FAKRI
KUMULAI HARIKU DENGAN MEMBUANG INGUS. Aku merasa bagai seonggok bangkai, dengan mata becek, kepala bengkak, serta lutut yang tak mau berdiri tegak. Ibu meraih keningku; dia langsung terperanjat karenanya. “Habis ngapain kamu? Enggak ada angin, enggak ada hujan ....”
“Hah?” Oh, sial. Bahkan bicara saja terasa menyiksa. Tenggorokanku perih, lidahku pahit, ludahku tak mau berhenti keluar. “Aku ... uh ... kecapean abis rodi. Dan sebelumnya sempet kecemplung juga ke sawah ....”
“Kecemplung? Bagus. Berapa umurmu, sih? Kelakuan masih aja macam anak SD.”
“Aku ‘dah mimpi basah, Bu.” Aku bersin. Ingus bergantungan di bibir. “Aku ‘dah bisa hamilin anak orang. Aku dewasa.”
Seketika, Ibu pasang wajah muram. “Kalau udah melantur jorok begitu, artinya kamu sakit parah. Tidur lagi, gih. Ibu nanti titip surat izin ke Zakir—”
“Aku masih”—kugosok-gosok ingusku dengan lengan—
“Aku masih sanggup, Bu.”
“Pakai sapu tangan, dasar jorok!”
“Dasiku dipinjem kakak kelas ....”
“Aku bilang sapu tangan, bukan dasi!”
“Tapi aku biasanya pakai dasi.”
“Heran kenapa gadis gebetanmu belum kabur juga.”
Aku terperangah. “Gimana?”
“Gadis gebetanmu ... atau kalian udah pacaran? Maksudku ... tak biasanya kamu maksain sekolah. Apalagi alasan yang ada kalau bukan ‘rasa kangen’ buat ketemu pujaan hati?”
Aku ingin muntah. “Sumpah, bukan begitu, Bu.” Yang menungguku di sekolah itu Mak Lampir, dan aku pergi temui dia semata cuma buat mengemis nyawa. Tapi tegakah aku bilang begitu pada ibuku? Dia bisa nangis darah kalau tahu nasib putranya semalang ini. Keji banget, dah. “Eng ... yah ... heh, gak sepenuhnya salah, sih. Aku emang ada janji sama anak cewek.” Oke. Sesekali menyenangkan hati orang tua tak ada salahnya, toh?
“Ngibul.”
Ini ibu-ibu maunya apa, sih?
BEGITU SAMPAI DI SEKOLAH, hal pertama yang aku lakukan adalah pergi ke perpustakaan. Pintunya masih ditutup, jadi aku duduk menunggu di bangku baca teras depan, sibuk menghisap ingus yang tak kunjung habis. Kak Rena muncul tak lama kemudian.
“Jadi?” tanyanya.
Untuk sesaat, bayangan akan masa depanku yang gelap berkelebat. Ini tak bisa dibiarkan. Jadi, dengan terus terang, aku mengakui kalau diriku sudah berusaha sampai titik batas kemampuan, menggunakan segala teknik, serta menerapkan berbagai ilmu yang ada di dalam kepala. Meski begitu, Haina terlalu pelit dan sempit hati untuk sekadar bilang, “Iya, aku maafin.”
“Gadis itu bilang apaan?” tuntut Kak Rena, alis bertaut.
Aku bersin. “Eeh ... gak bilang apa-apa, sebenernya. Cuma melet-melet lidah. Gak sopan banget.”
“Kerja bagus, dong.”
“Hah?”
“Kamu ngarep apaan? Dengar dia bilang, ‘Ya, dimaafin. Mari jabat tangan. Ini kontrak perjanjiannya.’ Begitu?”
Sebenarnya ... yah ... mirip-mirip, lah.
“Coba ajakin bicara lagi.”