Detektif Palsu: Fail Romansa si Antibetina

Zangi al'Fayoum
Chapter #24

9

FAKRI

AKU BERTENGGER DI PAGAR BAJA Jembatan Tawas, sendirian di antara segerombolan pasangan, tangan mengangkat mantel usang. Angin gunung datang berhembus dari Perbukitan, mengibarkan kain butut itu layaknya panji-panji. Robek lebar menganga dengan laparnya.

“Pengen mantel baru, njing ...,” keluhku lirih. Ini mantel memang sudah tua luar biasa. Dipakai Ayah semasa dia baru menikah dengan Ibu, dan ketika itu pun sudah bekas pula. Aku tak tahu kisah lengkapnya, tapi konon, Ayah dipaksa supaya menikahi si Kaisah yang garang. Dia kabur, jadi buron, dan dalam pelarian penuh kisah heroik konyol, dia dapat mantel ini dari seorang kakek-kakek petapa botak yang bisa mengendalikan udara. Konon. Aku lebih curiga ini hasil colong.

Angin kembali berkelebat. Sesuatu jatuh dari saku mantel yang kena sobekan. Buru-buru aku menyambarnya, kira itu uang—rupanya bukan. Itu foto.

“Ngapain orang jones nongkrong di mari?”

Aku mengangkat pandangan. Zakir muncul entah dari mana, cengiran menjengkelkan tersungging di mulut. Seorang gadis membuntuti di belakang, rambut sebahu, tubuh kecil. Anak SMP. Aku yakin. “Paedofilia?”

Kacamata si gigolo jatuh ke hidung. “Anak kelas tiga, goblok!” dia mendesis, mulut tepat di telingaku. Si gadis bersembunyi risih di punggung pacarnya—ralat—pacar barunya. Baru dua minggu kemarin Zakir bawa cewek kuliahan ke rumah.

“Tiga SMP, kan?”

“Umurnya cuma beda satu tahun denganmu!”

“Iya, kalo denganku.” Aku mengedik. “Denganmu? Satu abad?”

“Kau lebih jompo ketimbang aku! Lupa?”

Bukan lupa, tapi ingin lupa. “Bukannya kita lagi marahan?”

“Macam cewek?”

“Kau sebar-sebar gosip gak waras soal aku.”

“Dan kau umpanin aku ke preman. Jadi impas!” Zakir menyeringai, lalu duduk di sampingku. Pacarnya menyusul. “Mau dikenalin—”

“Gak usah. Minggu depan juga ganti la—” Aku telan ulang kata-kataku, takut gara-gara dipelototi. “Ngapain ke sini? Lanjut mesum sana!”

“Sebagai sobat, aku cuma khawatir. Tampangmu macam orang yang mau bunuh diri.” Zakir mengernyit pada foto di tanganku. “Nafisa?”

“Anak Bawang.” Aku menyesap, kumpulkan ludah di dalam mulut.

“Itu aku yang foto, kan?” Zakir tergelak. “Dia ngamuk abis-abisan waktu tau. Kenapa masih punya? Masih simpan harapan?”

“Keselip di saku mantel.” Ludah sudah terkumpul penuh, tapi begitu aku memulai aba-aba tembakan, aku berhenti—menelannya balik. Macam sirup dari neraka rasanya. “Sampe kucel begini. Pasti ‘dah kecuci beberapa kali.”

“Kirain mau diludahin—macem dulu.”

“Dan buktiin aku masih suka dia?” Aku melepas foto itu dan membiarkannya terbawa angin, melayang ke Sungai Tawas. Membuangnya seolah-olah itu cuma kertas biasa. “Minggat sana kalian berdua!”

“Kau kali yang minggat, dasar jones.” Seringai melebar di wajah Zakir; begitu lebar sampai-sampai kuharap mulutnya sobek gara-gara itu. “Atau barangkali kau bukan jones lagi ....”

Keringat dingin membulir di pelipisku. “Gimana?”

“Kenal gak sama anak IPA 1? Haina Amarta, namanya.”

Oh. Itu, kah, nama lengkapnya? “Kau asli buat susah aku sama gosip keparatmu, utamanya waktu kau pake bilang aku suka dia, tapi jangan bilang kalo kau percaya sama kibulanmu sendiri?”

“Gak. Aku yakin yang di belakang perpus itu cuma salah paham.”

Dan kau menyebar kesalahpahaman tadi seolah-olah itu kebenaran. Dasar bangsat.

Lihat selengkapnya