FAKRI
HAINA KEMBALI DENGAN SURAT MANDAT di tangan. Kak Rena melongo, setengah heran, setengah tak percaya. Tatkala dia menolehkan kepala, buru-buru kupersembahkan senyum paling manis yang bisa diciptakan wajahku. (Walau aku ragu kalau kombinasi kromosom ayah dan ibuku mampu membentuk sesuatu yang manis.)
“Gimana kamu ngelakuinnya?” tanya si gadis kepang, ogah-ogahan.
“Dengan menjedotkan kepala ke lantai,” sahutku. Jawaban itu dihadiahi sebuah rengutan masam—seperti yang aku harapkan. Mantap sekali. Aku tak bisa berhenti nyengir ketika Kak Rena membuka antrean pengembalian buku.
“Ngapain kamu?” kecam si gadis kepang ketika aku berdiri di depan meja jaga, buku dipelukan. “Kamu datang belakangan, kan? Sana, antri yang bener!”
Aku masih nyengir. “Jangan bercanda, ah, Kak. Waktu udah mepet ini.”
“Hus, hus.”
Cengiranku hilang.
Apa gadis ini tak tahu konsep hukuman dan imbalan? Baru saja aku hendak mengeluarkan jurus kungfuku, tapi Haina muncul dan mendorongku ke belakang. “Hei, hei. Ayo, jangan badung. Antri yang benar.” Dan kami pun berdiri di ekor ular macam orang tolol. Aku mengeluh, menghela napas, mengacak-ngacak rambut. Di belakang, Haina terkikik-kikik, dengan sukses menambah akumulasi rasa stresku.
Ketika bagianku datang, jam antik di pojok ruangan sudah menunjuk waktu 01:54—enam menit sebelum masuk. Bagaimana ceritanya seorang pahlawan berakhir di urutan paling bontot? Menyebut diri sendiri “pahlawan” memang agak-agak narsis, tapi aku darwinian. Aku mengabaikan semua sentimen dan hanya menyisakan fakta.
Aku tak macam si Mak Lampir. Dasar wanita.
Kusodorkan kartuku dengan masam, tapi karena suatu alasan, Kak Rena tak mau menyentuhnya. Kenapa lagi? Masih mau cari perkara? Ayo, siapa takut! Aku senang ini zaman emansipasi wanita. Aku jadi tak perlu pilih-pilih lawan—semuanya setara! Woh! “Laki-laki bukan, sih?” si gadis kepang tiba-tiba meledak. “Biarin pacarmu duluan.”
Aku menepuk wajah. Sudah kukira, dia sedang salah paham. “Bukan!” sergahku.
“Bukan laki-laki?”
“Bukan yang itu! Satunya lagi!”
Kak Rena berjengit. “Masa?” Dia kemudian mencondongkan tubuh, berbisik, “Bukannya ‘Al’ itu panggilan sayang dia ke kamu?”
Amit-amit. Bagaimana bisa kau melontarkan kata-kata bau amis macam itu dengan santainya? Kakakku bakal langsung menjerit histeris kalau sampai dengar. “Kak, andai aku emang pernah dosa ke Kakak, aku minta maaf,” aku menunduk dan memohon dengan setulus mungkin. Sepasrah mungkin. “Bacotku emang kadang rada-rada.”
“Hmm? Apaan? Aku gak paham.” Kak Rena sok polos.
“Pokoknya maaf! Sumpah! Aku menyesal!” Kusodorkan lagi kartu pinjamanku. “Mohon diperpanjang, ya. Ya! YA!”
Haina mencolek pinggangku. “Al, jangan teriak-teriak.”
Diam kau, bedebah! “Diperpanjang? Tumben.” Pada akhirnya, Kak Rena menerima kartuku. “Semuanya?”
Tumben? “Yang Iblis dan Miss Prym, Kak.”
“Sini bukunya.”