FAKRI
KETIKA SI EDHAN ANGKAT KAKI DARI KELAS, nyawaku sudah naik ke pangkal tenggorokan: setengah mati, seperempat hidup, seperempat gila. Aku menatap kagum telapak tanganku, lengket dan basah oleh keringat. Neraka, memang. Neraka dunia!
Aku melirik ke samping, mencuri pandang. Kudapati sang monster yang sibuk memasukkan sejibun buku ke dalam tas, bersiap kembali ke alamnya. Bagus .... Hus! Sana, enyahlah wahai engkau wanita tukang sihir!
“Ngomong-ngomong, seudah ini apaan? Bahasa Inggris? Fisika?”
Aku tahu kau tahu—memang sejak kapan kau sekolah di sini? Jadi, jangan pakai sok tanya-tanya segala, lah! “Fisika,” timpalku, lemas. Sudah kujawab. Sekarang, hengkang dari wilayahku, dasar kau Toge Kecil!
“Pak Robin, kan?” Haina mengetuk-ngetuk pipi mulusnya.
“M.”
“Robin. Hehehe, nama aneh.” Dia mengatupkan kesepuluh jari di mulut, terkikik-kikik. “Robin Fitzooth, lord Gamwell dan Locksley.”
Tapi kecuali namanya, aku tahu kalau Pak Robin tak ada mirip-miripnya dengan Robin Hood si Pahlawan Maling. Kalau iya, tentu aku sering dikasihnya duit. Dan—omong-omong—jangan seenaknya mulai merumpi di bangkuku! “Ah, benar, benar. Hehe.”
“Al suka fisika?”
Kenapa tidak langsung minggat saja, seh! “Suka, suka.”
“Haina juga suka ... terutama sama gurunya.” Bagus itu, tapi kalau tak salah, bukannya Pak Robin sudah punya istri? Tak baik itu. Kau tak boleh mendekati laki-laki yang sudah jadi suami orang—juga laki-laki yang menganut filosofi antibetina. “Pak Robin itu ... eng ... punya kesan mirip-mirip Profesor Lupin[1], gitu.”
Dan kau mirip Chitanda Eru[2].
Haina bekernyit. “Chi ... Chi apa?” Oh, ampas! Apa mulutku bocor?
Tapi memangnya kenapa? Tanggung basah. “Kau gak tau?” Aku bengong sejenak. Kutu buku memang, tapi Haina kelihatannya lebih familier dengan sastra barat. “Ralat. Lebih pasnya, kau mirip Anne Shirley[3]—”
Haina sodok hidungku dengan telapak tangannya. Aku menjerit, lutut membentur meja untuk kedua kalinya. “Apa Haina secerewet itu ...?” Si gadis cemberut. “Apa itu namanya, coba? Eng ... gak ... so ... pan.”
Lebih tak sopan mana? Manusia yang sebut cerewet orang lain? Atau manusia yang ketagihan sodok memar orang lain? Lagi pula, kendati cerewet, bukannya Anne Shirley dicintai orang-orang? “....” Setan saja kalau aku mau bilang.
“Hmph! Haina mau pindah aja!” Dan si gadis pun bangkit, meraih kursinya—
Pintu kelas menggebrak terbuka. Seorang pria muncul, berderap rusuh ke arah meja guru. Umurnya sekitar tiga puluhan, berpenampilan berantakan, mengenakan kemeja abu yang kusut. Kukira ada orang gila yang menerobos sekolah, tapi rupanya itu guru kami, Robin Hood ... bukan! Asem, dah. Macamnya aku terpengaruh omongan ngawur si Toge Kecil tadi.
“Pak Robin ....” Haina berkata lirih, masih berdiri di dekatku.
Memang Pak Robin. Aku tahu. Aku juga punya mata. Dan, ngomong-ngomong, walau namanya kedengaran kebarat-baratan, dia tulen turunan lokal.
“Ini ada tugas,” ujarnya sekonyong-konyong, tak ada angin tak ada hujan. Dia bahkan tak menyempatkan diri buat duduk. “Tugasnya ....” Pak Robin mengeluarkan buku paket, membolak-balik halaman cepat, tapi kemudian mendengus jengkel. Dilemparnya si buku ke pinggir sementara dia merogoh LKS dari tas. “.... Merangkum ....” Dia bergegas ke papan tulis, sempat tersandung, nyaris jatuh, tapi tak jadi. Dengan tulisan butut, dia mencatat halaman yang mesti dirangkum. “Kerjakan di buku catatan. KM, nanti kumpulin di meja saya.”
Anak kelas bungkam seribu bahasa, saling lirik dengan bingung.
“Maaf. Hari ini saya enggak bisa masuk.” Dengan asal, Pak Robin menjejal buku paket dan LKS-nya ke tas, lalu beranjak keluar. “Ada urusan mendadak. Sekian.”
Begitu pintu tertutup, gemuruh heran menyebar di sepenjuru kelas. Ini memang pemandangan aneh. Pak Robin, macam kata Haina, mirip-mirip Profesor Lupin. Dia biasanya tenang dan penuh wibawa .... Meski begitu, entah kenapa, aku tak bisa ikut larut ke dalam suasana. Aku merasa ada hal yang lebih mengganggu lagi dari ini. Sesuatu yang lebih penting. Apa itu? Aku garuk kumis.
“Al? Kamu punya LKS fisika?”
Aku terkesiap begitu mengetahui jawabannya. Mampus! “LKS fisika?” Buru-buru aku melirik Bang Nabhan, mata mengedip-ngedip dalam pola “tiga cepat, tiga lambat, tiga cepat”[4]. Si Rambut Mangkuk menyadarinya, mengangguk, melotot, lalu mengacungkan jempol.
Goblooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooook!
“Kasian. Liat punya Haina aja, ya?” Dan pinggul si Toge pun kembali jatuh ke kursi. “Hehehe.”
Aku terbungkuk lemas—apanya yang hehe! “Bukannya barusan kau ngambek?”
Karena suatu alasan yang Einstein saja mustahil pahami, Haina menyipit, pipi menggembung. “Iiih ... gak peka.”
“PAK ROBIN KENAPA, YA?” kemam Haina, satu tangan memegang kaca kecil, tangan lain menyeka rambut dari wajah. Baru tiga puluh menit berlalu, dan dia sudah menyelesaikan tugasnya—begitu juga anak-anak kelas yang lain. Tak heran. Apa yang Pak Robin suruh rangkum adalah materi yang memang sudah dirangkum, sih.