FAKRI
AKU LUPAIN SESUATU, pikirku di tengah jalan. Terdengar langkah pendek dari belakang. Aku menoleh, mendapati seorang anak hilang yang entah bagaimana malah berakhir menempel padaku. Dalam sekali lompat, aku bergeser memberi jalan. “Duluan.”
“Enggak, ah.” Dia malah ngeyel, tangan mendekap buku di dada. “Laki-laki mimpin.”
Evolusi memang menjadikan laki-laki sebagai makhluk pelindung dan pemecah solusi, tapi memimpin? Enak saja! Kecuali buat diriku sendiri, aku tak mau memimpin siapa pun. “Sana, Na.”
“‘Na’?”
Oh Tuhan! Lidah keparat! “Jalan duluan, gih!”
“Mmm!” Alih-alih menurut, si gadis malah menggeram. Macam kucing liar saja. “Jalan sama-sama kalo gitu.”
Kalau begitu dengkulmu! Makin parah saja itu! “Aku ada yang ketinggalan,” dustaku, menatap buku di tangan. Baru setelahnya, aku sadar—itu bukan dusta. Aku memang kelupaan sesuatu!
“Eh? Gawat, dong? Haina temenin!”
“Gak usah! Sana, sana! Siapa yang jelasin kenapa aku ilang ke guru kalau kau ikut-ikutan?”
“Haina kirim SMS ke Rihma.”
Itu malah buat aku makin tak tenang, jujur saja. Mestikah aku mengaktifkan “Mode Berengsek”-ku? Apa kau bilang? Aku sudah berengsek sejak awal? Ampas sekali kalian. “Aku jijik disangka punya hubungan yang enggak-enggak sama kau. Sana, sana.”
Haina tertegun, mata melebar. “Haina juga enggak ....” Si gadis tak melanjutkan kata-katanya, menunduk, melangkah melewatiku, tak bilang apa-apa lagi. Kuikuti punggungnya yang mungil dengan mataku, memastikan .... Memastikan apa? Dia tak akan berbalik lagi. Dikira berapa tahun aku melatih Mode Berengsek? Satu menit dalam mode ini mengurangi umurku satu tahun.
Walau bagaimanapun, ini menentang naluri alamiahku.
Setelah Haina hilang dibalik kerumunan siswa yang berseliweran, aku berbalik. Tampak Kak Rena yang sedang berseri-seri jahat. “Cari ini?” Dia mengangkat sejilid dokumen tipis di antara cubitan, seolah itu benda najis.
MAK LAMPIR! “Ah, iya!” Aku beraksi sealami mungkin, seramah mungkin. “Makasih—” Tapi begitu aku mengulurkan tangan, si berengsek Rena melepaskannya. Proposal kepunyaan Bocah Sableng jatuh ke setapak dengan bunyi debuk menyakitkan.
Sang pelaku mengernyit risih. “Masih kurang, ah.” Dengan tanpa perasaan, dia melangkah ke atas proposal, menggosok-gosok kaki tercemarnya seolah dokumen itu keset.
Charles Darwin!
Rena melangkah mundur tatkala aku melompat, berlutut dan merangkul proposal ekskulku dengan penuh kasih. “Kau sebut dirimu makhluk berbudaya!” Aku terima-terima saja kalau pelakunya itu kakakku, tapi ini ... Rena (siapa pun dia) ... penjaga perpustakaan!
“Kau sebut dirimu laki-laki?” dia malah membalas begitu. “Dasar makhluk patriarkis.”
“Masalahmu pa’an, sih?” bentakku, masih berlutut. Aku tak percaya kalau aku berselisih panas dengan orang yang namanya baru kuketahui.
“Namamu Caruk, kan?”
Aku makin terperangah, melongo dengan konyol. Caruk—rakus. “Gi-gimana ....”
“Aku putri Calo Aib.”
Mampus aku. “Kon-kontraknya! Kau disumpah buat ngelindungin identitas anggota Komune! Juga rahas—”
“Yang main sumpah-sumpahan itu ayahku, bukan aku.” Dengan kalem, putri Calo Aib merogoh catatan kecil dari sakunya. Dia menyimak cepat halaman demi halaman, lalu berhenti dan menyeringai. “Ini dia. Al-Fakri alias Caruk. Gabung sama Komune lima tahun lalu—anggota lama rupanya. Pernah buat anak cewek nangis abis-abisan sampai kasih kamu uang—”
“Ampun, Kak! Aku nyesel, aku nyesel!”
“Nyesel gara-gara apa?”
“Gara-gara ....” Aku tidak tahu!
Terdengar helaan napas berat. “Dasar laki-laki. Begini: minta maaf ke Haina.”
“Gi-gimana?”
“Ajak Haina kencan.”
“Beda sama yang pertama!”
“Jangan suruh aku ngulang-ngulang, kalau gitu.”
Mengerikan. Dia mengerikan! Ibu! Kakak! Tolong!
“Gak ada yang bisa tolong kamu, Bung.” Dia membaca pikiranku! “Kamu udah ambil risiko sejak tau letak Perpustakaan Panjang. Sekarang, rasain akibatnya.” Kak Rena menaikkan satu alis. “Yah, gak usah khawatir. Aku gak suka buat musuh. Yang perlu kamu lakuin cuma minta maaf ke gadis manis tadi. Jilat sepatunya, kalau perlu. Paham?”
Aku tidak paham, tapi menampik itu artinya berkelahi melawan Kematian. “Iya, iya, iya. Paham, paham, Kak!”
“Bagus.” Dia kembali membuka catatannya. “Inget: aku gak ada maksud buruk. Aku cuma pengen tolong sesama anak perempuan.”
Aku gak ada maksud buruk? Aku menoleh ke dokumen proposal Fortema yang compang-camping, lalu merasa sangsi seketika itu juga. Tanpa maksud buruk saja sudah begini, apalagi kalau dengan maksud buruk?
“Nih.” Kak Rena menyobek sehelai kertas dan menyerahkannya padaku. Tak mau buat dia menunggu, aku mengambilnya dengan kedua tangan, penuh sopan santun. “Itu beberapa rahasia yang dibayarkan Pak Jake—si Cabul.”
Aku tercekat. “Dia ... dia juga anggota?”
“Lebih senior darimu.”
Rupanya rumornya benar! “Bo-boleh aku tau, ini buat apaan?”
“Kamu sama si Alfan pengen minta beliau jadi pembimbing ekskul suram kalian, kan? Kamu gak bakal bisa bujuk dia segampang itu.” Ya. Kami tahu. Makanya tugas membujuk diserahkan padaku, yang namanya masih bersih dari segala cemar aib dan najis nista. “Ancam aja dia pake itu. Anggap itu bayaran karena udah biarin aku ngelampiasin kejengkelan.”
Aku, sekali lagi, melirik ke jilid compang-camping dokumen proposal. “Ma-makasih banyak, Kak.”