FAKRI
“AL, YANG TADI ITU APAAN?” tanya Haina.
“Eksistensi horor.”
“Ke mana dasi kamu?”
“Diambil eksistensi horor.”
“Serius, kenapa!”
“Horor.”
Ruang staf terletak tepat di samping meja panjang penjaga, membentuk tonjolan kotak di sudut interior perpustakaan. Tak macam ruangan lainnya, tak ada buku di sini. Alih-alih, aku mendapati rupa-rupa meja. Mulai dari meja panjang di tengah ruangan, meja kelas yang berjejer merapat di empat sisi dinding, juga tiga meja baca yang sembarang diletakan.
“Gini,” aku berhenti di ambang pintu masuk, menoleh pada Kak Rena yang sekarang ini kelihatan tak kuasa menahan senyum “manis”-nya. “Gimana kalau Kakak telpon HP Pak Jake?”
Kak Rena menggeleng, seringai makin lebar. Tanpa berkata, dia mengedik ke arah meja panjang. Tampak ponsel jadul biru tergeletak di sana. Pak Jake tak membawanya.
Aku memejamkan mata dan mengerang. “Kak, bisa enggak Kakak aja yang stempel? Biasanya juga begitu, kan? Aku sering ke sini, aku tau. Gak minta izin sekali-dua kali tak bakal jadi masalah, deh.”
“Dasar laki-laki!” kedua perempuan membentak serempak.
“Al, aturan ada buat dipatuhin,” Haina mulai mengomel. “Kamu ini jenis orang yang kalo nulis main terobos huruf kecil sama kapital, ya?”
“Haina, aturan ada untuk memudahkan.” Banyak orang yang salah paham soal ini. Segala hal yang diciptakan Sapiens ada untuk memudahkan hidup. Setidaknya, pada awalnya—tapi fungsi kognitif senantiasa mengubah kemudahan menjadi keharusan. “Lagian, stop bawa-bawa bahasa kutu buku, kenapa? Enek.”
Dengan kepala tertekuk dan mata menyalang, Haina cemberut seolah-olah diriku telah menzaliminya. “Hmph!”
Buset, dah, ini anak.
“Kenapa, Al?” Kak Rena menaikkan dagunya. “Nyerah?”
“Ide bagus.” Aku bersedekap. “Tapi aku ada urusan sama Pak Jake. Namaku bukan ‘Al’, ngomong-ngomong.”
Si gadis kepang merengut. “Tapi Haina panggil kamu ....” Dia bungkam sesaat, menoleh bergantian padaku dan Haina, lalu mendesah dan mengangguk. “Begitu. Aku paham.”
Apanya! Entah kenapa aku merasa kalau kau sudah sangat-sangat-sangat salah paham! Haina, bilang sesuatu, dasar kau toge mungil! Ini semua gara-gara kau seenaknya panggil ak—Tunggu dulu .... Aku rasa aku juga sama bersalahnya karena tidak coba bentak dia. Lain kali, biar kuhardik itu gadis kecil sampai mewek.
Hal pertama yang aku periksa adalah jendela. Bukan berarti aku pikir Pak Jake keluar lewat sana—semuanya terkunci, kok—tapi aku khawatir akan makhluk horor yang ada di luar sana. Aman. Dia lanjut kerja, rupanya. Bagus, bagus.
Aku beranjak menuju pintu belakang. “Yang itu selalu dikunci,” Kak Rena segera menyela, tapi bukan fakta namanya kalau tak dibuktikan. Kutarik kenop pintu. Macet. Kutarik lebih keras. Tetap macet. Terdengar dengus geli di belakang sana. “Dasar laki-laki.”
Aku berbalik. “Bangunan sebesar ini mestinya punya pintu darurat—kalau ada gempa bumi atau kebakaran. Seingatku, ada satu di sisi lain ....”
“Kalau Pak Jake lewat sana, aku bakal tau. Lupa, ya? Aku duduk di meja jaga. Buat apa ada meja jaga kalau enggak bisa liat ke setiap sudut perpustakaan?”
Karena suatu alasan, aku merasa malu. Ampas.
“Emang Pak Jake selalu kasih tau Kakak kalau mau pergi lama?” tanyaku, setengah karena ingin mengubah topik.