FAKRI
JIKA DIUMPAMAKAN, aku adalah Valentino Rossi-nya dunia literatur—aku gesit dalam membaca. Setiap buku yang kupinjam selalu rampung dibaca sebelum hari pengembalian. Sayang, hari ini—karena suatu alasan misterius—rekor tersebut terancam hancur. Berita bencana.
Senin selalu jadi hari yang penat, tapi untuk kali ini, aku serasa bisa mati kapan saja saking letihnya. Pasti gara-gara rodi bersih-bersih kandang angsa tiga hari kemarin. (Yep, termasuk hari Minggu. Ini sudah tergolong pelanggaran HAM.)
Dengan jari gemetar, aku membuka Iblis dan Miss Prym. Kuabaikan Bu Lirla yang mengoceh di depan kelas tentang pentingnya pendidikan dan nilai akademik. Semua orang mendengarkan dengan penuh minat—anak perempuan sebab mereka anak perempuan, anak laki-laki sebab Bu Lirla itu lulusan muda dan cantik bukan kepalang. Semua orang, kecuali aku. Pertama, aku tak paham ketertarikan anak-anak dengan orang yang lebih tua. Kedua, aku tak punya banyak hal yang bisa kubanggakan, jadi sampai mampus pun tak akan kubiarkan prestasi pembaca cepatku hancur.
Kukerahkan seluruh fokusku dalam menelaah kalimat demi kalimat, membalik cepat halaman demi halaman. Beruntung aku dilahirkan sebagai laki-laki. Otak kami berevolusi untuk terkonsentrasi dalam satu hal untuk kemudian dikerahkan secara penuh. Kurasakan keringat yang membulir di pelipis, perih dan keringnya mata, serta degup jantung yang bertalu-talu.
“Al, kamu bandel, ih.” Suara masuk ke telinga kiriku, keluar dari telinga kanan. “Baca apaan, sih?”
Mendadak, formasi indah dari abjad menghilang dari hadapanku, berganti menjadi tangan mungil merah muda yang melambai-lambai. Fokusku seketika buyar. Ah ... emm ... alasan kenapa rekor membacaku nyaris hancur ... mungkin adalah gadis ini. Barang setahi kuku pun tidak misterius, rupanya.
Aku memalingkan badan, coba menjauh dari godaan setan.
.... Namun, setelah memikirkannya lagi, mungkin ia keliru. Kita semua berbuat dosa, yang biasanya diikuti dua atau tiga hari kemarahan, dan setelahnya semuanya dimaafkan. Lagi pula, pastor tidak bisa membayangkan orang lain di desa ini, yang bisa mengerjakan tugas—
“Kalian pacaran?” suara Rihma bertanya.
“Dengkulmu!” Untuk sesaat, aku menutup bukuku, menyergah omong kosong si KM; untuk sesaat berikutnya, aku balik membukanya lagi, blingsatan dan histeris. Aku lupa buat menandai halamannya!
“Ish, Rihma?” Haina berdecak-decak. “Jangan sebar gosip aneh, kenapa? Haina sama Al cuma temen, kok.”
Siapa yang temanmu! Aku tak punya ingatan begitu! Setahuku, status hubungan kita yang paling mutakhir adalah musuh tujuh turunan.
“Beneran?” Satu alis Rihma terangkat, membuat kacamatanya miring. “Foto kalian viral di medsos .... Itu editan?”
“Foto?” Aku engos-engosan, mencabut rambutku dan menaruhnya di halaman 99—baru halaman 99! “Foto apaan? Ngomong pa’an kau ini?”
“Nih.” Rihma mengeluarkan ponsel, menunjukkan potret berlatar kandang penuh angsa dekil dan tumpukan tahi. Sepasang pemuda-pemudi berjongkok dekat mesin pembuangan AC—yang perempuan mencengkeram pergelangan si laki-laki.
Oh!
Oh Tuhan!
Zakir! Saking sibuknya macam kuli, aku sampai lupa soal itu bangsat! “Itu Zakir iseng,” timpalku, secepat dan sesantai mungkin. Kusadari banyak pandangan di kelas yang kini tertuju padaku, sekalian dengan telinga mereka juga. Aku celingukan. “Di mana Bu Lirla?”
“Udah keluar. Dan udah istirahat pun.” Rihma menarik ponselnya kembali, sorot mata masih sangsi .... Apa lihat-lihat, koplak! “Emang kamu ke mana aja? Perjalanan astral?”
“Dari tadi dia malah sibuk baca novel, coba,” Haina ikut-ikutan ngomong di sampingku.
Rihma menjulurkan tangan. “Mana angket?”
Bangke! Bisa kasih aku kelonggaran sebentar! Kita ngomong meloncat-loncat macam monyet begini! “Besok! Sumpah! Besok aku kasih!” Aku baru mau mengajukan proposal ekskul pada calon pembimbingku, juga!
“Besok hari terakhir.”
“Tau. Besok, bukan sekarang.”
“Jangan cabul di lingkungan sekolah.”
“Kami gak pacaran!” Jadi, kita balik ke topik awal, ya? Sibuk, sibuk! Aku baca kalau penglihatan perempuan 180 derajat luasnya, dan otak mereka juga dirancang multikerja; pantas kalian ngomong melebar ke mana-mana. “Udah? Itu doang? Diem.” Aku balik ke Iblis dan Miss Prym. Jarak pandang pria memang lebih jauh, tapi rentangnya sempit. Satu hal dalam satu waktu. Paham?