Detektif Palsu: Fail Romansa si Antibetina

Zangi al'Fayoum
Chapter #5

3

FAKRI

TENTU BANYAK DI ANTARA KALIAN yang bertanya-tanya sambil menguap tak sopan, “Ini cerita kapan pula mulainya, sih? Kok, dari tadi yang ada cuma keseharian pasien kelainan jiwa?” Terkutuklah orang-orang yang sebut daku sinting.

Memang dari mana aku mesti memulai tanpa membuat kalian bingung?

Aku paham kebutuhan kalian. Aku paham kalau orang gemar menyaksikan orang lain kena sial. Oh, ayolah, mengaku saja. Kenapa pula orang begitu suka menonton wawancara malang orang miskin di TV? Mengekspos aib mereka, memaksa mereka menangis supaya kau sendiri bisa mewek?

Kau tahu bagaimana cara Homo sapiens mengembangkan kemampuan berbahasa mereka? Gosip—kita adalah spesies yang gila bergunjing tentang keburukan orang. Percaya atau tidak, kebiasaan nista inilah yang membuat sistem komunikasi manusia menduduki puncak undakan juara.

Aku juga amat berminat untuk mendengar satu-dua kisah sial kalian, tapi kisah sialku sendiri? Itu lain perkara. Cuma orang penderita kelainan yang senang-senang saja waktu berbagi aib mereka. Dan ... hanya karena kakakku seorang “pengidap”, bukan berarti aku juga ikut-ikutan.

Ketika itu, aku sedang sibuk berdeham-deham, serak luar biasa di tenggorokan. Biskuit sialan. Jangan pernah coba-coba makan benda begituan tanpa ditemani air. Di sekeliling, orang sibuk beres-beres. Jam pelajaran kelima berakhir. Dari sepiker, nada bel berceloteh dengan amat merdu. Aku saja nyaris dibuat berjoget saking asyiknya. Tak ada tugas hari ini, jadi waktunya pulang dan masak Indomie kari yang berhasil kuselundupkan—

“Al!” Sesuatu berbunyi di belakangku. “Al, eh!”

Aku terperanjat. Lagi-lagi Haina menusuk punggungku dengan pensil mekaniknya. Dia tak tahu kalau itu benda keparat punya ujung macam jarum, apa? “Hah?” sergahku, serak dan nyaris batuk.

“Mau minum?” Si gadis mengangkat botol air.

“Oh, makasih banget. Kamu baik, deh.” Kau kira aku akan jawab begitu? Dunia pasti sudah kiamat. “Tak us—” Gebrak pintu memotongku. Haina menoleh; begitu pula aku; begitu juga yang lain. Nyaris seluruh mata terlempar pada tiga orang siswi yang berdiri di ambang pintu, memblokir satu-satunya akses keluar dari kelas.

Apa lagi, eh? Kumohon buat cepat. Sebelum kakakku mengendus Indomie selundupanku!

Salah satu dari tiga siswi di depan memisahkan diri, beranjak ke meja guru. Sambil berdeham-deham serak, kusadari kalau si gadis mengenakan rambut ekor kuda dan kacamata tebal: Rihma. “Emm! Pertama, maaf kalau aku ganggu waktu kalian,” ocehnya lantang. Tentu saja aku tak akan memaafkannya. Indomie kariku sedang dipertaruhkan di sini! Jadi, lekas enyah dari pintu! “Ada yang mau aku omongin. Sama kalian. Semuanya. Tapi sebelum itu, bisa enggak kalian diam dan balik duduk?”

Satu kata yang pantas dikatakan untuknya adalah ... “Goblok!” Meski begitu, tak sekali pun mulutku terbuka buat mengeluarkan kata-kata itu. Kalian ngarep apa? Aku ini pengecut.

“Ah, makasih. Kita mulai.” Rihma menjilat bibirnya, menyapukan pandangan pada anak-anak kelas yang melongo bingung. Aku sendiri masih pula bergulat dengan rasa gatal di tenggorokan yang malah kian melunjak. “Buat yang tadi istirahat tinggal lama di kelas, acungkan tangan.”

Sejumlah orang, mengacungkan tangan sambil celingukan. Oke. Delapan orang—termasuk denganku.

“Cukup, makasih. Sekarang, siapa yang pertama masuk ke kelas sehabis penjas?”

Dua orang gadis yang duduk di dekat meja guru mengacungkan tangan.

“Ri! Bisa cepetan, gak? Langsung ngomong aja. Aku ada rapat eskul, nih,” seorang siswa berseru, duduk di jajaran paling belakang.

“Percaya, aku paham banget kalian sibuk, tapi ini penting—”

“Denger, gak, sih? Aku bilang cepet ngomong!”

Disergah macam itu, kulihat Rihma tersentak, nyaris terperanjat. Sejenak kemudian, ekspresi jengkel menyusul. Keheningan pecah. Beberapa anak berdiri, menyerukan keluhan dan protes. Si KM coba untuk menguasai kembali situasi, tapi gagal dengan mantapnya. Posisinya sama sekali tak buat aku iri.

Kuremas perut dengan tangan kanan sementara tangan kiri membungkam mulut. Aku nyaris terbahak dan terbatuk di saat yang bersamaan. Ini amat menghibur. Rasanya seperti menonton hujan angin dari jendela rumah yang hangat dan nyaman. Aku adalah penggemar konflik sosial—yah, selama aku cuma jadi penonton.

“Diem, gak!” Rihma merepet, tangan meninju meja, keras luar biasa. Aku hampir terjungkir gara-gara terkejut. “Kalian bocil SD, apa? Ngerasa jadi orang penting? Biar aku yang tanggung jawab kalau ada yang ngomong, apa susahnya!”

Okeh .... yang barusan itu benar-benar sangar.

“Denger.” Rihma mengangguk; terdengar suara kursi bergeser. Aku menoleh ke depan, pada tetanggaku—pada Gina. Dengan ringkih dan merah muka, si gadis bangkit, menghampiri meja guru. KM menyapukan pandangan menusuknya sekali lagi, kemudian melanjutkan, “Gina ada kehilangan barang. Kita curiganya yang ambil itu anak kelas kita.”

 

AKU DUDUK MANIS DI KURSI, menonton dan menikmati hiburan dadakan ini. Bentar! Jangan tuding aku orang kejam atau apalah. Aku juga ingin buru-buru pulang. Indomie kariku di pertaruhkan di sini. Kendati aku menyembunyikannya dengan baik, tapi penciuman kakakku nyaris sama dengan si Brutal anjing kami—kalau bukan melampauinya. Tidak mustahil buat dia untuk mengendus dan melacaknya. Tinggal masalah waktu.

Di lain sisi, aku juga tak berdaya. Homo sapiens adalah spesies yang menderita ketergantungan terhadap komunitas. Evolusi memaksanya begitu. Aku tak bisa menyalahi tatanan yang ada begitu saja. Jadi, daripada berteriak-teriak protes sementara tenggorokanku sendiri sudah serak begini, lebih baik kunikmati saja yang ada.

Kusandarkan punggung ke kursi, kaki bertengger di penyangga meja, mencari posisi senyaman mungkin. Aku mengeluarkan Cukong—celengan babiku—dari tas untuk digosok macam biasa. Cup, cup, cup. Imut betul dia ini. Kekayaan terbesar milikku. Sementara itu, di depan, Gina mulai menjelaskan pokok perkara. Perkara? Bisakah yang begini disebut perkara? Aku kira Holmes bakal tertawa terpingkal-pingkal kalau sampai mendengarnya sementara Poirot mendengus dan memilin-milin kumis jengkel.

Gina kehilangan ponselnya. Keluaran anyar, baru dibeli ayahnya kemarin lusa. Sebelum olahraga, dia menaruhnya di tas. Dia tak cek lagi sampai jam pelajaran ketiga, ketika hendak ambil buku. Sehabis itu, segera saja dia kasih tahu temannya. Mereka coba menelepon nomor Gina. Hasilnya percuma—ponsel tak aktif.

Gina berkisah dengan wajah merah dan air mata merebak, sekali-sekali menggosoknya, tapi entah kenapa dia malah makin basah. Aku berdeham-deham, melipat tangan di dada, iseng menyusun kronologi perkara dalam format garis waktu.

Jam Pelajaran Ke-1 (07:00 – 08:30). Ponsel masih ada.

Jam Pelajaran Ke-2 (08:30 – 10:00). Olahraga. Ponsel dimasukan ke tas.

Istirahat (10:00 – 10:30). Keberadaan ponsel tak dicek. Aku diberi biskuit oleh Lady A. Makasih banget, ngomong-ngomong.

Jam Pelajaran Ke-3 (10:30 – 12:00). Ponsel tak ditemukan di tas. Gina mengadu pada kawannya.

Sekarang, jelas sudah kenapa KM Rihma tanya-tanya siapa saja yang tinggal di kelas sehabis olahraga. Periode istirahat adalah waktu pencurian yang paling mungkin. Sayang, aku meragukannya. Aku selalu di sini ketika istirahat—setidaknya, beberapa menit setelah bel berbunyi. Aku tak lihat ada orang yang mengendap-ngendap ke bangku Gina.

“Aku pengen kita bisa kerja sama,” KM mengambil alih lagi, menjilat bibirnya dan menatap nyalang. “Aku pengen nengok isi tas kalian.”

Seisi kelas ribut. Itu pelanggaran privasi, terutama bagi wanita. Aku pun begitu. Terkadang aku bawa-bawa camilan milik Kakak yang kucuri dari tempat persembunyian wanita licik itu. Tapi untunglah hari ini aku tak punya waktu buat melakukan hal itu.

Sejumlah orang merengek keberatan, tapi bungkam begitu seorang siswa berteriak, “Ah, oke! Oke! Terserah. Asal urusannya cepet beres.”

Aku menutup mulut dengan tangan dan nyengir. Menarik. Kulempar pandangan ke sekitar, cari wajah si pendosa. Tak ada. Makin menarik. Kita lihat apa yang akan dilakukan pelaku.

Yang pertama digeledah adalah tas Rihma sendiri, biar adil. Menyusul dua teman Gina yang ikut berdiri di depan. Sehabis itu, baru giliran anak kelas yang lain. Tentu saja aku juga kebagian. Aku menumpahkan segala yang ada di tasku: buku, catatan, pulpen tua, pensil patah, belati pramuka, karet gelang, sepotong daun pisang, juga kepala ular kering. Beberapa gadis menjerit waktu melihatnya—aku sendiri terbatuk gila-gilaan. Pasti ulah iseng kakakku!

Terus kupantau kegiatan bedah privasi ini dengan penuh ketertarikan. Tangan mendekap Cukong, jantung bertalu-talu liar. Kutinjau-tinjau ekspresi orang yang digeledah, mencari-cari raut kepercayaan diri dan rasa berdosa. Bakal asyik andai justru orang paling polos yang jadi pelakunya. Contohnya? Hmm ... Haina, misal? Hehehe ....

Sayang seribu sayang, hasilnya nihil. Ponsel tak ketemu. Asli sayang sekali.

“Rihma ...,” Gina memanggil lirih, tangan tak henti-hentinya menyeka air mata. “Aku bilang apa, kan? Yang ambil gak mungkin temen-temen kita. Makasih udah coba, tapi udah aja. Aku enggak ap—”

“Gak pasti gitu!” salah seorang siswi di depan menyela kasar. “Jangan dulu bilang begitu. Pasti yang nyolong sembunyiin HP kamu di suatu tempat. Ya, pasti gitu. Dia niat ambil lagi begitu kita nyerah. Jadi, ini kesempatan terakhir.”

Ohoh ... makin panas, nih.

“Hei, ih! Cepetan, dong. Aku pengen buru-buru pulang,” dari barisan paling kiri, seorang siswi protes. “Paling yang pertama datang ke kelas yang ambil, kan?”

Dituduh macam itu, dua orang yang bersangkutan pun segera bereaksi. “Enak aja itu mulut ngomong!”

Lihat selengkapnya