FAKRI
AKULAH YANG PERTAMA MINGGAT. Si jalang Ela coba-coba menghadang, tapi aku berhasil lewat dengan meludahi kakinya. Umpatan diseru-serukan di belakangku.
Dengan langkah pengkor, aku menyusuri koridor kelas yang masih pula dihuni banyak orang. Beberapa gerombolan PMR lewat dalam seragam lapang mereka sementara seruan komando anak PKS membahana dari lapangan. Aku meringis—setengah karena sakit, setengah karena geli.
Aku menyingkir ke pinggiran, mampir ke tempat cuci tangan buat minum air keran. Tenggorokanku sudah gatal luar biasa. Dua orang gadis berseragam pramuka lewat, menghentikan obrolan mereka dan melempar lirikan gusar ke arahku.
Aku sedang labil ketika itu. Ulu hatiku masih terasa panas. Jadi, dengan galaknya, kuciprati dua gadis malang tadi dengan air. Mereka langsung ngacir sambil menjerit histeris.
“Haus, Bang?”
Aku menoleh ke samping dan mendapati seorang siswa—lebih tinggi dariku, rambut disisir ke belakang, berkacamata, dengan wajah ceria yang bersinar layaknya lampu neon 100 watt. Kusembur dia, tapi si keparat berhasil melompat kabur.
“Dapat masalah, ya? Gak heran, sih.” Zakir melepas kacamatanya buat dilap, lalu tersenyum kala seorang siswi berpenampilan manis lewat. “Tapi ngelampiasinnya ke orang lewat itu kebangetan namanya.”
Zakir dan aku berteman. Pastinya ada orang berengsek di antara kalian yang (lagi-lagi) mengacungkan tangan dan protes, “Jangan ngarang! Mana ada setan macam dirimu dapet temen!” Tapi aku tak selalu jadi setan. Dulunya, aku juga manusia berbudi kendati agak pemalu dan malu-maluin. Lagi pula, aku membenci wanita, bukan manusia.
Organisme berkacamata yang satu ini kenal denganku sejak kami masih bocil. Aku dan dia selalu satu sekolah—mulai dari SD, SMP, sampai SMA. Rumah kami pun tetanggaan, dekat pula. Istilah gaulnya: kepeleset juga langsung nyampe. Sudah terlampau sering aku disuguhi wajah kerennya yang selalu digilai kaum perempuan sampai-sampai aku muak sendiri.
Aku meniup tinjuku dan memantrainya. “Pak, saya minta izin jotos Anda sekali, boleh?”
“Minggat sana.”
“Pecundang. Lawan orang macam aku aja takut.”
“Tonjokanmu emang gak kuat-kuat amat, tapi kau melulu narget ginjal. Dasar setan.” Zakir pasang kembali kacamatanya dan melirik ke arah kaki pincangku. “Habis ngapain kau?”
“Berantem.”
“Sama?”
Aku membusungkan dada. “Anak perempuan.”
“Anak perempuan? Bajingan sekali dirimu, Nak.”
“Jangan salah sangka. Kalau kami adu fisik, tentu dia yang menang; jadi ini bukan pertarungan yang berat sebelah.”
“Nista sekali dirimu, Nak.” Zakir menoleh ke arah kelasku berada, jari memperbaiki letak kacamata. Senyum miris terbentuk di bibirnya. “Yakin dia gak punya pacar atau abang di sini? Kelar udah riwayatmu kalau ada laki-laki yang turun tangan.”
Aku menaruh mulutku di bawah keran, berkumur, meludah, kemudian mengelapnya dengan dasi. “Masukan bagus. Kalau gitu caranya, aku kudu puas-puasin dulu buat jahatin itu anak-anak jalang.”
“‘Anak-anak’? Bukan satu?”
“Tiga.”
“Buset.”
Lady A karena kasih aku racun; Ela Apalah-Apalah karena udah banyak bacot; terus yang paling utama, Haina Apalah-Apalah karena udah jadi biang kerok.
“GATEL,” CETUS ZAKIR. Seekor ulat bulu jelek merayap di puncak kepalanya, tapi kubiarkan saja.
“Diem,” desisku.
“Panas.”
“Diem, anjing!”
“Lama.”
“Kau ngebet kusumpal pake sepatu atau pa’an, sih! Lagian siapa suruh ikut!”
“Aku cuma khawatir, Kri. Kalau kau ngeringkuk di bui, ketenaranku bakal turun sederajat gara-gara temenan sama bangsat kriminal.”
“Bangsat.”
Dan begitulah. Aku dan Zakir menunggu si Toge Haina di belakang semak trotoar dekat gerbang sekolah. Sampai hari menjelang petang, gadis itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Aku jengkel bukan kepalang, tapi tak heran. Dengan penampilan macam bidadari itu, tentu si Haina ini termasuk siswi yang kecanduan “aktivitas tambahan”. Kecuali dia kurang sehat, setiap orang suka dipuja, dipuji, dan dimanja.
Andai kalian ada di posisiku, kau mungkin akan menaruh dendam pada Ela saja, tapi tidak denganku. Wanita itu menjengkelkan, tapi dia tak punya otak. Dia cuma batu yang terbawa longsor. Orang tolol. Penyebab dari longsoran sendiri tak lain dan tak bukan adalah si Toge Haina. Tanpa dia, si Ela ataupun Lady A tak akan pernah bergerak.
“Kri,” tegur Zakir, tangan garuk leher yang ruam-ruam. Dia sendiri tak sadar.
“M?” sahutku sekenanya. Seekor ulat bulu lewat di bawah hidungku; aku meraupnya dan meremasnya dengan jengkel.
“Itu Ela.”
Aku mendongak dan ... benar saja. Dengan langkah kecil, si gadis keluar dari gerbang, wajah fokus pada ponsel di tangan. Dia sendirian saja. Aku tak menemukan keberadaan Gina. Yang dua itu biasanya sepaket melulu. Meh, kampret Zakir. Bagaimana bisa dia kenal dengan anak perempuan kelasku, baiknya kau jangan tanya.
“Dia putri kepala sekolah, tau? Kau cari masalah kalau sampai kepergok.”
Mati-matian aku menahan panik di wajahku. “Tau.”
“Gimana? Kita kejar sekarang?” tanya Zakir.
Putri kepala sekolah, eh? Oke. Aku paham. “Gak. Yang itu target nomor dua.”
“Jadi, aku gak salah denger. Yang pertama itu Haina? Seriusan, Kri?” Zakir mengernyit. “Itu anak manis buka tipe-tipe gadis yang suka ganggu orang. Atau ganggu setan. Atau raja setan. Dia cuma ... anak polos, sumpah!”
Lagi, bagaimana bisa dia kenal dengan anak perempuan kelasku, baiknya kau jangan tanya. Aku angkat bahu. “Hukum itu adil dan tak pandang bulu. Hukum itu kejam, brutal. Hukum itu menebas seluruh manusia—peduli setan dia masih polos atau sudah tercemar.”
“Sinting, ah. Kau masih manusia atau buk—” Zakir mengernyit. “Tuh, dia. Haina.”
Aku terkesiap. Benar. Itu dia. Mungil, merah muda, manis. Si Toge Haina.
“Kita kejar sekarang?” tanya Zakir.
“Eeh ... umm ....” Semangatku yang tadi sempat menggebu kini meredup dan nyaris padam. Haina tak pulang sendirian. Di sampingnya, seorang gadis berambut semu merah berjalan mendampingi; di belakang, tiga siswa laki-laki membuntut. Mereka mengobrol dengan asyik, tak memperhatikan semak tempat diriku nyempil. “Hari ini kita kejar Ela.” Mau anak kepala sekolah atau cucu tukang cilok, yang penting asal tidak ketahuan, kan?
Zakir tak terkejut barang sebersit pun, dan itu amat buat aku jengkel. “Pengecut sampai ke tulang.”
“Bacot!”
Ketika aku kecil, aku adalah pakar petualangan. Aku pernah menjelajah dari Sungai Tandui di selatan kota sampai kaki pegunungan di utara. Itu adalah cara menghabiskan waktu yang hemat duit lagi tak perlu banyak orang. Aku kenal tempat-tempat yang cocok dijadikan medan penyergapan.
Aku melompat keluar dari semak, terpincang-pincang melesat ke salah satu gang terdekat. Zakir buru-buru menyusulku, tangan sibuk menepis daun dan ulat yang merayap di badan. “Kri! Ela perginya ke sono pun!”
Aku mengabaikannya, terus menerobos gang hingga jalan buntu, memanjat naik sebatang pohon jambu yang nyaris layu, merayap ke genteng rumah orang, lalu turun di sisi lain. Aku kembali mempercepat langkah kaki kendati sakit, melompati sejumlah kali, menerobos pekarangan warga serta menyusuri empang. Ketika aku sampai di mulut gang lain, aku sudah ada di depan Ela selemparan batu jauhnya.
Zakir menyusulku dengan kewalahan. “Setan. Lupa soal kebiasaan bolangmu.”
Aku mengumpat.
“‘Napa?” Zakir menjulurkan kepala di sudut gang, menengok ke jalan utama. Dia bersiul. Tak jauh dari sana, kudapati Ela yang berlari menghampiri seorang siswa yang duduk jongkok di pinggir jalan. Seringai terpasang di wajah si gadis, pipi merona merah. “Gadis lucu.”
“Kampret. Dia gak ada manis-manisnya waktu urusan sama aku.”
Zakir memutar bola mata. “Gimana? Kabur lagi?”
Aku pernah berkelahi, tapi tak pernah jadi prestasi. Ingin rasanya aku mundur terlebih dahulu, mencari kesempatan yang lebih tepat, tapi tidak. Aku orang nekat. Juga, aku belum lama ini membaca Sang Penguasa dan Sun Tzu; aku belajar banyak soal perang dari sana; semoga saja.
Jadi, terus kubuntuti pasangan itu, menunggu datangnya peluang.