Detektif Palsu: Fail Romansa si Antibetina

Zangi al'Fayoum
Chapter #32

6

FAKRI

“MANA DASIKU?” tanyaku begitu bel istirahat berdering.

Haina, yang kala itu tengah bicara dengan gadis di belakangnya, mendelik ke arahku. “Dasi, dasi, dasi!” hardiknya seraya angkat tangan. “Al-Fakri. Obsesi banget, sih, kamu sama dasi!”

Untuk sesaat, aku cuma melongo macam makhluk bego. “Kenapa kau yang malah marah-marah?”

“Haina jengkel sama kamu! Haina lagi bicara sama orang malah diganggu!”

Anjrit sekali ini orang. Tobat, Neng, tobat.

“Emang apa pentingnya, sih, dasi? Enggak nutupin apa-apa, kan? Enggak macam celana. Atau baju. Atau topi. Enggak ada fungsinya, kan?”

“Buat lap ingus.”

“Kamu udah enggak pilek, Al.”

“Buat lap keringet.”

“Kamu jarang olahraga pun.”

“Buat lap iler! Puas!”

Haina diam mematung, merogoh ke saku rok dan memberiku sapu tangan biru. Aku membeberkannya, mendapati peta Middle Earth tersulam di sana. Detailnya cukup mengesankan. Benang hitam dan merah digunakan untuk memisahkan garis geografi dan legenda. Kuyakin ini dibuat manual pakai tangan. “Pake itu dulu. Itu ... itu buat kamu. Hadiah.” Haina mengerjap, pipi memerah, dan dia pun kabur ke arah Rihma.

“Toge!” Aku lompat bangkit. Aku ... aku ... eh ... aku apa coba?

Aku mendudukkan diri berhubung lututku melemas, kemudian menyeka keringat yang sekonyong-konyong membulir di wajah. Ngeri banget. Yang barusan itu apa-apaan, coba? Biasanya dia memang sudah menjengkelkan, tapi kali ini beda lagi tingkatnya. Kesambet? Keracunan? Jamur?

Aku mencuri pandang, mendapati Haina yang kini main bisik dengan Rihma. Keduanya bergidik-gidik centil tak jelas, lalu terkikik. Wanita! Mereka adalah eksistensi yang tergolong ke dalam sistem kaotis level dua, serupa pangsa pasar dan politik. Mereka bereaksi terhadap prediksi sehingga mengacaukan segala pradugaan yang dibuat sebelumnya.

Sejumlah gadis merepet riuh. Ada orang masuk. Seorang siswa. Tinggi, tegap, berkacamata, dengan rambut yang disisir ke belakang. Sejumlah plester dipasang di beberapa sudut wajahnya. Zakir.

“Zakir!” sapa gadis yang duduk dekat pintu. Senyumnya begitu lebar. Orang yang tak tahu situasi mungkin akan menyangka gadis itu tengah dalam pengaruh narkotika. “Hei, tumben kamu ke kelas aku! Cari siapa? Oh! Wajah kamu kenapa, Zakir?”

Gadis malang. Pasti dia sangka Zakir hendak cari dia.

Untungnya, kendati bajingan, Zakir bukan jenis pria yang suka mengecewakan harapan perempuan. “Eh, Mia.” Dia balik tersenyum. Tuhan Maha Pengasih. Aku memang pandai berdusta, tapi Zakir lebih-lebih lagi. Kalau aku bermain dengan lubang logika, dia bermain dengan tipu daya emosi.

Maksudku ... lihat senyumnya itu. Lebar dan tulus. Dia seolah bahagia bukan kepalang bisa bertemu dengan si Mia-Mia ini.

Zakir mendekat dan berlutut di depan bangku si gadis. Wajahnya kini berada di bawah wajah Mia, menengadah dan menatap penuh perhatian. “Seneng liat kamu,” dustanya. Zakir kecanduan main-main dengan wanita, tapi tak barang sekali pun dia “mengspesialkan” satu insan saja. Singkatnya, dia tak pernah jatuh cinta.

“Aku ... aku juga ...,” sahut Mia. Dia mulai teler.

“Aku cari temenku,” bisik Zakir penuh rahasia. “Fakri. Tau dia duduk di mana?”

Aku di sini, goblok. Aku tahu kau tahu! Tak usah sok tanya ke perempuan itu, lah! Kasihan!

Mia menoleh padaku, wajah masih tersenyum. “Fakri!” panggilnya merdu. Aku merinding habis-habisan. Aku tak pernah dipanggil akrab di kelas ini .... Nah. Kecuali oleh satu orang, kali. “Zakir cari kamu.”

Ya, wahai makhluk malang. Aku menyaksikan. Dengan jelas, aku menyaksikan malaikat maut itu berlutut di depanmu. Maaf. Aku tak bisa menolongmu. Tak bisa dan memang tak mau. Nyawaku juga sama-sama terancam, pasalnya.

“Dah. Ketemu lagi nanti,” desis Zakir di telinga Mia, lalu berdiri dan menghampiriku. Aku merasa tubuhku mendingin. Kelebatan ingatan mendatangiku: Zakir berwajah bonyok, Zakir cuci muka di pinggir danau, Zakir tercebur gara-gara kutendang.

Aku melirik sekitar, mencari senjata. Terlambat. Zakir melompat duduk di mejaku. Saat ini satu-satunya benda di tanganku ya cuma peta Middle Earth-nya J.R.R. Tolkien. Kuharap aku tak hendak diutus untuk mati ke Mordor.

“Eh, Fakri,” sapa Zakir, nadanya persis seperti yang dia gunakan pada Mia.

Lihat selengkapnya