FAKRI
“JADI BEGINI,” mulaiku sembari menggosok telinga. Haina berdiri di samping Ibu, menahannya dari amukan lebih lanjut. “Aku gak malak. Ini bisnis legal, Bu. Itu anak minta nasihat padaku, jadi aku pasang tarif. Kami udah deal sebelum aku minta ongkosku, jadi jelas gak ada tipu muslihat.”
“Hmm.” Ibuku mengangguk. “Oke. Aku paham.”
Aku menghela.
“Jadi menurut kamu, tagih uang ke anak perempuan cuma buat ngobrol doang itu sah-sah aja? Kirain aku yang gigolo itu Zakir, loh?”
Oh, kampret. Benar juga. Ibuku itu satu spesies dengan Rena si Mak Lampir. “Ya terserahku, lah, Bu. Dianya juga udah tau, tapi tetep aja setuju juga. Ini merupakan bukti kalau pidatoku memang amat berkualitas—”
“Balikin.”
“Okeh.” Aku merengut.
“Ih, gak apa-apa, ih!” Si Toge gelagapan. “Hai—peh!—aku ikhlas, kok, Bund—Bi.” Rona seketika menyebar di wajahnya.
“Kamu temen ini makhluk?” tanya ibuku. Betapa kejamnya. Pada anaknya sendiri pula.
Haina mengangguk ragu.
“Peduli sama dia?”
Anggukan lagi. Makin ragu.
“Kalau gitu kamu gak seharusnya biasain dia terima uang anak perempuan. Gimana kalau nanti dia jadi suami bajingan tukang porot uang istri?” Begini-begini ibuku adalah penganut faham ekonomi tipe ortodoks: Uang suami ialah uang istri, uang istri ... ya tetep uang istri, goblok. “Mau kamu tanggung jawab?”
Ada isyarat tak kasatmata dalam kata-kata ibuku. Aku tak menangkapnya, tapi Haina meledak kian merah saja. Gagap sejadi-jadinya. Pada akhirnya, Haina menarik uangnya kembali dari tanganku. Jangkrik!
Ibuku menyipit, kening berkerut. Tangannya seketika berkelebat menyentuh wajah si Toge. “Kamu abis nangis, De?”
De? Apanya yang “De”, coba? Anak sendiri disebut “makhluk ini” sementara anak orang disebut “De”. Dasar ibu-ibu kurang waras.
Ibuku mendelik padaku. “Abis kamu apain dia!”
“Bukan aku!” sergahku .... Bukan aku, kan? Aku meragu. Oh. Jangan pernah coba-coba berdusta pada ibuku. Utamanya kalau dia sedang pakai kacamata.
Ibuku menaruh kedua tangannya dibahuku. “Pilih: aku paksa atau kamu lompat sendiri?”
“Bu! Bu! Bu! Ampun, Bu! Malu, Bu! Udah gede gini juga! Ceritanya panjang—”
“Pilih.”
“Bentar, bentar!” Haina bergegas menyelipkan diri di antara kami. Kudapati sejumlah orang lewat yang menonton—beberapa bahkan mengangkat kamera ponselnya. Sialan mereka. Berhenti ambil foto dan segera panggil polisi, goblok! ”Lompat? Lompat ke mana!”
“Kali,” timpal ibuku enteng.
“Hah!” Haina mengerjap lama. Kelihatannya dia ragu kalau pendengarannya sedang sehat. “Bibi enggak boleh begitu sama Al!”
“Kenapa enggak?” timpal ... aku. Kenapa malah aku yang menyahut, sebenarnya diriku sendiri kaget. “Jangan sok-sok atur ibuku!”
Haina terbelalak. “Ish! Hai—uh!—aku cuma belain kamu! Kamu bukan barang kepunyaan ibu kamu! Kamu sendiri yang bilang kalau kita mesti bebas dari orang tua kita!”
“Bacot! Kau tau apa? Kau tau apa aja yang dilakuin ibuku buatku? Aku utang besar ke dia lebih ketimbang kau utang ke ibumu sendiri! Suka-suka dia mau buat apa juga—”
Ibuku mencubit pipiku. “Jangan ngomong kasar sama anak perempuan, bego.”
Betapa membingungkan. Haina bentak ibuku, ibuku bentak aku, aku bentak Haina. Luar biasa. Fantastis!
“Bi, Al emang buat aku nangis tadi, tapi aku udah maafin—”
“Kubilang jangan atur-atur ibuku, Toge!” potongku, melempar tas, mantel, dan sendalku di aspal. “Dia bebas buat suka-suka hati dia.” Dan dengan keberanian sang iblis yang menampik perintah Tuhan, aku naik ke atas birai jembatan dan terjun.