FAKRI
AKU KELUAR DARI TOILET dengan langkah gontai. Cuma itu? Oh Tuhan. Buntu sudah. Sakit-sakit aku pakai darahku sebagai pena, susah-susah kuputar otakku, repot-repot aku urusan dengan si Toge. Hasilnya cuma apa, coba? Lima puluh lima baris doa sinting kurang kerjaan dan faedah.
Bangke.
Kukira isinya sesuatu yang lebih penting. Rahasia. Pengakuan cinta, misal? Identitas gebetan legendaris Haina? Pengakuan dosa? Kata-kata alay? Tempat menyembunyikan harta karun?
“Al? Udah?” tanya Haina. “Kenapa lemes begitu?”
“Keluarnya cair.”
Si gadis merona. “Jangan bilang-bilang, ih! Jorok!” Dia bergegas berbalik dan lanjut jalan. “Ayo, ah!”
“Na?”
“Iya, Al?”
“Kenapa mesti genre fantasi?”
Si gadis berbalik dan menamparku.
Sakit. Aku mengusap wajah. Ini bukan kali pertama aku ditampar. Ketika SD, aku sering mendapatkannya dari anak-anak perempuan yang jijik padaku. Tapi tetap saja aku tak pernah bia—Hei! Aku berhasil?
Begitu harapan membumbung di hatiku, Haina jatuh melutut dan menangis.
“....” Nah. Itu curang. Kenapa kau selalu main curang?
“Al ... Al jahe!” isak si gadis, menggosok matanya yang kini basah betul. “Enggak sopan! Resek! Haina bilang jangan dibaca pun! Jahat! Haina benci Al!”
Aku melirik sekitar dengan panik, mendapati dua-tiga orang lewat yang menonton kami penuh perhatian. Bahaya. “Berdiri, bleh! Berdiri!”
“Ogah!”
“Buruan! Orang-orang pada nonton!”
“Biarin!”
Haram jadah. Dia menjengkelkan. “Ngapain kamu pake nangis segala, bodo!”
“Al yang bodo!”
“Maaf! Aku minta maaf!”
“Enggak mau!”
Oh, Tuhan! Beri hamba kemampuan untuk memahami isi hati wanita, kenapa! Aku merenung sejenak, menatap langit dan memohon ilham turun. Sepuluh detik berlalu, dan pikiranku mencapai sebuah konklusi: Kabur, kuy!
Aku berbalik, melesat kencang bagai angin, bergerak gesit bagai setan, lalu tersentak, tercekik dan jatuh pula. Ah, benar. Tolol. Leherku masih diikat pun.
Aku kembali menghampiri Haina dan duduk bersila di hadapannya. “Kau kenapa, sih? Gara-gara apa nangis, coba?”
“Gara-gara kamu!”
“Malu cita-cita kamu diliat orang?”
“Bukan ... bukan begitu, jahe geprek!”
“Terus kenapa?” Tak ada jawaban, jadi terpaksa aku melecut 80 miliar neuronku dalam mode turbo. Kepalaku sakit, perutku lapar, dan hatiku jengkel. Charles Darwin. Tanpa kuduga, jawabannya sama sekali tak jauh. Bank soal si orang tolol. “Nilaimu turun gara-gara itu, Na?”
Si gadis mendongak, mata merah menatapku kaget. Pelan-pelan, dia mengangguk, ragu.
“Gara-gara kebanyakan nulis?”
Anggukan lagi.
“Bukan pacaran?”
Haina menggebukku dengan telapak tangan kecilnya. “Al sumpah mati nyebelin, iih!”
Sedikit-sedikit aku agak paham kenapa Haina minder soal cita-citanya. Maksudku ... jangankan fantasi, pembaca genre terpopuler pun masih tebilang jongkok. Merupakan hal naif untuk bermimpi menjadi penulis fulltime di Indonesia ... terutama di genre fantasi.
Fantasi itu ... yah ... selain tebal, berat, berjilid-jilid, juga butuh familiaritas dengan khayalan superiornya. Utamanya jenis epik. Pengarang yang coba mencekoki bangsaku dengan trilogi kepahlawan adalah pengarang yang hidupnya penuh kesia-siaan.
Dan jangan lupa karakter bahasa Indonesia yang boros huruf. Penerbit bakal butuh modal besar untuk mencetak cerita dalam bahasa ini.
“Aku pengen jadi orang lain,” Haina melantur. “Lahir di negara lain, besar di negara lain. Pasti enak jadi pengarang di sana. Banyak pembaca. Dihargai. Pasar gak lagi buat seniman; seniman yang buat pasar.”
Aku merengut. “Jangan ngomong begitu, asem.”
“...?”
“Banyak orang yang pengen lahir jadi dirimu.” Aku misalnya. Siapa yang tak mau jadi orang cantik dan disukai orang? Aku tak keberatan ganti kelamin kalau memang perlu—asal kecenderungan seksualku juga sama-sama ganti. “Gak sopan pada mereka.”
Haina mendongak, menatapku, lalu merona. Ampas! Apa suara hatiku keluar lewat wajah? “Ini mungkin satu-satunya kesempatan Haina, Al,” cetus si gadis, curhat tanpa ada yang tanya. “Cuma dua bulan lagi. Haina gak punya waktu. UTS ganggu banget.”
Dia bicara apa pula? “Suka banget ngarang, macamnya.”
Haina mendongak, wajah kembali merona, kali ini lebih parah. “Cinta.”
“Gimana?”
“Cinta. Haina cinta, cinta, cinta, cintaaaaaaaaaaa luar biasa setengah mati sama nulis.” Bibir Haina gemetar, tapi matanya menatapku dengan nyalang. Seolah dia malu, tapi coba membakar api dengan menantang. “Al, kamu juga pasti malu buat ngaku apa yang kamu suka banget. Bukan suka biasa—tapi suka banget. Cinta. Hal yang paling kamu sayang.”
Aku mendengus. “Konyol. ‘Aku cinta duit’—nah.”
“Semua orang suka uang, kali, Al.”
“Cuma ‘suka’. Beda denganku. Bagiku, gak ada yang lebih berharga ketimbang duit.”
“Rela kasih lima puluh tahun umur kamu buat uang?”
“Yo’i.”
Haina menyipit, kian curiga alih-alih percaya. “Al, asal kamu tau—kamu gak bisa bawa uang ke kuburan.”
“Bukan buatku,” timpalku. “Buat ibuku.” Aku memejamkan mata sejenak, membayangkan di sisa umurku yang pendek, aku akhirnya bisa memberikan sesuatu pada Ibu. Aku mengangguk. Memang layak, macamnya.
Haina menggaplok lututku. “Kamu bukan cinta uang kalo gitu, mah! Kamu cinta ibu kamu!”
“Hah?” Aku merasa api naik ke wajahku. Aku? Cinta ibuku?
“Bukan uang yang kamu anggap hal yang paling berharga, tapi ibu kamu!”
Apah!
“Nah, kan? Malu?”
Aku bungkam seribu bahasa. Lebih baik aku menari telanjang sambil koprol ketimbang mengakuinya. Maksudku ... tentu aku suka ibuku. Dia yang melahirkanku, membesarkanku, merawatku. Dan jangan lupa kalau aku ini masih mamalia—hukum evolusi membuat binatang jenis ini memiliki naluri untuk selalu dekat dengan induknya. Tapi kalau ... uh! Haina mendesis judes, bola mata berputar.
“Begini aja,” aku berdeham. “Aku kasih kau motivasi berkualitas tinggi. Gantinya, kau balikin dasiku sama lepas ... ini tambang sialan.”
“Kamu, Al?” Haina mengernyit. “Kasih motivasi ke orang?”
“Sadar atau kagak, aku ini bijak bestari bukan kepalang.”
Sayang Haina terlalu pandir untuk menyadari kebenaran dari perkataanku. Alih-alih sujud syukur karena bisa menerima sabdaku, si Toge malah tersenyum geli dan tertawa, mulut terbuka selebar-lebarnya. Lidah mungil dan barisan gigi kecil tampil ke dunia. Nah, setidaknya dia berhenti menangis. “Al konyol plus bego.”
Ngomong apa barusan!
“Tapi coba, Haina mau denger.”
Aku berdeham. “Ambil apa yang kau mau dan bayar.”
“Al?”
“Itu kata-kata Moraine waktu denger berita Siuan Sanche digulingkan dari Takhta Amyrlin.”
“Wheel of Time? Kamu baca Jordan juga!”
Aku mengabaikannya. “Intinya, ambil aja apa yang kau mau. Andai nanti kau kehilangan sesuatu, itu bukan berarti kau salah ambil jalan—itu cuma ongkos karcis masuk.
“Yah ... kali mimpi buat jadi dokter atau pengacara lebih keliatan bener. Kau kerja keras buat belajar, kerja keras buat dapat nilai tinggi, kerja keras buat diakui sistem akademi. Ketimbang itu, buat novel cuma kaya ... apa? Main-main? Hobi sampingan?
“Itu sama sekali gak bener. Mimpi buat jadi pengarang jelas lebih tinggi ketimbang yang dua tadi. Kenapa? Karena buat masuk universitas ternama, kau cuma perlu ngikutin jalan yang ada. Oke. Mungkin jalanannya enggak nyaman. Mungkin jalanannya terjal, nanjak, juga banyak liku—tapi tetep ada jalan.
“Mimpimu, Na? Mimpimu itu bentangan rimba liar. Kau gak ngikutin jalan—kau buat jalan. Ini bukan main-main. Ini petualangan gila yang lebih berbahaya. Gak ada sistem konyol soal nilai akademik sama ujian, gak ada buku panduan atau jaminan. Cuma orang berani, sabar, dan ambisius yang berani masukin rimba tadi. Butuh tekad, dedikasi, sama kegigihan yang gak sedikit.
“Apa mungkin kita lewatin rimba tanpa jalan tadi? Na, segala hal ada awalnya. Dan segala awal itu selalu ditentang. Awal negara, awal teknologi, awal ideologi. Kau pikir berapa hadangan yang dilewati Darwin sebelum idenya jadi akal sehat dunia cendekia? Inovator itu bukan orang rajin yang nunduk di hadapan aturan—inovator itu orang nekat yang acungin jari tengah pada aturan.
“Dan dari awal sampai ujung rimba kesusahan, itu ceritamu. Mimpimu itu muluk, susah, berat, tapi enggak konyol, bodo, atau salah. Kamu mesti tangguh, lebih dari besi dan baja, lebih dari bukit dan gunung ....” Suaraku meredup. Yang barusan itu moto dari keluargaku. Ngapain pula aku bagi-bagi dengan orang luar?
Aku menggeleng, wajah panas, tenggorokan serak. Duh, pengen mampus. “Oke. Maaf. Lupain.”
“Eh?” Haina terkesiap. “Ke-kenapa? Yang barusan itu—”
“Kelewat mengawang-awang. Yang jelas begini aja: Na, kau punya rupa cantik yang enggak ramah lingkungan. Gampang buat dirimu cari suami tajir. Kalau udah kaya begitu, kau mau fokus 24 jam sama nulis pun tak jadi masalah, toh? Nilai pelajaran gak jadi kendala barang setahi kuku pun.”
Ya, benar. Harusnya aku bilang begitu saja. Haina itu anak manusia paling beruntung dalam hidupku: cantik, manis budi, otak tak bodoh-bodoh amat, keluarga tak miskin-miskin amat, dan masa depan pun tak suram-suram amat. Tak seharusnya aku menyamakan gadis ketiban berkah macam Haina dengan diriku. Susah bagi manusia normal; mudah bagi Haina; mustahil bagi Al-Fakri. Terkadang aku suka bingung sendiri: buat apa aku lahir ke dunia ini? Sebagai cobaan bagi ibuku dan umat manusia? Sebagai pembawa azab Ilahi?
“Tangguh,” ulang Haina dengan suara lirih, “lebih dari besi dan baja, lebih dari bukit dan gunung.”
“Enggak, enggak! Kau budek, apa? Dibilangin lupain yang barusan—”
Haina tersenyum.
“A-apaan?”