FAKRI
AYAHKU MAMPUS GARA-GARA jadi bulan-bulanan massa. Aku tak diizinkan lihat jenazahnya, tapi kudengar hancur parah sampai-sampai ibuku sendiri—wanita yang macam ratu iblis itu—menjerit histeris. Lama kemudian aku coba tanya, tapi Ibu bungkam seribu bahasa—pun sama saja dengan Kakak. Tetangga bergosip, sayangnya. Mereka bilang kalau nyaris semua tulang Ayah patah. Organ dalamnya pecah, darah luber dari mulut dan bokong. Kepalanya remuk dan penyok, satu mata menjorok nyaris keluar.
Hari ini, aku hampir mengulang sejarah.
Sambil merintih dan mengusap lebam di bokong, punggung, dan kepala, aku berjalan enggan di belakang si Toge Haina. Gadis itu menarik perut kaosku hingga batas elastisitasnya, begitu kasar sampai-sampai hampir menyentuh area plastisitas.
Apa perbedaan elastisitas dan plastisitas? Jadi begini ... anjing kalian. Cari saja di Google.
“Ya Tuhan,” sumpah Rihma begitu kami masuk kafe. “Habis ... habis ngapain kalian? Keringetan begitu ....”
Karena Haina sedang cemberut sampai pipinya bengkak parah, aku ganti menyahut, “Main kucing-kucingan.”
“Macam di film cinta India?”
“Bukan. Macam di film horor Thailand.”
“El? Ada tali?” tanya Haina. “Haina pinjam satu. Cepetan.”
Aneh dengan nada bicara si Toge yang jelas menyiratkan murka, Ela bergegas masuk ke rumahnya di balik konter kafe. Kembali-kembali dia membawa tambang tebal yang biasa dipakai untuk mengikat perahu. Haina menjerat leherku dengan itu.
Oh ... yah. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku diikat macam kambing yang hendak dijagal.
Rihma kembali bersungut (yang lain terlalu terpana oleh pemandangan ini), “Sumpah! Ada apaan, sih! Kenapa si Fakri diikat begitu! Hay! Tadi kamu lari kenapa! Zakir ke mana!”
Haina cuma menjawab pertanyaan terakhir, itu pun dengan masam. “Kecebur di danau.”
“Gimana!”
Rihma bergegas keluar, membawa serta Wakil KM dan dua anak laki-laki lain bersamanya. Aku membau sebuah kesempatan. “Na, kayaknya aku harus pergi juga,” cetusku. “Aku khawatir sama Zakir.”
“Kamu ...” Haina memaku pandangan di buku yang tengah dia buka, pensil mekanik dituding ke hidungku, “... diem di sini.”
“Tapi—”
“Diem di sini.”
“Adik Zakir nanti—”
“Diem di sini.”
Aku pun menyerah. Nah, saudara-saudara, belajarlah dari pengalamanku ini: jangan main-main dengan buku catatan seorang perempuan. Aku tak heran kalau pernah ada pria yang dibantai gara-gara hal itu di dunia ini.
Sepuluh menit aku duduk diam di kursi macam patung orang konyol. Pasukan Rihma kembali dengan tangan hampa, tak menemukan jasad Zakir di mana pun. Kasihan betul sobatku. Tentunya dia disantap makhluk-makhluk neraka yang melata keluar dari dasar tak hingga Danau Tawas.
Kala kesepuluh orang itu coba melupakan keberadaanku yang ganjil bukan main dengan mengobrol, aku angkat bicara, “Na, dasiku, Na.”
Si gadis diam saja. Kampret. Aku tak berani bersuara terlalu keras, takut mengundang dugaan yang aneh-aneh dari anak manusia di sekelilingku. Maksudku ... ampas. Kondisi macam apa pula yang membuatku ketinggalan “pakaian” pada Haina?
“Kalau gitu lepasin aku, kenapa?” keluhku, meraih salah satu buku bank soal dan memindai halamannya secara cepat. Isinya pada salah. Hadeuh .... “Buku catatan kamu ‘dah balik, kan?”
“Kamu pasti inget seenggaknya satu halaman, kan?” Haina mendelik, pipi kembali bengkak. “Haina gak bakal lepasin sampe kamu ilang ingatan.”
“Kutu kupret, Na. Yang waras aja. Manalah aku inget itu coretan ceker ayam!”
“Haina enggak percaya,” cibirnya. “Al tukang bo’ong.”
“... ujar si Ratu Ngibul.”
Haina menusuk tanganku dengan pensil mekanik. Buset, dah. Ini tak adil. Kenapa aku yang minta tolong duluan, tapi dia yang dibantu pada akhirnya? Kenapa dia boleh sakiti aku sementara aku tidak boleh bahkan barang menyentuhnya? Bukannya wanita itu adalah kaum tertindas yang mesti dilindungi? Entah kenapa aku merasa sebaliknya.
“Orang lain pada belajar, eh!” si Toge menghardik, bibir mengerut ke atas. “Jangan berisik! Kamu ikut belajar sana! Bawa buku, kan?”
Aku meraih tasku secara intuitif. Ampas. Dari mana dia tahu itu? Ngeri.
Seolah dapat mendengar suara hatiku (macamnya memang begitu), Haina memutar bola mata raksasanya. “Orang liat kali, Al.”
Lihat apaan? “Gak, makasih.” Aku melirik lingkungan sekitar. Aku punya ekspektasi buat lihat pemandangan sunyi di mana tiap-tiap orang dipaku keningnya ke buku. Aslinya, aku malah disuguhi adegan bising di mana orang saling ganggu. “Gak fokus kalo keroyokan.”
Haina memajukan wajah dengan begitu menjengkelkan. “Sok!”
Anak kampret. Aku menjatuhkan punggung ke kursi, tangan iseng mengintip jilid bank soal si orang tolol tadi. Nama si Toge tertulis dalam huruf sambung rapi pada kolom identitas. “Na, aku baru tau kalau kamu ini bodo.”
Haina merona, tangan menyambar buku yang masih kupegang. “Ish! Haina enggak bodo-bodo amat! Cuma ... kurang persiapan ... akhir-akhir ini ....”
“Kebanyakan pacaran?”
“Bukan, dodol! Al diem, ah! Makanya Haina belajar juga!”
Meh. Kenapa sensi begitu? Amit-amit.
Sepuluh menit yang lain terlewat, dan aku merasa akar mulai tumbuh dari liang duburku. “Begini aja, gimana? Aku ajarin kamu buat hari ini, tapi lepasin dulu tambangnya?”