HAINA
WAKTU KUBUKA TUTUP MATAKU, tampak Al yang bersin-bersin. Udara terasa menusuk bagai pisau di sini. Dingin dan kering. Tentunya gara-gara AC. Aku merapatkan mantelku tanpa sadar—mantel Al, maksudku. Aroma asap menyeruak tercium. Pernah gak kita kenal orang macam ini, De?
Gak, Yusik menjawab penuh semangat. Kepake banget dijadiin bahan karakter, emang.
Kamu, sih, enak-enak aja! Lah, Haina yang mesti repot urusan sama dia!
Kamu enggak tertarik juga, Na?
Aku meringis. Sedikit-sedikit aku memang tertarik dengan Al. Satu tips dalam pembuatan karakter fiktif adalah dengan mengambil model dari karakter nyata, dan Al—seperti yang Yusik bilang—adalah bahan yang langka luar biasa. Meski begitu, tak jarang aku dibuat jengkel olehnya. Perangai si Jahe benar-benar jelek—kasar, sinis, urakan. Beda jauh dengan si dia.
Inget soal pangeran kamu, Na?
Hus!
“Yang gesit pilih bukunya.” Al bergidik, bicara sengau macam orang jengkel. Selalu begitu. “Coba kodok saku kanan mantelku.”
Aku kebingungan. Ada banyak saku di mantel tua ini, dan itu pun berlapis-lapis. Kucoba saku di sisi pinggang. Di dalamnya, jemariku mendapati sesuatu—sehelai kertas keras ... tekstur licin ... agak kusut. “...?”
“Bukan yang itu. Paha, paha.” Al menepuk-nepuk pahanya sendiri.
Saku yang Al maksud jatuh nyaris di lututku. Wew. Apa anak laki-laki yang memang tinggi-tinggi atau aku saja yang boncel? “Ini?” Aku merogoh, mengeluarkan sekotak korek api bergambar burung gelatik di satu sisi, serta tulisan Three Durians di sisi lain. Aku membukanya. Memang korek api. “Hayo! Kamu suka ngerokok, ya!”
“Mana punya aku fulus, Na.”
Aku rasa dia benar. Al adalah orang paling kere yang pernah aku jumpai.
“Itu satu-satunya mata uang yang berlaku di ini tempat, jadi jangan boros. Kasirnya ada di ujung sana.” Al menunjuk lorong perpustakaan yang memanjang jauuuuh—ujung seberang hanya berupa ruang kecil dilihat dari sini. Dua baris rak besar mengapit di sisi-sisi, meja dan kursi ditaruh di setiap beberapa meter. Tak ada jendela, tak ada jam, tak ada cahaya matahari.
Aku coba mengingat-ngingat. Dari pekuburan, aku dan Al berjalan tak tentu arah selama beberapa menit, sampai akhirnya aku kehilangan persepsi arah. Kami kemudian digiring masuk ke dalam mobil, diantar berkeliling-keliling, turun, berjalan lagi, naik-turun tangga, dan sampailah. Antah berantah. Jantungku melompat liar tak terkendali.
Saking semangatnya, koreksi Yusik.
Saking semangatnya! Rasanya seolah berada di dunia fiktif yang dibuat oleh pengarang majenun.
“Kamu gak ikut?” tanyaku kala mendapati Al malah duduk di sofa, memeluk celengan babi yang biasa dia bawa-bawa. Tak jarang aku mengira itu adalah berhala yang Al sembah. Maksudku ... tak ada yang tak mungkin kalau urusannya sudah menyangkut Al-Fakri. Dia gila.
Al bersin. “Mau molor dulu.” Dan dia pun tidur tengkurap sampai separuh wajahnya hilang di balik alas sofa. “Si anjing! Padahal baru sembuh, juga!”
Aku menyentuh keningnya. Benar. Demamnya datang lagi. “Kamu baik-baik aja, kan? Dan jangan bicara kasar.”
Al menepis tanganku. Wajahnya memerah. “Hus, hus.”
“Ih, ya. Haina cuma khawatir, juga.” Dasar anak laki-laki. Selalu saja berlagak kuat. “Haina tinggal, ya.” Aku berbalik dan mulai menyusuri lorong perpustakaan. Lampu bohlam menyala di langit-langit dalam nuansa jingga yang hangat, cahayanya menerpa deretan punggung buku dengan judul-judul ganjil.
“Nah, Yusik? Ini seru banget,” ujarku begitu Al tertinggal jauh di belakang.
Tak lama kemudian mulutku bicara sendiri. “Kita mesti sering-sering ke sini, Na,” balas adikku.
“Pengennya. Tapi kita mesti kasih rahasia kita kalo buat jadi anggota Komune.”