FAKRI
SEANDAINYA AKU CIUM DIA SECARA TIBA-TIBA, mampukah itu buat dia minggat dari hidupku? Tunggu. Entah kenapa mencium itu kedengaran macam aku punya rasa terhadap si Toge. Jangan, jangan. Sebaiknya, sesuatu yang lebih mengesankan kalau aku orang cabul .... Pegang pinggulnya, misal. Atau dada juga boleh .... Tidak. Lebih umum pinggul. Lebih terjangkau pula lokasinya.
Tunggu. Dasiku masih ada padanya. Kampret. Lagi-lagi itu.
Kalau aku buat dia benci aku sekarang, bagaimana nasib dasiku? Itu benda kecil-kecil juga terbilang mahal buatku. Umurnya belum juga setahun. Aku tak mau kalau dia berakhir riwayatnya di tong sampah, terpotong-potong, koyak karena dijadikan pelampiasan amarah.
“Balikin dasi aku.”
“Hmm?” Haina memiringkan kepalanya. “Al. Wajah kamu jadi tembem begitu .... Habis ngapain?”
“Jangan ngalihin topik”—si gadis menyodok hidung dengan jempol—“adaw! Sakit, ‘napa!”
Dia tergelak. “Berantem? Sama siapa? Jangan suka berantem, Al. Kamu sayang ibu kamu, kan? Dia orang baik banget. Kenapa kamu enggak punya sifat Bibi yang itu?”
Aku menarik napas dalam-dalam, menghembuskan pelan-pelan, mengulangnya berkali-kali. Satu hal soal wanita yang kupelajari dari Hau-Hau: mereka andai bicara suka melompat-lompat topiknya. Tak pernah fokus. Menjengkelkannya lagi, mereka memang paham segala hal yang mereka dengar dan bicarakan mau seacak apa pun itu.
“Dih ...! Buat apa kamu begitu-begitu?” Haina cemberut. “Macam Haina ini anak yang susah diatur aja ....”
“Mana dasiku?” aku mengulang. Satu hal soal pria yang kupelajari dari Ayah: kami bicara demi mencapai solusi. Tak pernah berhenti sebelum dapat respons yang kami harapkan.
“Payung kamu lucu, ya!”
Apa dia meledekku? “Jangan bilang kalau dasiku kau rusak—”
“Ih! Jangan buruk sangka begitu!”
Jadi, setidaknya kau memang dengar pertanyaanku. “Di kemanain, kalau gitu?”
Si gadis membuang muka, satu tangan pegang tas di balik jas hujan. “Ketinggalan lagi di rumah! Duh! Maaf, maaf.”
Dibawa, rupanya. “Balikin.”
“Dibilangin ketinggalan, kan!”
“Aku udah beberapa kali kena damprat sama Bu Lirla BK. Kau enggak sadar?”
“Ih ...!” Si gadis melompat-lompat. Air di bawah kakinya menciprat ke segala penjuru, termasuk ke bajuku. “Kalau Haina bilang ketinggalan ya ketinggalan!”
BEGITU TIBA DI PINTU KELAS, Rihma menyambutku dengan wajah masam. “Kamu bocah, ya?” Entah kenapa aku merasa pernah dikatai begitu sebelumnya. “Pake payung! Kamu punya payung, kan? Atau kelewat gengsi buat pakenya?”
Aku mengucek rambut dan pakaianku yang lepek, basah macam kain pel. “Hidup memang penuh misteri dan ironi, Neng KM.”