Detektif Palsu: Fail Romansa si Antibetina

Zangi al'Fayoum
Chapter #9

1

FAKRI

BILIK KONSELING TERASA SEJUK kendati ukurannya yang sempit—baik panjang atau lebar tak lebih dari satu lompatan. Aku mengedarkan pandangan, menatap sekat-sekat kaca yang mengepung—buram di bagian bawah, bening di bagian atas. Meja panjang merapat ke sisi kiri, diapit dua bangku berbantalan empuk yang tak sampai satu depa ukurannya.

“Terus? Anak siapa yang mau situ culik?” tanya Jaket Adidas muram.

“Bukan, Bu. Ini ... ini salah paham ....” Aku menatap perabot terkutuk yang dihampar di atas meja: pisau dapur, gunting, selotip, tambang pramuka, juga sarung tangan. Mau bagaimana pun dilihat, jelas itu kombinasi yang ditujukan buat meringkus orang. “Sumpah,” kilahku putus asa.

Itu tak melunakkan barang sedikit pun ekspresi garang Bu Inaya. Cuma sampai sinikah riwayatku? Entah kenapa perkara ponsel hilang itu malah jadi berkepanjangan tak tentu arah begini.

“Situ paham situasinya?” guruku menegaskan. “Ini barang jahanam tumpah dari tas kamu. Banyak saksinya. Dan ... denger-denger kamu abis ketemuan sama Haina .... Bener gitu?”

Ketemuan .... Macam aku dan gadis itu usai kasak-kusuk buat bercumbu saja. “Maksud saya ... barang ini emang asal-asalnya dari tas saya, tapi bukan punya saya.” Aku mengangguk-angguk. “Kemarin kakak saya pinjam tas saya buat pergi ke Perbukitan. Saya lupa buat pindahin barang-barangnya tadi pagi.” Mantap, dah! Aku terkejut. Mungkinkah aku punya bakat dalam ngibul?

“Kakakmu itu kuncen hutan, ya?”

“Oh, eh ... ya. Sejenis.” Aku menunduk, entah kenapa merasa malu sendiri.

Kurasakan tatapan Bu Inaya yang menusuk sinis. Aku sudah yakin kalau dia akan terus mengorekku sebelum menemukan bukti dusta barang setitik saja, tapi saat-saat itu tak kunjung datang. Kelihatannya dia menyadari rasa maluku tentang pekerjaan aneh kakakku dan menganggapnya sebagai reaksi jujur.

“Coba nengok tas kamu.”

Aku menyerahkan tas selendangku. Tak usah khawatir, kepala ular kering yang waktu itu sudah kubuang ke kolam dan jadi makanan ikan. Waktu guruku membongkarnya, dia hanya menemukan alat tulis, buku catatan, juga setumpuk buku perpustakaan: Homo Deus-nya Harari, Iblis dan Miss Prym-nya Paulo Coelho, Steelheart-nya Sanderson, juga Anne of Green Gables-nya Montgomery .... Oh, ampas. Kalau diingat-ingat, masa pinjamnya habis Senin depan.

Dan belum selesai pula aku membaca Homo Deus.

“Kamu doyan baca?” Satu alis Bu Inaya terangkat.

“Dikit,” dustaku. Aku banyak baca, tentunya; tapi bukan karena aku rajin atau apa. Aku tak punya televisi, komputer, atau bahkan ponsel. Utamanya, aku tak punya duit. Buku adalah satu-satunya sumber hiburanku di Zaman Silikon yang serba modern ini.

“Masuk ekskul sastra, ya?”

“Mm?” Apa-apaan guru ini? Jangan bilang sesuatu yang mengundang bala bencana begitu! “Ah ... enggak juga.”

“Ini apaan?” terusnya, mengangkat Cukong ke udara.

Napasku tersedak. Butuh usaha mati-matian untuk menahan tanganku tetap diam di tempat. “Celengan saya, Bu.”

“Celengan? Kamu ... bawa celengan ke sekolah.”

Aku bawa celenganku ke mana-mana. Aku memeluknya macam guling, menggosoknya macam guci antik, mengajaknya jalan-jalan macam anjing. “Kali ada situasi darurat, Bu,” dustaku (lagi-lagi).

Bu Inaya memasukkan kembali seluruh barangku, lalu berpaling. “Ini jelangkung juga punya kakakmu?” tanyanya. Bukan padaku. Pada makhluk di sampingku.

Aku ikut menoleh. Tinggi siswa itu tak beda jauh denganku. Dari jumlah garis di dasinya, aku tahu kalau dia anak kelas dua. Rambutnya panjang, dipotong ala rumahan. Aku tahu karena punyaku sendiri dipotong kakakku pakai gunting biasa. Benda itu meninggalkan lekuk-lekuk tak rapi di sana-sini. Alisnya nyaris tak kelihatan karena tertutup poni. Seragamnya disetrika rapi, tapi punya noda aneka warna, membercak di beberapa tempat.

Kalau dari penampilan, dia tak ubahnya seorang berandalan SMA normal. Tapi aku tahu dia bukan. Dia tercium macam kemenyan .... Ralat. Demi Charles Darwin. Aku berani sumpah itu memang kemenyan.

“Bukan, Bu,” timpal si siswa kalem. “Ini boneka Voodoo, bukan jelangkung.”

Oh, cuma orang sableng, toh.

Lihat selengkapnya