FAKRI
DI KOTA KAMPUNGAN INI, SMA Mandala Yuda adalah jenjang atas yang terbilang elit—sekali lagi, di kota yang kampungan ini. Kendati Mandala Yuda berarti “medan perang”, bukan berarti kami penggila kontes tawuran. Sebaliknya: kami bijak bestari.
Terbukti dari megah dan lengkapnya perpustakaan kami. Satu-satunya yang mampu kalahkan koleksi bukunya adalah Balai Pustaka Kota. Seorang saudagar misterius secara rajin menyumbang berjilid-jilid karya literatur suci ke sana. Meskipun—tentu saja—Perpustakaan Panjang milik Calo Aib tetap jawaranya soal buku ilegal.
Perpustakaan sekolah sendiri dibangun murni dari BOS dan hasil porot terhadap orang tua murid (ibuku pernah meradang gara-gara ini). Bangunan itu antik, mungkin sudah ada sejak zaman Majapahit, dan tak terhitung berapa kali mengalami renovasi. Dengan tiga lantai yang menyerupai undakan minimalis keren: balkon melingkar di lantai dua dan gudang di lantai tiga.
Puluhan raknya terbuat dari kayu ulin yang kokoh, super jangkung pula. Meja baca menjamur di dalam dan luar ruangan, dilengkapi tiga mesin fotokopi, AC, dan digitalisasi indeks buku. Kalau sedang sepi, balkon jadi tempat mantap untuk membaca. Menikmati buku di tempat tinggi sambil meresapi belaian angin itu punya sensasi sendiri. Kalau sedang sepi, tentu saja. Biasanya tidak. Biasanya ada saja celurut-celurut berisik yang mendominasi tempat itu. Biasanya kaum hawa.
Ironisnya, perpustakaan megah membawa kendala yang megah pula—macam yang Harari bilang, “otak besar = masalah besar”. Administrasi tempat itu susah diatur. Sebagai solusi, Sekbid IV OSIS yang bertanggung jawab atas pembinaan prestasi, akademik, seni dan olahraga mencoba mengeksploitasi para murid polos dalam sebuah pekerjaan rodi tanpa profit dalam kedok “Ekskul Pustakawan”.
Kubayangkan anggota ekskul itu tak bakal jauh beda rupanya dengan Haina. Makhluk aneh yang bawa pensil ke mana-mana, dan biasa ketawa sendiri, menangis sendiri, juga marah sendiri waktu baca buku.
“Rame betul.” Haina melompat, menghadang jalanku, tangan menunjuk ke arah pintu perpustakaan.
Ah ... oke, oke. Aku lihat, aku lihat. Aku juga punya mata—sepasang pula. Dan tahukah kalau laki-laki lebih unggul soal jarak pandang? Jadi, bisa tidak kau singkirkan wajah manismu itu sebentar? Ini ada angin ini. Ini rambutmu menciprat wajahku ini!
“Paling urusan biasa.” Aku menggosok mata yang pedih, kena colok rambut. “Balikin buku. Panjangin pinjaman.”
“Hmm.” Haina menekuk wajah, tangan tersilang di dada. Pose apaan itu? “Firasat Haina bilang ada yang gak beres. Al punya—”
“Haha. Kagak.”
“—kira-kira ....” Si gadis menusukkan pensil mekaniknya ketanganku. “Ish! Yang sopan! Orang belum selesai bicara, juga!”
Aw.
Apa pun hal yang menyebabkan orang-orang itu berkumpul di perpustakaan ... mau penampakan, kek! Mau pembantaian, kek! Mau skandal cabul, kek! Mau penemuan artefak kuno, kek! Mau kunjungan alien, kek! Sungguhpun, bukan urusanku!
Aku ambil langkah selebar mungkin, meninggalkan si gadis di belakang. Dia memanggilku, tapi kuabaikan. Kutarik napas dan kuseruduk kerumunan di ambang pintu. Aku lolos tanpa kesusahan. Rupanya rutinitas bersedak-sedakan dalam pembagian bantuan dana dan sembako tak jadi hal percuma.
“A-Al!” Suara di belakang. “To-tolong ....”
Aku menggaruk hidungku yang agak-agak mampet, celingkukan mencari petugas jaga. Di mana pula si Jake keparat itu? Ngumpet?
“Duh .... Sa-sakit ....”
“Oke, oke.” Aku menaruh bukuku di salah satu kursi, berputar arah, kembali menyeruduk kerumunan. Kutemukan si gadis cengeng dalam hitungan detik, tubuh mungil terjepit dan terkubur di antara tumpukan manusia. Kuraih bahunya dan kugiring keluar. Lagi-lagi ada rambut sialannya yang colok mataku.
“Haduh .... Makasih, Al. Tadi itu parah bang—Kamu kenapa?” Kepala Haina terteleng. “Kelilipan? Sini, biar Haina tiup—”
“Ogah.”
“Dih. Kalau digosok mah malah tambah parah nantinya ....”
“Ogah.”
“Ampun, Al. Nurut kenapa? Apa susahnya—”
“Ogah.”
Si gadis diam sejenak, merogoh saku dan mengeluarkan sekeping uang receh. “Biar Haina tiupin, ya?” Ditaruhnya uang tadi di sakuku.
Dikira aku Pak Ogah, apa! Tarifku tak semurah itu, wahai wanita! “Nih.” Aku menurunkan tangan, membiarkan si gadis meniup mataku.
Al-Fakri! Bukannya evolusi memastikan agar Sapiens jantan selalu hidup dalam harga diri yang tinggi! Tapi kenapa, sih, dirimu selalu terjangkau buat dibeli! Sungguh, perkembangan dari makhluk apa pula kau! Sialan kau! Bangsat kau! Bedebah kau! Duit di sakumu jadi pas seribu, itu! Nanti kalau nemu lima ratus lagi beli Indomie soto lagi, yuk!
Ayuk!
Haina terkikik. “Kumis sama alismu tebel.”
“Gen, pastinya.” Aku meraih bagian atas bibirku. Menurut testimoni Ibu, ayahku macam gorila bahkan sewaktu masih SMA: berbulu di sana-sini. Tapi cuma sedikit dari sifatnya yang terciprat padaku. Hal bagus itu.
Jadi, di mana si Jake keparat?
Ada kerumunan di meja jaga. Kerumunan dan kericuhan. Aku melompat, mengintip ke baliknya: seorang gadis duduk dibalik meja panjang, berkepang dua, lencana tersemat di dada. OSIS? Bukan Jake, pastinya. Jake itu pejantan, walau bagaimanapun.
“Kak Rena.” Alis Haina terangkat, telinga di arahkan ke kerumunan.
“Siapa, tuh?”
“Yang jaga sekarang. Kak Rena Sekbid IV, kan?”
Aku memicing, menoleh ke arah kerumunan. Mustahil. Tak mungkin dia bisa melihat gadis kepang itu.
“Nah, denger.” Jari Haina teracung. “Dia lagi marah-marah. Ada apaan, ya?”
Ngomong-ngomong, aku tak mendengar apa pun. Cuma kericuhan bising. Ini perpustakaan bukan, sih? “Kau mengada-ad—” Tunggu. Ah, benar. Apa yang dikatakan Allan dan Barbara Pease? Otak wanita dirancang untuk berkomunikasi. Telinga mereka macam radar. Baiknya aku percaya saja pada dia.
Lagi pula, orang-orang Sekbid IV memang kebanyakan anggota Ekskul Pustakawan. Mereka sering bantu penjaga perpus di kala kurang kerjaan. Yang buat aku heran itu bagaimana bisa Haina kenal orang sampai ke suara-suaranya? Aku kira gara-gara dia wanita. Sementara itu, aku sendiri yang sering datang ke sini lupa wajah mereka macam apa.
“Pak Jake-nya enggak ada,” Haina bergumam sendiri. “Kali gara-gara itu?”
Sialan kau Jake. Ngomong-ngomong, nama ini dieja ala lidah barat. Bukan “Ja-ke”, tapi “Jek”. Aku penasaran apa isi kepala ayahnya waktu buat nama konyol ini. Orang acap kali keliru dan buat orang tua itu marah. Dia penjaga perpustakaan di sini. Pria 30-an, agak dekil-dekil begitu dan sembrono luar biasa. Ada rumor yang bilang kalau dia sobat Calo Aib dan pernah bekerja di Perpustakaan Panjang, tapi rumor tetaplah rumor.
Aku melangkah, menghampiri meja panjang penjaga, tapi Haina menahan kelingkingku. Aku menjerit. “Tuyul! Ngajak ribut? Ayo ribut! Ciat!”
“Bu-bukan, ih, Jahe! Jangan pasang pose konyol! Haina cuma pengen ikut!”
“Nanti nyangkut lagi tahu rasa.”
“Gak bakal. Haina sembunyi di belakang kamu, soalnya.”
Enak banget kau ngebacot. Dan jangan pegang-pegang punggung seragamku, kenapa! Sobek, coba! Ini seragam “non-loak” pertama yang aku punya dalam seumur hidupku! Aku pakai duit hasil pemerasan buat belinya! Hus, hus! Lepas!