FAKRI
EMPAT HARI TERLEWAT semenjak kunjungan celaka ke Perpustakaan Panjang. Aku sedang mandi kala itu, tangan meraba-raba sekitar mencari sabun, sampo, atau apa pun yang berbusa. Ada sabun colek, memang berbusa, tapi jelas aku belum segoblok itu.
“Enggak ada, kan?” Kepala kakakku muncul di puncak dinding pancuran.
Aku menjerit. “Malu sedikit kenapa, goblok!”
Nita si Sahabat Satwa mengabaikanku, Brutal anjingnya melolong di suatu tempat—macam serigala. “Barusan pas aku mandi masih ada sisa seujung jari, tapi baru juga aku gosok pantat, eh ... udah abis.”
Pantas dia sedari tadi garuk badan melulu.
Kakak mengedikkan kepala. “Minta ke Ibu, gih!”
“Ogah! Bisa liat enggak, sih! Aku lagi telanjang ini! Yang ada Kakak aja, gih!”
Kakakku cemberut. “Ogah.” Sebenarnya, bukan berarti Ibu bakal ngamuk andai kami minta dibelikan sabun sama sampo. Kaisah bukanlah jenis manusia biadab yang mengembangbiakan jamur, kuman, dan daki di tubuh anak-anaknya. Keengganan kami datang dari keseganan. Ibuku jarang punya uang lebih, tapi yang paling parah ada hari-hari di mana dia tak punya sama sekali. Tidak bahkan untuk sekadar beli sabun dan sampo.
Aku benci lihat wajah muramnya ketika dia tak bisa mengabulkan permintaan sederhana kami. Seolah dia merasa tak becus jadi orang tua. Tak begitu, tentu saja. Kaisah adalah ibu paling gigih di muka bumi.
“Mau aku gosok pakai ini?” Kakak mengangkat sabuk kelapa di tangannya.
Dia kira aku ini kerbau, rupanya. Aku mengabaikan si gila ini dan menyiram diri dengan air dingin habis-habisan. Salah satu kelebihan dari pelepasan diri terhadap lawan jenis adalah kau boleh-boleh saja peduli setan dengan bau badanmu.
“Ah. Kecil begitu,” cemooh kakak.
Ini gara-gara dingin, kampret! Menciut! Aslinya lebih besar ketimbang Zakir!
“Lagian kamu ngapain, sih, pake mandi segala?” Kakak garuk kepala, rambut mengembang tak jelas rupa seumpama tarzan betina. Nah, dia memang tarzan, walau aku agak ragu soal yang betina itu. “Hari Minggu, kan?”
Sejenak, aku termenung. Benar. Kenapa pula aku mandi? “Kepalaku lagi enek,” dalihku, tak sudi barang seujung jari pun mengakui kebenaran omongan Kakak.
Usai mandi jadi-jadian, aku menyeka diri dengan handuk terkutuk. Benda itu sudah ada bahkan ketika aku masih kencing lepas tangan. Berapa tahun yang lalu itu? Yang jelas, kainnya sudah tipis dan terulur di sana-sini. Helaian dan serpihan benang tersangkut di wajah kala aku menggosok kurang sabar.
Kelihatannya memang tak ada barang waras lagi di rumahku.
Aku membongkar kardus pakaianku dan mengenakan mantel Ayah, kemudian mengambil tas dan mengisinya dengan perbekalan plus sejumlah buku sekolah. Kudapati rumah kosong, Ibu hilang entah ke mana. Mungkin belanja kebutuhan menjahit; mungkin antar barang ke pelanggan.
Begitu keluar dari rumah, Zakir muncul menyambutku. “Ke mana?” tanyanya sembari menguap. Matahari sudah naik dan dia masih ngantuk pula. Pasti habis begadang dengan salah satu korban malangnya.
“Cari sayur.”
“Di pasar?”
“Di hutan.”
“Oh.” Tentunya anak ini sudah terbiasa dengan kultur pemburu-perambu keluarga Kaisah yang mengeksploitasi alam secara habis-habisan. “Emang di pinggir Danau enggak ada?”
“Kenapa?”
“Pengen jalan-jalan aja. Sekalian temenin.”
Aku mengingat-ngingat. Ayahku memang pernah mengenalkan sejumlah tanaman-boleh-dimakan yang tumbuh di sabuk hijau danau. Aku jarang mencari ke sana, tapinya. Utamanya di hari Minggu. Terlalu banyak orang yang mondar-mandir.
Zakir mengodok sakunya, lidah terjulur ke samping dan mata bergulir ke atas. “Ah. Aku punya permen—”