FAKRI
“HAY,” RIHMA MERENGUT. “Kamu punya kaca di rumah?”
Si Toge gelagapan. “Eeh ... emang kenapa?”
“Itu topi jelek banget, tau gak? Kaya topi tukang mancing! Mungut di mana?”
“Hus!” Haina meraih ke topi bundar kelabu yang bertengger di kepalanya, pinggiran menggelepai lemas dengan tali pengaman disimpulkan di belakang kepala. “Topi ini punya kenangan berharga buat Haina—”
Haina nyaris tersedak, mata melotot pada kedatanganku. Penasaran, kedelapan kepala lain di meja itu mengikuti arah mata Haina ... lalu melotot juga. Beberapa bahkan sampai memucat wajahnya. Ekspresi mereka seolah berseru serempak tanpa kata, “Ampas! Datang tak diundang, pulang tak diantar! Jelangkung!”
Aku membalas sambutan hangat (atau panas?) itu dengan seringai ternista yang kupunya. “Halo, guys.” Efeknya luar biasa, pemirsa. Sejumlah orang tampak nyaris muntah karenanya.
Lady B berlari menghampiri meja kafe, wajah menampakkan ekspersi penyesalan yang mendalam. Aku sampai bisa mendengar suara hatinya yang berkata, Maaf, teman-teman, aku bawa setan ke sini. Hahaha!
“Kri, Kri? Stop.” Zakir menepuk bahuku. “Kasihan mereka.”
Enyahlah kau, Muncikari Mata Empat!
“Lagi belajar kelompok?” tanya sobatku, coba menampilkan senyum paling menawannya. Efeknya saling mematikan dengan seringaiku. “Fakri bisa bantu. Dia dapat ranking pertama seangkatan di UAS kemarin, tau?”
“Tau pun,” balas KM Rihma kecut. “Nilai sempurna, eh? Seratus seratus? Sesekolah tau.”
“Terus kenapa enggak diajak? Kasihan.”
“Haina yang minta.”
Si Toge membelalak, menyikut panik si KM. Oh ... begitu, ya? Kualihkan seringaiku pada gadis itu. Cantik dan manis macam biasa—mengganggu macam biasa. Penampilan kasualnya buat mata pedih gara-gara kelewat silau. Dengan kemeja cokelat menggantung komprang di badan, kerah dan lengan dijepit kancing besar, rok lipat miring menyapu lutut.
Mata lebar Haina menyapu mataku, dan seketika dia terpekik. Selama empat hari setelah kunjungan ke Perpustakaan Panjang, dia selalu coba menjauh dariku. Berpaling ketika kupandang, kabur ketika kupanggil, menjerit ketika kukejar. Aku barang setahi kuku pun tak keberatan—senang malah.
Senang luar biasa ... asalkan dia menuntaskan dulu urusan terakhirnya denganku.
“Kenapa?” Zakir mendesak kepo. Kendati wajahnya menampakan ekspresi memelas, matanya jelas berkilat-kilat bahagia. Gosip. Makhluk neraka yang satu ini adalah pelahap gosip dan isu—serupa denganku yang melahap kebencian dan derita anak-anak manusia.
“Tau,” balas Lady A, mata menyipit. Dia membelai kawannya Lady B yang masih belum pulih dari keterpurukan. “Yang jelas dia pasti udah buat dosa ke Haina. Dasar berengsek.”
Aku tergelak histeris, nyaris membuat kesepuluh orang di meja kafe itu menghambur kabur.
“Fakri, koplok! Sembunyiin dulu bulu setanmu, setan!” Zakir mendesis, wajah merah karena terdera malu. “Pantes juga gak diajak kalo begitu caranya mah!”
“Songong banget, sih, situ?” sungut salah seorang laki-laki ... siapa namanya? Entah kenapa wajahnya tidak asing .... Oh! Wakil KM. Konyol. Kenapa pula kita butuh wakil pimpinan buat organisasi sekecil “kelas”? Jabatan itu tak bakal banyak gunanya.
Terbukti dari aku yang nyaris lupa siapa dia.
“Jangan begitu, Asfi,” cicit Gina. Gadis itu mencuri-curi pandang padaku dengan takut-takut, tapi kelihatannya tulus betul membelaku. Tak heran. Aku pernah menutupi bokongnya sekali. “Fakri mau duduk dulu?”
“Gin! Kamu mabok, ya?” Ela si Jalang merepet, wajah merah. Dia dendam kesumat gara-gara pernah kuludahi.