FAKRI
AKU MENYINGSING LENGAN BAJU dan ujung celana, sandal ditaruh di pinggir jalan. Di hadapanku, berdiri sebatang pohon jambu, tumbuh rimbun di bantaran dan condong ke arah sungai. Sehabis menilik-nilik cermat lokasi buah yang matang, aku mulai memanjat.
Sudah bertahun-tahun aku naik-turun pohon yang satu ini. Sama sekali tak ada kesulitan. Satu-satunya gangguan datang dari ingus yang meluncur keluar tanpa henti.
Kemarin malam, aku istirahat total. Lepas dari rutinitas belajar sambil begadang, atau begadang sambil belajar. Alhasil, demam dan pusingnya sirna tak bersisa. Tinggal ingusnya. Selalu jadi yang paling susah sembuh. Aku sempat menyumbatnya lagi sebelum berangkat, tapi begitu ibuku lihat, dia murka besar.
“Kamu anak SD apa SMA, sih!”
“Bu, otak pria selalu menyediakan tempat buat tantangan dan hal-hal kekanakan. Itu sudah kodrat kami untuk jadi bocah abadi.”
Ibuku bersedekap. “Aku rasa emang begitu. Ayah kamu juga kadang-kadang macam anak SD kalau lagi kumat.” Lantas, wanita tua itu menampar punggungku dengan kencang dan keras. Sakit luar binasa rasanya. Sumbat hidungku mental ke lantai. “Tapi jangan lakuin di depan anak gadis, kenapa. Malu-maluin.”
“Siapa bilang aku mau ketemuan sama cewek?” tampikku, ingus menggantung.
Ibuku membuka matanya lebar-lebar. Menakutkan. “Intuisi.”
“Ribet amat!”
“Awas aja kalau kau buat sesuatu yang buat aku malu. Kucoret langsung namamu di KK!”
Kalian tak tahu ibuku, tapi dia adalah Godzilla-nya rukun tetanggaku. Tak ada yang berani lawan dia, kecuali ayahku mungkin—kalau sedang teler. Aku sendiri hanya pernah sekali menentangnya. Dulu. Kenangan buruk.
Aku tengah memetik jambu kedua kala terdengar orang berseru, “Maling! Maling! Woy!”
Aku terperanjat, terperosok, menjerit, bergantungan pada dahan kecil bagai panda. Di bawahku, Sungai Tawas mengalir tenang dan dalam, siap menelan setiap orang kurang kerjaan yang iseng menceburkan diri. Mantap banget, dah. Sementara aku berjuang mati-matian untuk menaikkan kaki, kekeh menjengkelkan terdengar.
“Haina! Kau toge tengil!”
Kekeh berubah jadi gelak. “Al! Ngapain kamu!”
“Gimana kalau jatuh!” Aku menengok, menghujamkan delik galak pada si gadis. Dia duduk jongkok di pinggir jalan, tubuh berguncang-guncang, tangan memeluk perut. Pelototanku sama sekali diabaikannya. Dia masih asyik tertawa.
Buru-buru aku merosot turun, ingin segera menyemburkan murka pada makhluk jahat itu. Anehnya, begitu aku menjejakkan kaki di tanah, amarahku padam. Ada yang berbeda dengan tawa gadis ini. Tidak sama dengan ngakaknya kakakku. Apa itu?
“Uh ... maaf, maaf ....” Haina bangkit, tangan membungkam mulut. Meski begitu, tawanya masih pula bocor keluar.
“Woy.”
“Maaf, tapi ... duh ....” Si gadis menghela napas dan nyengir lebar, jari menyeka sudut matanya yang basah. “Kelakuan kamu emang susah ditebak. Bikin Haina kaget terus.”
Itu dia. Aku ... merasa tak sedang diejek—itu perbedaan tawanya dengan tawa kakakku.
“Itu sungai enggak cetek.”
“Kalau jatuh ya tinggal berenang, ih. Apa susahnya.”
Enteng banget kalau ngebacot. “Kenapa pula kau mikir aku bisa berenang?”
“Ya ampun, Al. Kalau kamu hanyut, Haina pasti tolong, kok. Jangan marah-marah.” Dia menelengkan wajah, satu alis terangkat. “Lagian kamu emang lagi nyolong jambu, kan?”
“Ini pohon jambu bukan punya siapa-siapa.” Dari saku, aku mengeluarkan dua buah jambu—yang satu seukuran kepalan tanganku, satu lagi setengah kali lebih kecil. “Aku yang tanam waktu masih bocil.” Dan bukan hanya ini saja. Ada banyak pohon jambu di sepanjang bantaran Sungai Tawas. Semuanya hasil tanamku.
“Masa, ah.”
“Sumpah!”
“Gak percaya.” Haina menjulurkan tangan. Dengan tak tahu malunya, gadis itu menjulurkan tangan. “Buat cocok mulut.”
“Ini bukan punya orang!” sergahku, tapi karena memang bukan punya orang, berarti bukan punyaku juga. Aku menimang-nimang sejenak, lalu menyerahkan jambu yang kecil. “Nih.” Cengiran culas merekah seketika di mulutku.
“Makasih. Hehe.” Kendati demikian, senyum Haina tak pupus. Dia tak merasakan niat jahatku (lagi-lagi). Bedebah licik. “Ngomong-ngomong, gimana penampilan Haina?”
Ah, benar. Dia mestinya berpakaian macam laki-laki. Aku mengernyit, menatap Haina yang berputar-putar, menekuri. Apa sudah menyerupai? Jawaban: “Kau niat, gak, sih?”
“Ih! Niat, lah!”
“Tapi ini gak ada yang berubah begini.” Haina mengenakan celana olahraga sebagai bawahan, kaos lengan pendek sebagai atasan, keduanya berwarna kelabu dengan sedikit polet putih. Rambutnya diikat ekor kuda, ditutup topi bundar longgar berwarna abu, logo bumi dan segitiga daur ulang tersulam di depan. “Lagian itu topi hasil pungut dari mana itu topi! Macam topi tukang mancing aja!”
“Bu-bukan hasil pungut! Gak sopan!”
“Ayahku punya satu. Konon hadiah kerja bakti setahun penuh di Pekan Bersih. Ibuku selalu cerewet kalau Ayah pake itu.”