Detektif Palsu: Fail Romansa si Antibetina

Zangi al'Fayoum
Chapter #18

3

FAKRI

“APA PACARMU ITU JENIS YANG POSESIF? Gak mau kau deket-deket sama betina lain?” celetuk Bocah Sableng tatkala kami menyusuri lorong. Gema paduan suara Sanggar Seni terdengar sayu-sayu dari arah taman.

Aku menggosok kepala Cukong yang sudah kinclong betul. “Yang pertama-tama kudu dikoreksi: aku gak pacaran.”

“Jadi baru TTM-an?”

“Yang kau denger itu cuma gosip ampas!”

Bocah Sableng melirikku. “Kau sebar gosip kalo kau punya hubungan sama gadis manis itu? Bajingan betul dirimu.”

“Ngapain juga aku buat hal mengenaskan macem begitu!”

“Tentu saja supaya kau kelihatan laku. Itu taktik yang umum dalam dunia pemasaran—”

“Tau, tau, makanya aku bilang ‘mengenaskan’.” Aku mengintip ke belakang. Si Poni Rata membuntuti dari jarak dua depa jauhnya. “Aku benci wanita.”

Di luar dugaan, Bocah Sableng setuju. “Sama.”

“Eh? Seriusan?”

“Aku punya pengalaman traumatis dengan mereka.”

“Kalo gitu—”

“Kita butuh tambahan anggota, bego. Masa ekskul isinya cuma dua pejantan memilukan?” Jadi, kau mengakui kalau dirimu adalah makhluk memilukan, ya. Berani betul. “Yang bener yang mana? Kau benci wanita atau takut wanita?”

“Ta-takut? Kenapa juga aku—”

“Mereka emang bikin ngeri, kan?”

Aku setuju-setuju saja, tapi ... duh. Percuma aku susah-susah putar otak buat cari si Jake! Percuma aku buat kontrak setan sama si Mak Lampir! Percuma aku buat perjanjian ribet dengan Haina! Semuanya demi ekskul keparat ini! Demi kehidupan remaja sehatku!

Memang, kendati aku agak-agak sinis terhadap orang, bukan berarti aku ini antisosial. Aku suka mengobrol, aku suka kehadiran teman, aku suka kegiatan komunal—asal jangan keterlaluan saja. Aku hanya ... yah ... tak suka keramaian. Berada di kawasan berpopulasi 2 – 3 jiwa/m² dalam waktu lebih dari lima belas menit dapat membuatku terkena kejang-kejang.

Aktivitas yang menuntut kerja fisik juga di luar pertanyaan. Lebih utamanya lagi, tak boleh ada wanita. Jangan, jangan. Masih ingat filosofiku? Jauhi wanita, terutama yang cantik, yang jelek sudah jelas. Kaum hawa adalah musuh naturalku. Bila diandaikan: aku adalah kelinci putih rapuh berbulu lembut, wanita adalah serigala hitam garang berbulu gimbal.

Sungguh mukjizat aku bisa tahu soal Fortema—kuyakin bisa didaftarkan sebagai keajaiban dunia kedelapan. Ekskul ini memenuhi seluruh kriteriaku—bonus posisinya yang di ambang keruntuhan. Kenapa begitu? Karena kalau ekskulnya bubar, maka aku bisa menghentikan kegiatan tak produktif ini dan kembali ke keseharian normalku. Apa yang kurang coba?

Sekarang, semua usahaku terancam sia-sia.

Kami berjalan cepat ke bagian terpojok kompleks kelas tiga. Menyusuri beberapa bangunan, kelas, menuruni tangga, melintasi toilet staf, turun tangga lagi, memintas kandang merpati, lalu singgah sebentar di kolam kura-kura. Bocah Sableng membuka sepatunya, menaikkan celana, lalu masuk ke kolam dan mulai bersih-bersih. Manusia yang satu ini bertingkah di sekolah laksana di rumah sendiri.

Selepas itu, kami lanjut turun tangga untuk ketiga kalinya. Yang ini agak berbeda. Yang ini lebih sempit dan gelap, terjepit antara benteng dan ruang Atelir Lukis. Bau tiner meruap di udara, bercampur dengan aroma apak yang lembap.

Tangga berakhir di belakang bangunan kelas, di sebuah lahan hijau yang memanjang dari timur ke barat. Pepohonan dan tanaman kebun milik Ekskul Pecinta Alam tumbuh subur di sana. Di pojokan, terhimpit dua dinding benteng dan empat pohon nangka, berdiri sebuah bangunan angker. Luasnya sekitar empat kali lima meter, dengan plester dinding mengelupas di sana-sini, genteng dipenuhi lumut, serta jendela yang dinaungi bayang-bayang pohon. Sungguh bangunan yang suram. Sangat cocok buat dijadikan sarang orang jahat.

Ralat.

Sarang orang gila, tepatnya.

“Copot sepatu kalian.” Bocah Sableng melepas sepatunya dengan cara diinjak, lalu mengenakan sandal jepit hijau butut di kiri, kuning di kanan. Keduanya beda ukuran. “Sendal, tuh, tuh. Pilih sesuka kalian.” Dia mengeluarkan kunci dan masuk.

Ada banyak sandal, tersebar di sana-sini. Kucoba pilih yang paling bagus, lalu terbengong. Sandal-sandal ini ... semuanya tak punya pasangan. Ada sandal jepit tujuh warna dan bakiak somplak, ada sandal duri terapi dan sandal bulu-bulu hangat, ada sandal kelinci dan sandal buaya, juga ... terlalu banyak buat disebutkan. Semuanya bervariasi. Tak ada yang sama, kecuali dalam satu aspek: semuanya bagian kanan saja.

Ini mengingatkanku pada rumahku, ngomong-ngomong.

Waktu kuputuskan untuk memilih sandal jepit tujuh warna dan sandal kelinci, aku tersadar. Masih ada harapan. Maksudku ... ekskul ini rupa-rupanya lebih suram dari yang aku duga. Sudah ketuanya gila, ditambah pula ruang ekskulnya yang macam rumah hantu begini. Bagaimana mungkin seorang gadis—di antara dua lelaki—mampu tahan dengan situasi macam ini? Aku menahan seringaiku kuat-kuat dan melangkah masuk.

Seketika hidungku diterjang aroma kemenyan yang brutal bukan kepalang.

Aku batuk sejadi-jadinya, nyaris terguling, berjuang mati-matian untuk membuka mata yang pedih disengat asap. Di sampingku, si Bocah Sableng membusungkan dada dan menghisap napas dalam-dalam penuh kenikmatan hakiki. “Aah ... aroma rumah.”

Bagian dalam ruangan lebih mengerikan lagi. Semua jendela tertutup koran, asap antah-berantah tertahan di udara karena jeleknya ventilasi. Lampu pijar tergantung di atas ruangan, remang-remang, berkerlap-kerlip—sama sekali tak menerangi. Lusinan lilin tersebar di sembarang tempat, ada yang tampak baru, ada pula yang sudah terpakai. Di seberang ruangan, berdiri sebuah meja kayu, berdampingan dengan kursi putar yang bolong-bolong. Puluhan barang aneh terhampar di sepenjuru ruangan.

Lihat selengkapnya