkokkan tulang yang benar; tapi jelas itu tak guna. Aku sendiri lebih mirip Ibu ketimbang Ayah. Jadi, yang kini bisa kulakukan hanyalah meratapi kaki malangku. Aku biasanya rewel soal teori evolusi, bangga akan kelemahan tubuh Homo sapiens yang disokong otak cerdas dan tangan terampil. Tapi kini, aku berani menukar apa pun untuk punya kaki kokoh milik Abang Neanderthal kita.

Aku balik ke kelas begitu bel istirahat terdengar, diusir perawat yang masih pula bawel. Jalanku pincang lagi terkedek-kedek, tapi aku sampai juga. Kelas hanya diisi segelintir siswa—tujuh, kalau aku tak salah hitung. Yang lain? Kantin, tentu saja. Makan, minum, istirahat. Memulihkan energi yang dihambur-hamburkan dalam pelajaran sebelumnya.

Ingin rasanya aku ikut mereka, tapi apa daya?

Aku merogoh saku dalam-dalam dan menemukan bekal minggu kemarin. Cukup untuk beli Relaxa empat butir—tiga butir! Harganya sudah naik .... Aku mengepalkan tinju dan menitikkan air mata. Satu hal yang bisa—dan biasa—aku lakukan hanyalah mengencangkan ikat pinggangku. Sungguh mengenaskan. Yah ... setidaknya aku sudah memuas-muas dahaga dengan air keran UKS.

Aku menarik kursiku dan duduk, radio Emsisi diputar lewat sepiker, suara nyaring penyiarnya menghujam otakku. Seorang siswi di belakang menoleh dan buka mulut, “Udah baikan?”

Hal terakhir yang aku butuhkan sekarang adalah tambahan kebisingan dari mulut cerewet Haina. Sialan! Jangan coba-coba menjebakku, wahai wanita! Kulihat dua siswi lain juga berkumpul di bangkunya, bawa kursi masing-masing. Mereka sedang makan bersama. Aku tak ingat—atau memang tak tahu—nama dua makhluk tambahan ini, tapi siapa peduli? Itu jauh lebih tak penting ketimbang kentut kakakku—yang biasanya mampu buat orang kehilangan kewarasan.

Aku putuskan untuk tak menjawab dan hanya mengangguk. Tak heran kalau sekarang aku dipanggil Fakri si Gagu.

Di bangku, aku coba-coba untuk melanjutkan Sapiens. Cari mati. Mana pula aku punya energi buat menyerap buku macam ini? Aku menggantinya dengan Best Served Cold, novel Inggris bajakan yang kupinjam dari Calo Aib. Semalam aku sudah menghabiskan setengah bagiannya, dan kuakui Joe Abercrombie itu macamnya agak-agak kurang waras—aku memuji, ngomong-ngomong. Aku tak percaya pada pengarang yang tak punya “kelainan”.

Tiga kata aku cerna, sisanya melayang entah ke mana. Pasti gara-gara asam lambung naik. Ditambah pula keringnya suplai glukosa ke otak. Sialan. Andai saja aku punya pencernaan macam rayap, pasti sudah kukunyah buku ini—tak peduli apa kata empunya.

Sejurus kemudian, aku sudah terkapar di mejaku, sekarat dan kehabisan motivasi hidup. Terkutuk kakakku yang buat aku lewatkan sarapan. Karena kurangnya kerjaan, aku menguping percakapan tiga gadis di belakang. Aku tak tahu nama dua teman Haina, jadi mari kita panggil Lady A dan Lady B saja. Sewaktu keroncongan, aku terkadang melantur sendiri, jadi mohon maklum.

Lady B: “... sendiri?” (Setan saja kalau aku tahu apa yang dia maksud.)

Lady A: “Buat sendiri. Seingatku rasanya enak-enak saja waktu masih anget ....”

Haina: “Emang kenapa?”

Lady A: “Kalian cobain, deh.” (Terdengar derit kursi bergeser, lalu hening.) “Gimana?”

Lady B: “Dalamnya agak-agak mentah.”

Haina: “Masak biskuit emang suka gini. Kamu suhu ovennya kepanasan.”

Lady A: “Udah aku atur, kok. Sama ama resep: 218 derajat.”

Haina: “Bisa juga gara-gara kebanyakan mentega. Coba tambahin putih telur biar adonannya lebih ... padat. Biar gak hancur juga. Ini ... eng, kamu aduk pakai tangan?”

Lady A: “Mikser.”

Haina: “Jangan kelamaan, ya. Pakai kecepatan rendah.”

Lihat selengkapnya