HAINA
“NA?” TANYA YUSIK. Pagi itu kami baru berangkat buat belajar kelompok bersama anak-anak kelas. Rumahku belum selemparan batu jauhnya di belakang.
“Berisik, eh!” Aku melirik sekeliling, tangan menutupi mulut. “Apaan?”
Mulutku bergerak sendiri mengikuti omongan Yusik, “Bisa kita ketemuan sama cintamu, Na?”
Aku menggulirkan bola mata. “Enggak. Dia gak ikutan. Dia beda kelas sama kita.”
“Percuma, dong, kamu kejar dia sampai ke SMA-nya, Na?”
“Hus! Jangan bilang begitu, ih!”
“Kamu mah macam gak ada laki-laki lain di dunia. Banyak, kan, orang yang lebih asik? Haril, misal? Riziq? Asfi? Atau ... Zakir?”
Benakku langsung diisi sosok anak lelaki dengan kacamata. “Wajahnya enak diliat, badannya tinggi, sikapnya manis, tapi dia playboy. Kecium banget dari baunya.”