Detektif Palsu: Fail Romansa si Antibetina

Zangi al'Fayoum
Chapter #17

2

FAKRI

SETELAH DICEKOKI OBAT, perawat UKS buntal aku dengan selimut. Dia tanya apa aku ingin minum atau makan sesuatu; aku bilang ingin kopi; dia mencubitku. Rasa kantuk datang cepat, aku terlelap tanpa berlama-lama. Realita yang suram dengan cepat didepak oleh mimpi yang muram.

 

AKU MASIH KECIL. Masih pakai seragam SD-ku yang kusam; yang bajunya kebesaran sementara celananya kekecilan. aku masih bocah ingusan; masih senang berlari-lari di pematang sawah buat kejar layang-layang. Aku pegang batu, duduk di atas dada bocah lain. Darah di mana-mana.

Ada seorang gadis. Tubuhnya macam anak kecil, tapi mulutnya macam ibu-ibu. Jemarinya kuning oleh parutan kunyit, badan beraroma bawang, ransel besar bertengger di punggung ringkih. Aku kenal dia ..., pikirku, nama dia .... Aku membelai rambutnya, tapi begitu aku menjauh, si gadis digantikan oleh seekor Homo neanderthal. Orang purba bangsat. Kami main catur dan berakhir dengan kekalahanku yang telak. Aku menuntut pertandingan ulang.

“Percuma, Sapiens!” si Neanderthal terbahak. “Aku lebih cerdas.”

“Tidak! Aku tak terima! Dasar jidat datar!”

“Fakri, maaf,” si gadis kembali muncul, menangis. Rambutnya berantakan. “Maaf, maaf, maaf—”

“Aku idup dua juta tahun, man!” Mendadak, si gadis berganti jadi Homo erectus. “Berapa umur kalian? Apa? Baru 150 ribu?” Dia nyengir dan tergelak-gelak. “Dan itu belum tentu bisa lanjut seribu tahun lagi. Kalian gak akan pernah pecahkan rekorku!”

“Bangsat! Sembarangan kalau ngomong! Sapiens akan hidup selamanya dan jadi penguasa semesta!”

“Makhluk arogan! Lancang betul sebut diri kalian sendiri Sapiens[1].” Erectus meludah. “Tunggulah, azab Tuhan akan datang, meratakan peradaban yang kalian agungkan—”

“Kamu anak setan,” si gadis kecil bertutur. “Pendengki, pendendam, tukang iri. Kamu bakar segala hal yang kamu gak bisa kamu punya—”

“Aku benci wanita.”

“Bukan. Kamu takut wanita.”

“Tutup bacot.” Nama dia ... ya, itu. “Nafisa.”

 

“SIAPA?” Haina mengerutkan keningnya.

Aku menatap wajah si gadis, tak langsung menjawab. Pelan-pelan, kewarasanku kembali. Aku ada di UKS; aku habis bermimpi; aku bicara sambil molor! “Nafisa,” ulangku. “Kakak perempuanku.”

“Bo’ong.” Oh, asem. Mata perempuan memang jeli, dah. “Kamu mimpi apaan, Al?”

“Catur sama Homo neanderthal.”

“Siapa yang menang?”

“Aku, pastilah.”

“Lagi-lagi bo’ong ....” Haina menggeleng dan menghela. Kenapa, sih? Apa kemampuan mendustaku merosot seiring melemahnya tubuhku? Atau aku cuma terlahir sebagai orang jujur saja? Satu alis Haina terangkat, seringai licik tersungging di bibir. “Haina ada di mimpi kamu?”

“Oh, iya. Ada.”

Dia merona. “Tung—Huh? Eh?”

“Aku bo’ong lagi.” Kenapa nalurinya malah macet di saat-saat macam ini? Sebelum Haina protes, aku memotong, “Mau apa kau kemari? Ganggu orang istirahat aja.”

“Masih mau bobok? Bentar lagi orang udah pada pulang, juga.”

Aku melirik jam: 01:21. Gawat. Aku masih ada perlu sama Bocah Sableng. “Perasaan aku tidur baru sebentar, dah.” Aku bangkit duduk. Kecuali suaraku yang jadi sangau macam sepiker pecah, kondisi tubuhku nyaris pulih.

Haina terkikik. “Hidung kamu mampet, ya?”

Tak usah dikasih tahu pun aku sadar!

“Sama, itu ....” Si gadis berpaling seperempat lingkaran. “Pagi Al.

“Sinting.”

“Jahat! Itu ... uh ... buat ... uh ... buat balasan yang tadi pagi!” Dia gelagapan. “Maaf.”

“Kudengar corpus callosum[2] wanita lebih tebal dibanding pria—itu buat reaksi verbal kalian lebih gesit.” Aku mengangkat dagu, coba membenarkan suara—gagal. Bunyinya tetap menghidung. “Tapi kelihatannya punyamu udah putus.” Aku diam sejenak, kemudian menambahkan, “Gak bakal aku maafkan, ngomong-ngomong.”

“Kamu punya hati enggak, sih?”

“Liver? Punya.”

“Bukan hati yang itu!”

“Hati ya cuma satu, lah.”

Heart!”

“Jantung? Kau orang zaman mana, sih? Aristoteles udah tewas pun.[3]” Aku menunjuk kepalanya, tepat ke arah kening. “Di sana. Di otak. Udah, ah. Minggir sana.”

“Bentar, bentar! Haina ada perlu sama kamu!”

“Aku enggak.”

“Kemarin Zakir kasih tau Haina!”

Aku terbengong. “Apaan?”

“Itu ....” Haina merona, mata bergulir menjauh dariku. “Dia bilang ... uh ... kamu ... kamu punya rasa ke Haina. Uh ... Al? Makasih. Haina seneng banget, tapi ... Haina udah bilang, kan? Ada ... orang yang Haina suka. Kamu unik, Al. Banyak buat Haina kaget, tapi Haina enggak ada rasa begitu sama kamu. Kali kalo kamu kenalan sama anak-anak cewek Iksar .... Al? Kamu denger?”

“Oh, maaf. Sahaya terlalu terpukau oleh kege’eran Puan.”

“Al!”

Lihat selengkapnya