FAKRI
AKU MUNGKIN MUDAH MELUNAK di bawah tipu daya air mata dan pesona betina. Tapi di hadapan kekerasan, aku getas bukan kepalang, lebih baik patah ketimbang bengkok. Kalau ibuku kira aku bakal mangut-mangut hanya karena diancam, berarti dia tak paham apa-apa soal putranya. Daripada minta gadis itu datang, lebih baik aku makan lumpur sawah.
“Kau gigih buat hal gak guna,” komentar Zakir. Kami sedang di sawah yang baru ditanam, memancing belut. Matahari sudah tergelincir dari puncaknya dan menjelang waktu petang. “Aku mikirnya, sih, gampangan ajak Haina main ke rumahmu. Bawa juga anak lain biar enggak malu. Tak bakal jadi masalah.”
Bawa beberapa orang ke rumahku? Kau waras? Bisa mati sesak mereka saking sempitnya. “Bacot. Belutnya pada kabur, nih!” Aku menarik benang pancingku. Seekor kepiting muncul, menjepit ujung kail.
Zakir meringis. “Gimana kau bisa sadar?”
“Apanya?”
“Pacarku temannya Hau-Hau?”
Aku mendesah, memperbaiki letak miring topi caping usang di kepalaku. “Pertama, aku tau kau ngumpetin sesuatu.”
“Gara-gara memulai pagi dengan kibulan?”
“Bukan. Kau senantiasa memulai pagi dengan kibulan, lagian.” Aku membuka-buka catatan kecil di tangan. Deretan kosakata Inggris tertera dalam tulisan kecil-kecil yang jelek. “Orang normalnya panik waktu diculik, tapi kau masih juga sok tenang. Kau punya sesuatu yang ingin disembunyikan. Aku coba pancing-pancing, bilang kalau aku tau rahasiamu: kau mamam itu.”
“Monyet ...” Tatapan Zakir berubah jahanam. “Jadi, yang waktu pagi-pagi itu jebakan ....”
“Kau sendiri suka jebak anak gadis orang, kan? Sekali-sekali kau perlu rasain sendiri, kirain aja itu otak jadi lebih punya empati.”
“Okeh, okeh. Terus? Kau tau aku umpetin sesuatu, jadi?”
“Jadi aku mikir: apa? Kau mamam umpanku gesit banget; kau tau kalau kemungkinan besar aku emang tau. Jadi, pastinya ‘ni dilakuin deket idungku.” Aku bersin. Ludah menciprat ke kertas. “Untung belakangan ‘ni kita jarang ketemu. Jadi, perhatianku langsung fokus ke kejadian semalem.