Detektif Palsu: Fail Romansa si Antibetina

Zangi al'Fayoum
Chapter #34

1

FAKRI

AKU LAZIM TIDUR EMPAT sampai lima jam sehari. Di satu sisi, karena kebiasaan belajar ala Spartan; di sisi lain, karena gen ibuku. Kakak dan ayahku lebih jago di bidang ini. Ketika mengantuk, mereka akan membaringkan diri begitu saja—di mana pun dan kapan pun—lalu molor. Pernah beberapa kali mereka ditemukan terlelap di pinggir sungai, setengah badan masuk ke air, setengah yang lain tersangkut di batu.

Seperti yang kalian tahu, kediamanku berupa rumah mungil yang bertengger di tepi sawah. Punya empat ruangan: satu ruang tengah sempit yang lebih mirip lorong—berfungsi sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, tempat jahit, sekaligus tempat nongkrong dan arena tarung Muay Thai—satu dapur mini, dan dua kamar tidur mungil. Ada juga bilik kecil di belakang rumah, dibangun dari bambu, tempat tungku batu dipasang.

Seluruh ruangan di tempatku tak ada yang berlantai keramik atau tegel—semuanya diplester semen belaka. Baik dinding luar maupun dalam dibiarkan telanjang tanpa cat, atap berupa genting kusam retak-retak yang cuma ditambal oleh lumut. Aku bisa merentangkan badan di kamarku, dan ujung tangan serta kakiku akan menyentuh masing-masing sisi tembok. Satu yang paling mengenaskan adalah jendela di belakang rumah yang disekat potongan papan tulis rongsok alih-alih kaca. Konon, kakakku yang memecahkan jendela itu. Konon dia menyundulnya dengan kepala. Aku tak tahu pasti, aku belum lahir. Banyak hal tentang kakakku yang kedengaran macam legenda, memang.

Ibuku tidur sendiri di kamarnya sementara aku mesti rela berbagi ruangan dengan Kakak, tidur bersama di ranjang tingkap. Meskipun aku adalah laki-laki puber yang memiliki dorongan seksual yang sehat, cukup ajaib wanita gila itu tak pernah memergoki proses pemenuhan kebutuhanku.

Saat itu baru pukul empat subuh—tanpa lihat-lihat pun aku tahu. Jam biologisku punya margin eror setengah jam. Aku terperanjat bangun tatkala sepasang kaki goblok menginjak wajahku dengan kejam. Kakak. Sepertinya dia baru pulang dari Perbukitan. Tangga ranjang tingkap kami sudah hancur, jadi untuk naik, dia biasa menjadikan tubuhku sebagai pijakan. Keji banget, dah.

Kusingkirkan buku paket kimia yang bertengger di dada, bergulung dan mengerang. Belasan HVS bekas tercecer di lantai—DPT pemilu tercetak di satu sisi, rangkumanku tertulis di sisi satunya lagi.

Sudah lewat sepekan semenjak UTS. Orang-orang mulai mengendurkan pola belajar mereka, tapi punyaku tetap konstan di puncak kecepatan. Banyak yang masih belum percaya, tapi sumpah, aku ini tidak pintar. Aku pelupa. Bagiku, belajar itu macam main rakit ke hulu sungai. Antara dayung dan maju ... atau istirahat dan mundur.

Di luar, hujan bergemuruh nyaring. Kutengok beberapa bagian langit-langit rumah yang melendut dan berlumut, meneteskan air layaknya stalaktit. Baskom nyaris penuh air di bawahnya, jadi tentunya hujan sudah berlangsung agak lama ketika aku kelayapan di dunia mimpi.

Cari makan, ah.

Aku beranjak dari kasur, mengusap wajah yang berdenyut, berjalan tersaruk-saruk menuju dapur. Kesadaranku baru terkumpul separuh, mata belum terbuka barang seperempatnya. Aku mengangkat tudung saji, mendapati sepotong ubi rebus, semut berkerubung menggelar pesta. Ada bekas gigitan di sana. Kakakku, pastinya. Aku tahu betul bentuk gigi makhluk itu. Gingsul tak jelas.

Ya ampun. Sungguh memilukan.

Setelah menyikat habis para semut keparat dengan susah payah, aku berjalan ke kaleng susu yang tergeletak di lantai—juga dikerubungi semut. Ah, ringan. Kucoba-coba untuk menuangkannya—kosong. Kukocok-kocok—masih kosong. Kusedot paksa—memang kosong. Kuberi jampi-jampi—kalau kosong ya kosong! Maksa banget, sih!

Tapi tunggu, wahai Al-Fakri putra Kaisah! Bukankah engkau seorang pria yang pantang menyerah? Bukankah engkau sang penyandang gelar Manusia Daur Ulang? Bukankah engkau telah bertekad untuk memenangkan pertempuran tanpa keadilan ini?

Tangguh. Lebih dari besi dan baja? Lebih dari bukit dan gunung?

Dengan tekad bulat, aku mengambil pisau dan mulai memotong tutup kaleng susu. Gesit dan tangkas gerakanku. Aku sudah melakukan ini bahkan ketika umurku baru delapan tahun. Aku master di bidang eksploitasi sumber daya, memaksa maju segala hal sampai ujung potensinya.

Huh.

Kendati demikian, “Sesuatu yang mungkin gagal pasti akan gagal—bila dilakukan secara konstan.”[1] Aku lupa siapa yang ngomong begitu, tapi terbukti, itu bukan bualan. Studi kasus: aku. Karena suatu gaya tak dikenal dan hukum fisika yang misterius, pisauku tergelincir, menyabet tangan kananku. Darah menyembur dari jari telunjuk dan jempol. Sakit.

Aku menjerit.

 

LANGIT BELUM SELESAI KENCING tatkala aku hendak berangkat. Aku benci hujan. Buat aku basah, soalnya. Jemuran pun tak bakal kering-kering. Padahal, koleksi pakaianku cuma sekardus mie jumlahnya. Andai hari ini mentari tak juga muncul, maka terpaksa aku pakai celana dalam yang sama besok—yang juga sudah kupakai kemarin.

“Bu, aku berangkat dulu ....”

Ibu mengangkat jempol ke arahku. “Kamu mau ajak gadismu buat mampir hari ini?” Begini-begini, Kaisah gemar menonton drama Korea di waktu belia. Ayahku yang cerita. Belum lagi novel dan komik roman koleksinya yang segunung (konon).

“Bu, mustahil ajak orang yang emang gak ada dari sananya—”

Jempol ibuku mendadak terjungkir. “Bunda kecewa sama kamu, Nak.”

“Kumohon jangan ngomong macam ini aku anak gagal cuma gara-gara gak bisa jadi badut buatmu, Bu.” Aku merinding. “Lagian, ngapain juga Ibu demen banget sama si Toge?”

Coba tebak apa, kawan-kawan? Dia masih belum mengembalikan dasiku. Entah dipakai apa di rumahnya—mungkin buat ikat tiang jemuran. Tiap kali aku tagih, selalu saja ada alasannya. Untung Bocah Sableng mau meminjamiku bekas dasi punyanya. Kalau tidak, bagaimana pula aku ikut UTS?

Saking pusingnya, pernah sekali aku laporan pada Jaket Adidas. Anjritnya, macam ibuku, dia malah geleng-geleng dan panggil aku murid paling bego sedunia. Sungguhpun, ada apa dengan para wanita?

“Dia cantik, kamu gak sadar?” Ibuku terbelalak. “Aku ... aku udah curiga dari dulu, tapi enggak kusangka kalau putraku itu homo—”

“Amit-amit! Ngomong sembarangan!”

“Kalo gitu kamu ngakuin kalau De Haina cantik?”

Aku meringis. “Aku ngakuin kalau dia emang beruntung punya rupa yang enak diliat.”

Ibuku mendengus. “Bukan beruntung aja. Dia emang rajin rawat diri. Kamu laki-laki—nyentrik pula. Gak bakal paham ribetnya jadi wanita. Gampang gendut, lah; gampang jerawatan, lah; gampang item, lah; banyak, lah.”

Muak dengan pidato ibuku, kuputuskan untuk segera minggat saja. Sayang niatku terhadang begitu menengok gantungan pakaian. “Jas hujan di mana?”

Ibuku tak langsung menjawab dan batuk-batuk terlebih dahulu. Akhir-akhir ini, batuknya lebih sering dan lebih parah, datang bersama keluhan panas di dada. Koyok di pelipisnya pun bertambah dua lagi. “Nita,” timpal Ibu serak.

Seketika saja, mataku beralih ke payung. Aku dengar ada beberapa laki-laki yang berlagak jaim dan ogah-ogahan pakai payung—aku bukan pria macam itu. Aku sudah tewas sejak dulu seandainya tak menyerahkan rasa maluku ke pegadaian. Kendati itu payung butut sudah berkarat dan punya motif bunga-bunga berantakan yang buat orang pusing, tak barang seujung jari pun aku merasa minder.

Yang jadi masalah ... eng ... gimana bilangnya, ya .... Ah, benar: KESIA-SIAAN!

Lihat selengkapnya