FAKRI
SETELAH KUTEKURI AGAK LAMA, aku merasa pesanku pada Haina sudah macam surat cinta saja.
Eng ... di mana letak “cinta”-nya, aku juga tak tahu. Cuma ada dua kalimat, sederhana pula: Istirahat pertama. Aku tunggu di belakang perpustakaan. Tak ada kata-kata gombal soal sayang atau suka, tak ada kata-kata basi soal pandangan pertama dan pengakuan rasa. Anehnya, aku tetap tak bisa mengenyahkan gagasan sinting tadi.
Kupikir, jika kakakku yang bacanya, pasti dia anggap itu sebagai surat tantangan. Jika aku sendiri yang terima, pasti kuanggap sebagai kerjaan orang yang kehabisan obat. Jadi kenapa?
Kini, seperti yang kujanjikan, aku menunggunya di belakang perpustakaan. Tempat itu berbatasan dengan kandang angsa. Oh, hapus semua imajinasi romantismu soal mereka; yang kumaksud itu angsa realita, spesies Apes berleher panjang yang pemarah nan berisik pula. Semenjak ada anak yang kena sodok, Ekskul Pecinta Alam tak lagi datang kemari buat bersih-bersih. Alhasil, bau pupuk kandang meruap di sepenjuru tempat.
Tameng kokoh untuk melawan segala macam wangi-wangian.
Selasar belakang perpustakaan berupa lahan luas yang memanjang, dilengkapi dengan sejumlah bangku berpayung. Aku sendiri memilih duduk jongkok di dekat mesin pembuangan AC, menghangatkan diri sambil mengeringkan pakaian. Hidungku sudah mulai terasa mampet ketika itu, dan aku tak henti-hentinya bersin. Dasar tubuh lemah! Dingin begitu saja sudah kena pilek!
Untuk kesekian kalinya, aku meraih tasku untuk memastikan kalau semua barangnya masih ada. Kubuka dan kucek satu per satu: pisau dapur, gunting, tambang pramuka, sarung tangan, plus selotip besar. Waktu masih di rumah, alat-alat ini kelihatan dapat diandalkan; tapi saat ini, aku bingung sendiri.
Kau tak mungkin menculik seseorang di lingkungan sekolah.
Lagi pula, Haina tidak bodoh. Kecil kemungkinan dia datang sendiri. Paling banter, pasti dia bawa KM; setengah lusin gadis lain menyusul sebagai beking. Paling parah, dia bawa pacarnya .... Tidak. Paling parah, dia bawa sebatalion Angkatan Darat dan langsung ringkus aku begitu saja tanpa banyak cincong.
Semua kemungkinan kedengaran buruk, tapi apa pilihanku? Pada akhirnya, aku tetap saja mesti menghadapi si gadis toge. Satu-satunya kesempatan yang aku punya adalah dengan mengambil langkah duluan. Seperti yang para ahli strategi katakan, “Pasukan yang datang terlambat ke pertempuran tak punya hak untuk memilih medan perang.”
Aku mesti kuat. Macam yang selalu ayah dan ibuku katakan. Macam yang selalu kami empat anggota keluarga katakan. Tangguh—lebih dari besi dan baja, lebih dari bukit dan gunung.
Aku tengah meminta doa pada si Cukong tatkala mendengar derap langkah orang. Aku memiringkan tubuh, mengintip ke balik bangku baca. Tampak Haina yang berjalan sendirian. Sendirian? Aku celingukan. Tidak. Pasti rekan-rekannya sedang menyembunyikan diri, menunggu kesempatan. Culas betul mereka. Aku mesti temukan mereka sebelum mereka temukan aku.
....
Aku bersin. Oh, mantap sekali. Haina terperanjat, terkejut bukan main mendapatiku berjongkok dekat mesin pembuangan AC. Para angsa berkaok-kaok riuh, melebarkan sayap dan memanjangkan leher, coba untuk pacok aku. Sayang mereka terhalang pagar kawat.
“Al,” panggil Haina lirih, pipi merona.
Aku menggosok hidungku dan terbengong. Ekspresi itu mengingatkanku pada gagasan “surat cinta”. Tapi yang terpenting, di sini tak ada itu makhluk yang punya nama menggelikan macam “Al”. Sumpah. “Kau ....” Aku menjilat bibir. Dia kejauhan.
Aku kasih tanda supaya dia sedikit mendekat. Haina ambil langkah, datang menghampiri. Selepas merapikan rok selututnya, dia ikut jongkok—tak sampai satu lengan jauhnya. Ingin rasanya aku menjerit, “Kubilang mendekat! Bukan merapat!” tapi dipikir-pikir, aku tak pernah bilang begitu. Malah, aku memang tak bilang apa-apa. Ini salahku juga rupanya, jadi kuabaikan.
“Di mana konco-koncomu?” desisku, bertanya dengan sia-sia.
“Eh?” Haina balik berbisik, sok bingung. “Haina ... Haina datang sendiri, kok.” Oh, tentu saja dia tak akan mengaku. “Kaki kamu udah baikan?”
Pakai basa-basi segala, lagi. “Udah. Kakakku yang urut.” Pakai dijawab segala, lagi! Langsung ke topik utama, Al-Fakri! “Tau kenapa aku panggil dirimu ke sini?”
“Haina ....” Haina gelagapan, pipi makin merona. “Iya ... Haina tau.”
Tahu dengkulmu! Kenapa kau malah tersipu! Jelas-jelas kau salah paham! “Aku bicara soal ....” Tunggu dulu! Ingatlah soal kemungkinan pertama—bagaimana kalau gadis ini sebenarnya tak tahu-menahu soal aksi balas dendam itu? Rugi sendiri andai aku sampai kasih bocoran ke dia. “Ehem!” Sementara aku mencari balasan cerdik, Haina memainkan jemarinya. “Kau tahu? Kalau gitu, coba bilang.” Woh! Itu dia! Cerdik!
“Eh?” Haina terkesiap, matanya membulat lebar. Kini rona menjalar sampai ke telinganya. “Itu ... Al ... itu ....” Aku nyaris terperanjat begitu dia lanjut bilang, “Ki-kita baru kenal. Lagian Haina punya orang yang Haina suka. Jadi, maaf, Al. Haina enggak bisa terima perasaan kamu. Bukan berarti Haina benci kamu, oke? Kamu ... emang agak urakan, mulut kamu kotor, wajah kamu nyerem—ah! Ah! Maaf! Maaf! Maksud Haina ... kita bisa temenan, kan? Sifat kamu aneh, tapi kali itu—”
Aku terlalu terpukau untuk segera menghentikan omong kosong itu.
“Stop! Stop!” Okeh, kutarik kembali penilaianku. Aku kira yang tadi itu tidak secerdik kedengarannya. Ampas! Gadis ini buat aku serba salah. Bagaimana dengan ini: “Begini saja. Kau liat aku?”
Haina mengangkat pandang, menatapku tepat ke mata. Buru-buru aku berpaling. Mari menyerah saja. “Apa kau liat waktu aku timpuk dia?”
“Timpuk ....” Untuk beberapa lama, Haina terbengong; ekspresinya berubah serius kala dia menangkap maksudku. “Oh, ya,” bisiknya, penuh emosi. Dengan wajah cemberut, dia bersungut, “Al bandel.”
Ternyata dia tahu. Mestinya langsung begini saja sejak awal! “Kau udah ngadu ke si jalang Ela?” Aku menggeser tasku dan memeluknya.
Mulut Haina melongo; mata melotot, alis terangkat. Raut mukanya mengingatkanku pada seorang istri yang memergoki suaminya selingkuh di malam pertama. “Jangan bicara kasar, ih!”
“Maaf.” Kenapa aku minta maaf! “Kau udah bilang-bilang ke Ela? Atau siapa pun?”
Haina menggerutu pelan, menggumamkan protes samar yang tak terdengar. Rona di wajahnya pudar. “Belum,” akhirnya dia berujar. “Minta maaf sendiri, gih.”
Nampaknya, kemungkinan pertama dan keempat gugur, menyisakan kemungkinan ketiga dan kelima—gadis ini hendak memerasku. Pertanyaannya: apakah secara tenaga atau benda? Kini setelah kurenungkan, kurasa bisa saja dia ambil keduanya tanpa masalah. “Sebut tuntutanmu apaan.”
“Tuntutan Haina ...?” Haina membeo; kemudian mengatupkan mulut. Dalam masa-masa hening yang hanya diisi koak angsa itu, kulihat perubahan mimik yang luar biasa pada si gadis. Mulanya bingung (alis bertaut, mata menyipit), kemudian terkejut (mata melebar, mulut terbuka), dan terakhir berang (wajah merah, alis berkedut). Aku sudah yakin hendak dicaplok, tapi tidak; alih-alih, si gadis cuma mendesis jengkel, “Al, kamu lagi mikir apaan, sih?”
Aku mendadak merasa berdosa. “Dingin,” timpalku, wajah berpaling ke mesin AC.
“Salah siapa basah-basahan?”
“Bukan aku.”
Kudengar Haina menghela napas, lalu—aku agak sangsi—terkekeh. “Kadang kamu dewasa banget; kadang macam bocah SD.” Aku ingin protes—aku sudah bebas dari bayangan si bocah ingusan itu!—tapi Haina menyela, “Haina gak bakal ikut campur soal masalah kamu sama Ela. Lagian, Haina emang agak salah juga sama kamu—”
“Enggak,” potongku. “Tepatnya, semua ini awal-awalnya emang salahmu.”
Kecuali matanya yang melebar macam burung hantu, raut wajah Haina tak berubah. “Jelasin.”
“Pertama, kalo aja kau gak sok jadi mediator terus biarin anak-anak kelas meliar, gak bakal itu aku kena tuduh. Kedua, kalo aja kau pulang sendirian sehabis itu, tak bakal aku lampiaskan hasrat balas dendamku ke si Ela—”
“Bentar! Bentar!” Haina terdiam sejenak. “Al? Maksud kamu ... target asli timpukan kamu itu ... Haina?”
Aku mengerjap. Wow. Bagus sekali. Bocor sudah semuanya.
“Wa-wah! Haina kira kamu orang baik ....”
“Aku bukan orang jahat,” timpalku seraya angkat dada. “Bukan juga orang baik. Manusia selalu campuran dari keduanya, tergantung situasi dan suasana hati. Aku juga bisa baik kalau sedang selera.”
Haina memandangku sambil menyamping. Kenapa? Apa dia sangsi? Aku hendak protes ketika si gadis mulai meringis. “Yah, Haina percaya. Kamu baik juga sama Gina waktu kemarin lusa.”
“Maaf?” Mendadak aku mulas.
“Cermin.”
Keringat dingin membulir di sekujur tubuhku, membasahi pakaianku yang mulai kering. “Apanya?”
“Ini.” Dengan telunjuknya yang kecil, si gadis melukis di udara kosong: pertama lingkaran, kemudian garis di bawahnya. “Gina sobek-sobek kertasnya, tapi Haina sempat lihat waktu kamu gambar.”
Kau mengintip? Aku sumpahi matamu kena bintit. “Mana ada cermin yang bentuknya begitu. Aku gambar wajan.”
“Kelihatan banget bo’ongnya, tau.”
“Terserah.” Aku pura-pura tak peduli, tapi jelas aku peduli. Kalau dia sampai tahu ... kalau dia ... duh! Ini lebih parah daripada aksi balas dendamku!
“Hahaha,” Haina tertawa tanpa nada. “Malu, ya?”
Aku berdiri. Kakiku gemetar dan kesemutan. “Kau ngomong pa’an, sih?” Mundur! Mundur! Aku kalah! Untuk sekarang, kabur! Keselamatan diri lebih penting. Kita cari kesempatan di lain hari! “Dah—”
Haina mencubit ujung celanaku. “Jangan kabur, Jahe. Kamu sendiri yang minta ketemuan.”
“Urusanku ‘dah kelar.”
“Urusan Haina belum.”
“Terus?”
“Okeh. Pergi sana.” Haina melepaskan cubitannya dan menyilangkan tangan di dada. Seulas senyum menjengkelkan mekar di wajahnya. “Haina kasih tahu Ela soal kebandelanmu, deh.”
Meh! “Barusan kau ngomong gak bakal ikut campur—”
“Terus?” si gadis keparat membeo, wajah dipalingkan pada angsa yang sedang kejar-kejaran.
Al-Fakri, kalau memang masih ada kesempatan, maka inilah saatnya. Ambil pisaumu dan bunuh dia! Ayo! Demi reputasimu! Lebih baik meringkuk di penjara dengan terhormat daripada hidup bebas dengan aib!
....
Aku berjongkok kembali. “Ampun, Mbak.”