ADA YANG SALAH dengan kepala Al-Fakri (nama samaran). Ada setan yang bersemayam di sana. Gen Pejuang, para ilmuwan bilang—seleksi alam atas dunia Sapiens jantan yang penuh dengan perseteruan berdarah. Sekarang, perdamaian telah tumbuh subur di muka bumi, tapi warisan era barbar takkan terhapus oleh rentang waktu seribu tahun.
Dengan dada membusung, aku nobatkan Al-Fakri sebagai pengecut. Dia cinta perdamaian, dia haus keharmonisan. Kau tak akan melihat dirinya sebagai orang berbahaya di bawah sinar matahari yang cerah. Al-Fakri penakut; tapi ada batasnya. Di balik puncak kegentaran, ada daratan liar yang gelap. Darahnya menjadi dingin, jantungnya menjadi tenang, dan pikirannya menjadi awas. Ketika itulah Al-Fakri mampu menggigit leher seseorang tanpa berkedip.
Kalau Anda memang kebetulan kenal dengan Al-Fakri di dunia nyata, tentu Anda tahu betul kalau dia ini bukan manusia. Sulit dipercaya memang, tapi Al-Fakri tak selalu macam itu. Ya, ya, ya ... dia memang kikir dan culas sedari berojol, tapi Al-Fakri kecil masih punya nurani pula. Dia anak yang pemalu dan pendiam, sedikit cengeng, tapi juga sopan dan ingin disukai orang-orang. Dia punya teori sinting bahwa andai dia menjadi anak baik, dunia juga akan baik padanya.
Tolol.
Kata ayahnya, Al-Fakri ini anak yang sial (sialan dia). Al-Fakri lahir di keluarga tak berada; yang mesti menunggak buat beli susu, yang pakai baju bekas bayi tetangga, yang buat popok dari sarung butut (sarung ayahnya sendiri), yang pungut barang buangan sebagai mainan. Untungnya dia lahir di Zaman Silikon, era di mana kemiskinan hanya berupa kemiskinan sosial, bukan biologi; era di mana kelaparan sampai mati hanyalah dongeng dari negeri seberang samudra.
Keluarga Al-Fakri dikucilkan dari asal-usulnya. Dia tak punya paman yang baik hati, tak punya kakek-nenek yang memanjakan, tak punya pula sepupu sebagai teman gelut. Liburan mereka paling-paling datang ke kali sambil bawa pancingan; atau dalam kasus kakak dan ayahnya, hilang di rimba Perbukitan buat main kucing-kucingan sama binatang liar.
Ibunya bilang kalau dia nyaris mengira Al-Fakri anak idiot. Bagaimana tidak? Di umur lima tahun, Al-Fakri masih bicara ba-bi-bu macam bayi di gendongan; melongo tak paham ketika dinasihati; tak pernah akur pula dengan anak-anak sebayanya. SD kelas tiga, tulisan dia masih menyerupai tahi anjing di pinggir jalan. Mana “a” mana “d”, mana “i” mana “j”, mana yang “h” dan mana “b” ... hanya Tuhan yang tahu—Al-Fakri sendiri tak mampu membedakan, soalnya.
Al-Fakri piawai soal angka, tapinya. Umurnya baru tiga tahun, tapi dia tahu kalau sehelai Imam Bonjol lebih berharga dari dua lembar Kapitan Pattimura. Al-Fakri tahu kalau sepuluh bakwan dibagikan pada empat orang hasilnya dua lebih dua—yang mana surplus itu masuk ke perutnya. Al-Fakri tahu barang mana yang paling berharga, yang lebih menguntungkan bila dimasukan ke sakunya.
Ibunya pernah bercerita, sambil berkaca-kaca, kalau putranya pernah menukar enam koin seratus perak dengan dua keping lima ratusan punya Zakir. Bocah badung yang mengerikan, memang; tapi mesti diakui, butuh kecerdasan untuk berbuat begitu. Panggil dia licik, kalau bukan cerdik.
Sadar akan hal itu, di awal umur lima tahun, Ibu ajari Al-Fakri matematika dasar—sementara Ayah ajari Kakak mengetapel burung. Karena batasan bahasa, Ibu mendidik sambil merah wajahnya, tubuh bermandikan peluh, tangan mencengkeram lidi (kekerasan di bawah umur!). Sakitnya nyaris traumatis, tapi bukan tanpa hasil.
Di umur tujuh tahun, Ibu mengumpulkan duit dan carikan putra badungnya SD khusus yang menyiapkan para muridnya untuk olimpiade. Target mereka adalah International Mathematics and Science Olympiad (IMSO). Jika Fakri berhasil tembus ke sana, maka masa depan akademiknya tentu cerah terang benderang serupa tumpahan cahaya mentari di hari kiamat.
Al-Fakri benci belajar, padahal. Al-Fakri benci harus menekuri buku di malam hari, menekuri buku di pagi hari, menekuri buku di siang hari, menekuri buku di sore hari ... balik ke malam lagi!
Dia ingin macam bocah lain—malam menonton film, pagi ngerumpi soal ceritanya, siang menendang bola, sore main game, malam nonton film lagi! Bahkan kakaknya saja tidak seterkekang itu. Sekali, pernah Al-Fakri mogok belajar, protes—gara-garanya, Ibu mencucinya di sawah, kira dia kesurupan. Bangsat keparat tahi anjing. Al-Fakri mengutuk ibunya kala itu. Nenek-nenek bangka sialan.
SD Al-Fakri lumayan ternama. SD favorit anak orang kaya, bisa dibilang—juga SD orang pintar, kalau ada. Untuk membayangkannya, cukup tambahkan kata “elit” di setiap aspek sekolah itu: sekolah elit, fasilitas elit, guru elit, kantin elit, bangunan elit, perpustakaan elit, lapangan elit, lantai elit, toilet elit, tong sampah elit, comberan elit, dan tentunya ... siswa-siswa elit.
Setidaknya, mereka senantiasa menjaga kebersihan dan kerapian dengan mengenakan seragam wangi, mulus, dan bersih setiap hari.
Karena tiap semester para orang tua membelikan seragam baru, kata “kekecilan” atau “kedodoran” merupakan bahasa asing di sana. Rambut ditata habis-habisan, dirawat di salon-salon elit—jangan pernah lupakan soal “elit”—oleh penata yang elit pula. Bila diterpa sinar matahari, rambut-rambut itu hendaknya berkilau bagai berlian, menyilaukan. Dalam berjalan pun mereka elit, seolah melangkah di atas kaca—begitu hati-hati, begitu anggun.
Sekarang, mari bandingkan: Al-Fakri, umur sepuluh tahun.
Singkatnya, dia lawan dari kata elit. Mau ditilik dari mana pun, dia cuma bocah bau biasa—kalau tidak lebih rendah. Al-Fakri adalah tipe anak yang ingusnya jarang absen dari hidung. Pakai seragam berwarna pudar dalam kombinasi tak imbang—baju kebesaran sementara celana kekecilan. Rambutnya acak-acakan, macam semak-semak di empang. Sekali-sekali dicukur oleh ibunya sendiri kalau beruntung, oleh kakaknya kalau sial; seringnya, sih, oleh satpam waktu ada razia. Lebih cepat dan hemat. Oh ... benar juga—Al-Fakri tak pernah keramas lebih dari seminggu tiga kali, dan salah satunya pakai tanah liat alih-alih sampo.
Dalam sekali tengok, kau bisa menemukan Al-Fakri bahkan ketika dia dicampur aduk di antara ratusan murid lain. Dia punya mata cekung, soalnya; macam pecandu kecubung. Dia juga punya tas selendang yang bututnya bukan main, penuh tambal dan kaya noda. Bila kau bertemu dengan Al-Fakri yang jalan di aspal waktu siang bolong, bersiaplah untuk mendengar jeritan. Maklum, sol sepatunya tipis macam daun, berlubang di sana-sini pula.
Seolah belum cukup kejam, beban Al-Fakri lebih berat ketimbang teman-teman sekolahnya. Walau bagaimanapun, dia adalah calon pasukan tempur akademik Indonesia. Dia dididik untuk senantiasa menggunakan bahasa Kaum Roti dalam menjawab soal ujian, diberi tugas dua kali lebih banyak, dan diberi toleransi kesalahan dua kali lebih sedikit.
Al-Fakri adalah bocah jelek yang mengenaskan. Dia sering dijahili anak-anak lain, baik laki-laki atau perempuan, sama saja. Meski begitu, dia tak pernah kena palak. Bukan sebab dia ditakuti preman, hanya saja, dia cuma asli tak punya uang buat dikasihkan.
Al-Fakri adalah makhluk yang menggelikan. Dan orang yang paling tahu betapa menggelikannya dia adalah Al-Fakri sendiri. Tiap pagi, tiap senja, dia berdoa, ingin dilahirkan kembali sebagai orang lain. Seseorang dengan tampang rupawan ... seseorang dengan harta berlimpah ... seseorang yang dicintai.
Seseorang yang beruntung.
Satu hal lain soal Al-Fakri adalah ... dia makhluk gampangan. Oh, coba lihat saja dia. Sembari duduk layaknya orang tolol di bangku paling belakang, Al-Fakri tak pernah bisa menahan godaan untuk curi-curi pandang ke samping. Ada bidadari di sana, seorang siswi berambut semu merah dengan senyumnya mirip mentari pagi yang baru nongol.
Panggil dia Vania Ritama (nama samaran).
Sudah merupakan rahasia umum kalau Al-Fakri menyukai Vania .... Tidak. Salah! Itu bukan rahasia sama sekali! Al-Fakri itu orang tenar (dengan cara yang salah), dan seantero sekolah kerap mengejek, bilang kalau dia tak tahu malu karena suka Vania. Kebanyakan pelakunya anak laki-laki, tapi anak perempuan—walau sedikit—lebih mengerikan.
Pernah suatu hari Vania menangis. Si gadis jelas jijik dan muak karena terus dijadikan bahan ledekan, dibilang pacar Al-Fakri. Siapa yang tidak? Teman-teman Vania minta Al-Fakri datang ke belakang sekolah sepulang nanti. Al-Fakri merinding sendiri, memutuskan buat kabur. Sayang ujung-ujungnya dia teringkus juga.
Beramai-ramai, Al-Fakri diseret macam maling kepergok massa, dihina, diejek, lalu dilempar ke kali. Dia hanyut. Al-Fakri jarang makan, dan gizi yang sedikit itu habis pula dibakar otak—tubuh Al-Fakri mana ada dagingnya, kurus luar biasa. Dia payah dalam segala bentuk kegiatan fisik; kecuali berjalan, mungkin.
Untunglah dia selamat, tersangkut di akar tunggul pohon yang kebetulan roboh. Al-Fakri keluar dari sungai, tubuh basah dari pakaian sampai isi perut.
Dia duduk memeluk lutut di pinggir kali, menangis macam anak perempuan patah hati. Tak ada yang datang menolong. Sementara ingus mengalir tiada henti layaknya mata air zamzam, Al-Fakri mengeluarkan semua isi tasnya untuk dijemur. Tak ada satu pun yang selamat. Dia makin merengek saja waktu membayangkan amukan sang ibu menanti di rumah.
Ibu Al-Fakri galak luar biasa. Wanita itu macam Godzilla tatkala murka—menyemburkan gelombang radio aktif nuklir dengan punggung berduri-duri yang gemerlap. Sampai sore menjelang, Al-Fakri masih juga terisak-isak di tempatnya, memikirkan cara bunuh diri paling cepat dan tak menyakitkan.
Helium, ingat Al-Fakri. Tutup kepala dengan kantong kresek, masukan selang dari tangki helium, duduk manis, dan tada! Kematian tenang macam tidur. Tapi di mana dia bisa dapat helium sebanyak itu? Tukang balon yang sering muncul di kondangan?
Gagasan ngawur itu menguap hilang. Seseorang menepuk punggung Al-Fakri. Bapak-bapak. “Laki-laki tidak menangis,” ujar si pak tua. “Laki-laki ngamuk.”
Perkenalkan. Orang tua bermantel butut ini—orang tua bodoh, beloon, tololnya minta ampun, nyaris masuk kategori idiot, goblok, tapi periang kendati diburon seratus kubu—adalah makhluk tak bertanggung jawab yang menciptakan Al-Fakri. Namanya ... Mr. X ... kalau tak salah (pasti salah).
Tangis Al-Fakri meledak sejadi-jadinya. Walau yang si pak tua katakan barusan begitu seenak udel, Mr. X bukanlah jenis orang tua galak yang bisa menyemburkan gelombang radio aktif nuklir dari mulutnya dengan punggung berduri yang gemerlap. Dia bukan Godzilla. Dia tak pernah memukul anak-anaknya dengan lidi; tak pernah mencuci mereka di sawah; tidak pernah pula mengelem wajah Al-Fakri ke buku.
Kenapa kita miskin? Tanya Al-Fakri. Kenapa kita melarat? Aku gak suka jadi orang susah. Tak enak rasanya. Benar-benar menjengkelkan. Benar-benar goblok.
Mr. X menimpali dengan tergagap, kalau rasa-rasanya dia pernah mendengar sesuatu pepatah soal manusia terlahir setara. Al-Fakri lahir di keluarga tak berada, tapi setidaknya, dia punya otak cerdas.